Aku berdiri tak sabar di teras rumah. Sepasang mataku terus menatap ke pintu pagar dengan perasaan carut marut.
Sikap pak Arsya tadi pagi, jujur membuatku sangat heran. Tidak biasanya dia bersikap dingin padaku, jangankan menyapa, tersenyum saja, tidak. Sampai aku bertanya pun pria itu hanya menjawab dengan bahasa tubuhnya.
Di tambah lagi malam ini pak Arsya tidak makan di rumah, jelas itu menambah kekhawatiranku semakin memuncak.
Menghembuskan napas pelan, aku berusaha mengingat kesalahan apa yang sudah ku lakukan hingga pak Arsya seakan enggak bicara denganku. Namun nihil, tak ada kesalahan apapun yang ku buat belakangan ini. Aku melakukan pekerjaan sesuai dengan keseharianku selama ini. Lantas apa yang membuatnya seperti itu?
"Apakah Shema sudah memberitahu pak Arsya?" Gumamku lirih. "Sepertinya tidak, dia yang menyuruhku untuk memberitahu sendiri siapa diriku"
Kepalaku reflek tergeleng.
Bingung, aku benar-benar bingung.
Apa mungkin pak Arsya terlalu stres karena tidak ada titik terang soal keberadaan Afifah? Yang tak lain adalah aku?
"Sepertinya aku memang harus memberitahu pak Arsya secepatnya, dan rekaman mengenai mamahnya, mungkin bisa di jadikan bukti kenapa aku melakukan itu"
Tiba-tiba, pintu pagar terbuka secara otomatis. Detik itu juga aku yang tadinya duduk langsung berdiri dengan kedua tangan saling meremas karena gugup.
Sebuah mobil yang di kendalikan oleh sang pemilik akhirnya masuk.
Aku berdiri dengan harap-harap cemas, menatap pintu pagar yang kembali tertutup secara otomatis seraya berdoa agar sikap dingin sudah tak ada lagi dalam diri pak Arsya.
Beberapa saat kemudian pria itu keluar dari mobil dengan membawa tas kerja dan jas yang terselampir di lengan kiri, sementara tangan kanannya menutup pintu mobil lalu menekan remot hingga mobil itu mengeluarkan bunyi sebagai tanda jika mobil telah terkunci dengan sempurna.
Dia menoleh ke arahku sebelum kemudian berjalan ke arahku. Bukan aku yang ia tuju, melainkan pintu rumahnya.
Saat langkahnya sudah berada sekitar tiga langkah di depanku, pak Arsya bersuara.
"Tolong buatkan saya air lemon dan bawa ke kamar"
"Baik, pak" Aku mengangguk di iringi senyum tipis. "Saya bawakan tas sama jasnya, pak!"
Butuh waktu tiga detik sampai akhirnya dia menyerahkan jas beserta tasnya.
Pria itu memasuki rumah sambil melonggarkan dasinya.
"Pak Arsya sudah makan?" Tanyaku basa basi.
"Sudah" Jawabnya datar. "Kamu sudah makan?" Tambahnya bertanya.
Mendengar suaranya, sungguh membuatku lega sampai-sampai membuat langkahku terhenti. Aku sangat bersyukur pria itu tak lagi bersikap dingin.
"Sudah makan?" Tanyanya lagi karena aku belum menjawabnya tadi.
"Belum!" Sahutku tanpa sadar.
Pak Arsya seketika berbalik, alisnya menukik tajam mengetahui langkahku berada jauh di belakangnya. Mungkin setahu dia, aku mengekor tepat di belakang tubuhnya, tapi ternyata tidak.
"Kenapa belum makan?" Pak Arsya menatap lurus ke arahku.
"Saya diet, pak"
"Badan sudah kurus begitu kamu bilang diet? Makan, nggak usah diet-dietan"
"Selama saya di sini, saya banyak makan, berat badan saya bahkan bertambah lima kilo, jadi diet"
Cukup lama pak Arsya tak merespon, yang dia lakukan hanya diam sambil menatapku.
"Kamu sudah sebulan kerja di sini, kan? Besok kamu boleh libur"
"Libur, pak?" Jujur aku terkejut. Memang dalam perjanjian aku libur setiap dua minggu sekali, tapi saat itu aku meminta waktu libur jika aku menginginkannya, dan pak Arsya setuju. Tapi kenapa mendadak dia menyuruhku libur?
"Iya, besok kamu bisa libur"
"Tapi saya nggak ingin libur, pak"
"Tapi kamu perlu berlibur, tidak baik buat kesehatan jika waktumu kamu gunakan untuk bekerja terus menerus"
"Saya sudah terbiasa, pak"
"Liburlah, dan ini perintah. Jika masih ingin bekerja di sini patuhi perintahku"
"Baik, pak!" Kataku dengan nada lemah.
****
Hari ini entah kemana aku akan pergi, menemui Ririn sepertinya juga tidak mungkin, menelfon Shema, nomornya malah tidak bisa di hubungi sejak semalam. Ingin rasanya aku menghubungi nomornya yang lain, tapi takutnya masih di sadap oleh bu Prilly.
Dari pada ketahuan, lebih baik aku cari aman dan menunggu Shema membalas pesanku yang tadi malam ku kirim.
Merasa tak ada tujuan, aku pun memilih pergi ke makam orang tuaku, berharap setelah dari sana aku bisa mendapat keberanian untuk memberitahu pak Arsya tentang siapa aku sebenarnya.
Menarik napas panjang, aku sudah siap dengan penampilanku yang terbilang cukup menawan dengan make up tipis membingkai wajahku.
Tanpa ragu aku melangkah keluar kamar, ku arahkan kakiku ke dapur untuk memastikan apakah pak Arsya sudah memakan sarapan yang ku buat.
Ketika isi menu di setiap piring sudah berkurang, bibirku tersungging. Setidaknya suamiku sudah sarapan saat ku tinggal pergi.
Kembali mengayunkan kaki, tiba-tiba suara pak Arsya membuat langkahku terjeda, aku pun berhenti, lalu menoleh ke samping kiri.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya tanpa ekspresi, sepasang matanya memindai penampilanku.
"Bapak nggak ke kantor?" Aku bertanya balik alih-alih menjawabnya.
"Kamu mau kemana?" Ulangnya.
"B-bukannya bapak yang menyuruh saya libur, hari ini?"
"Iya, makannya aku tanya kamu mau kemana?"
"S-saya_" Ku telan ludahku dengan gugup, sedang berfikir keras sebenarnya. "Saya mau menemui teman saya, pak?"
"Ok! Pergilah dan pulang sebelum maghrib"
"Baik, pak. Permisi!" Aku lantas melanjutkan langkahku yang sempat tertunda.
Pertama-tama aku akan menuju ke makam ayah dan ibu terlebih dulu, setelah itu nggak tahu akan kemana lagi, tapi hotel mungkin lebih baik. Gajiku selama sebulan ini cukup untuk menyewa kamar sehari.
Dari pada pergi nggak jelas, lebih baik istirahat di kamar hotel, lebih aman juga dari orang-orang yang mengenaliku. Ya siapa tahu saja secara tidak sengaja, aku bertemu teman-temanku jika aku berkeliaran di luar sana.
Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai di makam orang tuaku. Aku langsung mengadukan apa yang aku rasakan, dan di sela-sela aku bercerita di depan pusara ibu, aku merasa seperti ada sebuah kamera handphone yang berbunyi.
Ketika aku mengedarkan pandangan untuk memeriksa, tak ada seorang pun yang bisa ku curigai. Beberapa orang tampaknya sedang fokus berziarah, aku pun kembali dengan aktifitasku.
Sampai kurang lebih tiga puluh menit, baru aku pergi meninggalkan tempat pemakaman dan akan langsung mencari hotel untuk menghabiskan waktu liburku seharian ini.
Waktu yang menurutku berjalan sangat lamban, tapi akhirnya jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
Aku bersiap kembali ke rumah pak Arsya dengan perasaan senang.
Akan tetapi rasa senang karena akan segera bertemu dengan pak Arsya, berubah menjadi was-was sebab, begitu memasuki kamar, tatanan kamarku sedikit berubah, meski masih rapi, tapi aku paham betul seperti apa kondisi kamarku sebelum aku pergi.
Aku lantas behrgegas menuju lemari dan memeriksa koperku yang masih terkunci.
Merasa ada yang janggal, aku membuka nomor sandi supaya bisa membuka koper.n
Dan...
Betapa tercengang aku ketika isi di dalam koper sudah tidak ada.
Laptop beserta buku nikah? Dimana benda itu?
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
semoga aja Arsya yg ngambil
2024-09-21
0
Abizard Faraz raupa
jangan2 pak Arsya sengaja nyuruh AFI libur supaya bisa masuk kamar AFI dan mencari informasi siapa Rere sebenarnya....
2024-08-15
0
Indah Darma Indah
semoga aja yng ambil isi koper si Arsya
2024-08-15
0