"Apa maksud Kamu? Jangan main tuduh, ya!" Maya menuding wajah Dirga dengan telunjuknya. Sudah salah, tapi masih dapat mengelak, itulah Maya. Ia bahkan berteriak seperti biasanya bila menghadapi Dirga.
Sejenak Dirga memejamkan matanya. Suara desahan Maya di telphon tadi masih terekam jelas di otaknya. Darahnya kembali mendidih.
"Jangan mengelak lagi, May! Ngapain Kamu tadi sampai mengerang begitu? Enak, ya? Nikmat, heh?" Dirga melotot. Kemarahannya sudah sampai ubun - ubun. Sampai kapanpun ia tidak sudi menjamah lagi wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya. Ia jijik membayangkan Maya mendapatkan kenikmatan dari laki - laki lain.
"Awas kalau Kalian berbuat macam - macam di sini. Di rumah ini. Ini rumahku!" teriaknya lagi.
Dirga ingin mencabik perasaan Maya agar hancur seperti perasaannya saat ini.
Maya, seperti biasanya, ia tidak mau kalah,
"Dirga! Jaga mulutmu! Aku bukan cewek murahan!"
"Oh, ya?" Dirga menatapnya dingin. Maya seolah membeku di tempat. Seumur hidupnya ia baru melihat Dirga menatapnya seperti itu. Semarah apapun ia.
"Memang bukan! Kamu lebih dari murahan. Kamu gratisan! Aku jijik sama Kamu!" Dirga memperlihatkan ekspresi mual.
la tidak berteriak tapi ucapannya lebih tajam dari silet yang langsung mengoyak habis hati Maya.
Tapi Dirga belum selesai membombardir perasaan Maya.
"Selama ini Aku mengalah, May. Aku masih berharap semua akan baik - baik saja. Aku juga masih menimbang perasaan anak - anak kalau Kita bercerai."
Maya hanya diam dengan perasaan menyesal yang mulai merambati dinding hatinya.
"Kamu mau merendahkan Aku, menghina Aku, mengabaikan anak - anakku, semua masih bisa kumaafkan, May! Tapi Kamu mengkhianatiku! Nggak perlu membantah! Desahanmu tadi sangat jelas!"
Maya speechless.
"Aku nggak tahan lagi! Malam ini juga Aku talak Kamu!!" teriak Dirga sebelum bergegas keluar rumah. Tanpa ia sadari airmatanya kembali mengalir. Ia terlalu mencintai Maya, pengkhianatannya membuat hatinya hancur berkeping - keping.
Maya terpaku. Ia tidak tahu harus tertawa atau menangis.
Dengan langkah gontai Ia kembali ke kamarnya. Terasa ada yang hilang dari dalam hatinya.
"Kenapa Aku harus sedih? Bukannya ini yang kuinginkan? Tapi kenapa rasanya sakit begini?" Maya memegang dadanya. Tanpa ia sadari Ia ternyata masih mencintai Dirga.
Ditatapnya tas - tas belanjaan yang tadi begitu semangat ia bawa. Dulu juga Dirga membebaskannya belanja ini - itu. Dulu!
Maya duduk di tepi pembaringan dan mengusapnya.
Di tempat tidur ini ia melepaskan mahkotanya.
Dirga menahan dirinya di malam pertama di rumah keluarga Maya demi membuat sejarah puncak kisah cinta mereka di rumahnya.
Rumah yang ia beli saat belum menikahi Maya.
"Aku ingin rumah ini jadi saksi sejarah perjalanan cinta Kita, May. Kita akan menghabiskan waktu bersama, sampai Kita jadi Kakek dan Nenek."
"Sampai maut memisahkan." timpal Maya dan Dirga mengangguk setuju.
Di tempat tidur ini ia membaringkan Rania dan Raka saat mereka baru lahir.
Tanpa sadar airmatanya menetes.
"Aaaaa!! Aaaaa!!"
Maya menjerit sekuatnya.
Dirga yang sudah berjalan cukup jauh masih mendengar jeritan Maya. Langkahnya terhenti. Ia ingin memutar langkahnya dan berlari untuk melihat keadaan Maya saat suara desahan Maya kembali terngiang di ingatannya. Itu sangat menyakitkan.
"Mulai sekarang Kamu bukan tanggung jawabku lagi, May." ia bersungut dan mempercepat langkahnya.
Maya terduduk di lantai. Ia bingung dengan perasaan hampa yang tiba - tiba menyergapnya.
"Aku,.. Kenapa?" bibirnya bergetar hebat.
Bu Ranti dan Pak Budi tergopoh - gopoh masuk dari pintu yang masih terbuka.
"May? Maya?" Maya tidak menjawab. Ia masih shock atas talak yang diucapkan Dirga.
Pak Budi langsung berlari ke belakang sedang Bu Ranti mencari Maya ke kamarnya.
"May? Kamu kenapa, May?" Bu Ranti terkejut melihat Maya duduk bersimpuh di tepi ranjangnya sambil menangis tanpa suara.
Bu Ranti berteriak sambil memeriksa sekujur tubuh Maya.
"Di sini, Pak!" Bu Ranti bersyukur karena tidak ada luka di tubuh Maya.
"Bagaimana, Bu?" Pak Budi hanya berdiri di depan pintu kamar. Tidak berani masuk karena merasa tidak pantas.
"Tolong angkat Maya ke tempat tidur, Pak. Ibu nggak kuat." Bu Ranti memindahkan tas - tas belanjaan ke bawah.
Maya seperti orang linglung saat pak Budi memapahnya untuk naik ke tempat tidur.
"Istirahat dulu." ujar Bu Ranti.
"Ambilin minum, Bu." titah Pak Budi pada sang istri. Bu Ranti menatap suaminya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
****************
"Kok Ibu? Bapak aja, lah!" bu Ranti malah balik menitah.
"Kok Bapak, sih?"
"Masa' Bapak ditinggalin berdua aja sama Maya? Apa kata dunia?" bu Ranti membuka kedua tangannya.
"Oalah, Bu!" Pak Budi menggaruk kepalanya dan berjalan ke dapur.
"Kamu nggak papa kan, May?" Maya tidak menjawab. Matanya yang masih basah melihat ke atas.
Pak Budi kembali dengan segelas air putih di tangan.
"Kok air putih sih, Pak?" protes Bu Ranti.
"Harusnya?"
"Bikinin Teh, kek. Sirop, kek.."
"Ini rumah orang, Bu! Bukan rumah Kita!Mana Aku tau tempat - tempatnya?"
"Ya udah! Sini!" bu Ranti meminta segelas air putih yang masih dipegang oleh suaminya. Ia meminta Maya untuk mengangkat kepalanya.
"Minum dulu, May." meski diam, Maya menurut.
"Dia kenapa, Bu?" tanya Pak Budi.
"Nggak papa. Cuma pikirannya yang lagi travelling." bisik Bu Ranti.
"Travelling?"
"Iya."
Pak Budi mengerutkan dahinya. Tapi,
"Kalau Maya nggak apa - apa, Kita pulang aja, Bu."
Bu Ranti melihat Maya mulai memejamkan matanya.
"Ditemenin kok malah tidur." dumelnya.
"Ya bagus, kan?" kembali Pak Budi mengerutkan dahinya. Istrinya ini aneh menurutnya. Bukannya bagus kalau Maya bisa tidur? Kan tadi ia juga yang memintanya beristirahat?
"Maya udah bisa tidur, berarti Dia udah nggak papa. Ayok Kita pulang."
Bu Ranti menghamparkan selimut untuk menutupi tubuh Maya. Ia lalu menuntun suaminya untuk keluar dari kamar.
"Aku kirain ada rampok tadi. Apa rampoknya udah kabur, ya?"
Pak Budi melihat keadaan sekelilingnya.
"Kayaknya nggak ada yang hilang. Tuh, TVnya masih ada."
"Ya keburu Maya teriak, kali. Jadi kabur!"
Pak Budi manggut - manggut.
"Untung Kita segera ke sini, ya?" katanya merasa berjasa. Bu Ranti mengangguk.
"Bagaimana rampok nggak masuk sini, coba. Rumahnya gelap gini. Kayak rumah kosong!" Bu Ranti menyalakan lampu depan.
Pak Budi manggut - manggut lagi.
"Apa Kita lapor Pak RT aja, ya?"
"Polisi, kali!"
"Polisi kalau ada korban, Bu."
"Masa' harus nunggu ada korban dulu, polisi baru mau turun tangan?" bu Ranti membuat kerucut di bibirnya.
"Kita pulang aja, deh. Mayanya juga nggak minta tolong apa - apa." putusnya akhirnya.
Pak Budi manut aja seperti bebek, mengikuti langkah istrinya yang berjalan keluar rumah.
"Pintunya ditutup, Pak!" titahnya tanpa menoleh.
Iya, Bu."
"Pelan - pelan! Jangan sampai Maya terganggu!" bu Ranti menunjukkan jari telunjuknya, tetap tanpa menoleh.
Pak Budi geleng - geleng kepala melihat tingkah istrinya. Ia menutup pintu dengan hati - hati agar tidak mengeluarkan suara, lalu menyusul istrinya yang sudah masuk ke rumahnya.
****************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments