"Nggak papa, kok. Aku cuma mau fokus nemenin sopir cabutan itu. Katanya Dia juga baru belajar."
"Baru belajar kok Kamu terima?" protes Dirga. Itu akan sangat berbahaya.
"Bukan belajar bawa mobilnya, tapi belajar yang lain." Tikno nyengir. Ia tidak menyadari perasaan Dirga.
"Lagian, masa' Kita berdua di sini, yang di sana sendirian?" katanya lagi dengan tawa khasnya.
"Okelah." akhirnya Dirga menurut. Ia berjalan ke arah truk yang biasa ia naiki.
Tikno memberi isyarat agar truk yang dinaiki Dirga berjalan lebih dulu.
"Jalan, Pak." titah Dirga. "
Maya menjemput Raka dan Rania saat azan ashar terdengar dari masjid di depan rumah Juwita.
"Raka mau sholat ashar di masjid dulu, Ma!" teriak Raka dalam tuntunan sang eyang.
"Nanti sholatnya di rumah aja, Sayang." pinta Maya.
"Kamu memang nggak bisa nungguin sebentar lagi setelah Kamu meninggalkannya dari kemarin siang?" ketus suara Dedi.
"Bukan gitu, Pak." Maya terlihat canggung.
"Duduk aja dulu, May. Atau Kamu mau ikut sholat?" kata Juwita lebih lunak. Ia juga menuntun Rania yang hanya menatapnya tanpa kata.
"Cepat, Bu. Keburu Iqomah." Dedi bergegas berjalan diikuti yang lain.
Maya menghentakkan kakinya.
"Dasar manusia - manusia sok alim!" umpatnya pelan.
Maya memilih duduk di kursi teras dan memainkan ponselnya.
Ia membayangkan Gerry yang mengantarnya pulang,
"May, minggu depan Kita jalan lagi, ya? Hanya berdua."
"Aku nggak punya uang." dalih Maya. Gerry tersenyum.
"Kamu nggak usah mikirin itu."
"Bener? Kamu nggak ngerasa rugi?"
"Kenapa harus rugi? Kita bisa menghabiskan malam berdua saja. Nggak ada gangguan."
"Kamu nganggap Aku pemuas nafsumu?"
Gerry tertawa. Sebelah tangannya fokus pada kemudi. Sebelahnya mencari tangan Maya lalu digenggamnya dengan lembut.
"Aku mencintaimu, May. Aku tergila - gila padamu sejak pertama kali Kita bertemu."
"Gombal!" Maya menjebik.
"Aku nggak gombal. Aku ingin Kamu jadi istriku, Sayang." Gerry menepikan mobilnya. Kini kedua tangannya menggenggam kedua tangan Maya.
"Aku serius. Kita menikah, ya?"
"Aku punya suami." Maya membuang wajahnya, menghindari tatapan Gerry yang begitu intens. Wajahnya memanas.
"Kita selesaikan urusan Kita masing - masing, ya?" pinta Gerry.
"Udahlah, Ger. Jalanin mobilnya. Aku nggak mau kemalaman sampai di rumah."
"Ayolah, May. Aku nggak mau jalanin mobil ini kalau Kamu belum jawab."
Maya meghela nafas. Sudah berulangkali Gerry mengajaknya menikah tapi mereka dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Ada Dirga yang selalu berusaha menjadi suami yang baik di saat keterpurukannya. Ada Nara, istri Gery yang sakit - sakitan hingga tidak dapat melayani suaminya.
"Bagaimana, May?" desak Gerry.
"Aku mau jadi yang satu - satunya." ego Maya selalu di depan. Ia sama sekali tidak memikirkan perasaan Dirga. Atau Nara.
"Tentu saja. Aku akan menceraikan Dia." sepertinya kejam. Katanya Nara sedang sakit dan butuh perhatiannya tapi ia malah ingin menceraikannya.
Terbayang oleh Gerry wajah Nara yang tirus dan tak terlihat cahaya kecantikannya.
Gerry mengibaskan kepalanya. Ia sangat tergila - gila pada Maya.
"May, Kamu akan jadi satu - satunya. Cooming soon." katanya setengah menggoda.
"Tapi Aku juga mau jadi satu - satunya." Maya mendesah dalam hati. Berkali - kali ia minta cerai pada Dirga tapi suaminya itu tidak ingin bercerai. Bagaimana ini?
"Kita jalani ini aja dulu." ucap Maya akhirnya. Ia memberi kecupan sekilas pada pipi Gerry.
"Jalan lagi, yuk?" bujuknya. Tapi Maya menjadi panik saat Gerry mendekatkan wajahnya.
"Mau apa, Ger? Mmmh.."
Maya tersenyum sendiri mengingat Gerry membalas kecupan kecilnya dengan ciuman yang panas dan membakar sebelum akhirnya ia mau menjalankan mobilnya lagi.
"Mama! Ayok Kita pulang!" teriakan Raka mengejutkannya.
"Udah sholatnya, Sayang?" ia melihat ada senyum sinis di bibir mertua laki - lakinya.
"Kayaknya Kamu itu cuma bawa pengaruh buruk!" ketusnya dingin. Maya tidak ingin berdebat dengan mertuanya.
"Ayok, Sayang. Pamit dulu sama Eyang. Hormati orang yang sudah tua." Maya menekankan pada kata sudah tua.
"Dasar kuntilanak!" Dedi marah tapi ia tidak ingin umpatannya terdengar oleh cucu - cucunya, jadi ia mengumpat hanya dalam hati.
*****************
Hampir tengah malam saat Dirga masuk ke dalam rumahnya. Ia merasa sangat lelah.
Dirga membuka pintu kamar dan melongok ke dalam. Ia melihat Maya yang tidur menghadap tembok. Ia lalu ke kamar Raka dan Rania untuk memastikan keadaannya.
Ia usap kepala Raka dan Rania yang sudah tidur dengan nyamannya.
Lalu Dirga langsung berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sengaja ia memakai kamar mandi yang di belakang karena ia tidak mau mengganggu tidur Maya.
Sebenarnya Maya sudah terbangun saat Dirga membuka pintu kamar. Tapi ia tidak ingin Dirga berbicara dengannya hingga ia pura - pura tetap tertidur.
Setelah memakai piamanya, Dirga memilih tidur dengan membelakangi Maya. Karena lelah, ia langsung tertidur.
Maya membuka matanya dengan perasaan kesal.
'Dia nggak menyentuhku sama sekali. Apalagi cium kening!' hatinya berteriak gusar.
'Serba salah memang, ya! Dikecup keningnya kalau terbangun, marah. Terganggu tidurnya, marah. Tidak diganggu, marah juga.' sisi hatinya yang lain balas berteriak.
'Tapi Papa kan nggak biasa begitu!' ia berbalik dan melihat Dirga yang memunggunginya.
'Mana tidurnya begitu, lagi!' hati yang lain seolah mencemoohnya,
'Terus maunya gimana? Dirga ngeliatin punggung Kamu, gitu?!'
'Tapi Dia kan nggak biasa begitu!'
'Kamu harus terbiasa, May! Jangankan punggungnya, Kamu bahkan nggak bisa ngeliat Dia lagi kalau Kalian bercerai!'
Maya tersadar. Apa memang Ia ingin berpisah dengan Dirga?
'Jangan serakah, May. Masa' Kamu mau dua - duanya? Dirga sama Gerry? Serakah!'
"Diaaam!!" Maya menjerit. Dirga membuka matanya dengan berat.
"Ada apa, May? Kamu mimpi buruk? Makanya, jangan lupa baca doa sebelum tidur!" Dirga mengucapkan itu tanpa membalikkan tubuhnya. Matanya terlalu berat hingga langsung terpejam lagi.
"Doa! Doa!" cerca Maya sambil melangkahi tubuh Dirga untuk turun dari tempat tidur.
Dirga sama sekali tidak bergeming. Dengkuran halusnya terdengar seperti bom yang meledak di dada Maya.
"Apaan, sih! Nggak care banget!" ketusnya sebal. Dengan menghentakkan kaki ia berjalan keluar kamar menuju ruang makan.
Dipilihnya botol air yang paling dingin. Diminumnya dengan sekali teguk. Kepalanya langsung berdenyut. Pusing dan sakit.
"Aduh!" ia mengurut kepalanya seraya memejamkan mata. Sakitnya hilang sedikit demi sedikit.
"Gila, ya. Emosi banget Aku!" Maya menggeleng - geleng.
"Dia mau tidurnya menghadap mana, kek. Mau jungkir balik, kek. Bahkan kalau nggak pulangpun, apa perduli Aku?" rutuknya sebal.
"Malah pengin dicium kening segala. Hellooo...! Situ waras?" Maya mengumpat sambil berjalan mondar mandir. Ia tidak habis - habis menyumpahi dirinya sendiri yang seperti merindukan sentuhan sang suami.
Dirga tiba - tiba terbangun dan merasa haus. Saat ia bangun ia baru menyadari Maya sudah tidak ada lagi di sampingnya.
******************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments