KABUT DARAH

KABUT DARAH

Mawar Tersadar

Pekatnya awan hitam menggulung-gulung di langit, menumpahkan berkubik-kubik air yang tertampung di dalamnya. Langit gelap terlihat mencekam, menyelimuti lebatnya hutan rimba yang berontak diterpa hujan badai. Kilatan petir silih berganti, seakan berlomba dengan tarian alam yang penuh ancaman. Di kedalaman hutan, berdiri sebuah gubuk sederhana yang tegak namun tak berdaya di antara pepohonan yang bergoyang diterpa amukan badai.

Di dalam gubuk itu, dua orang duduk dengan wajah gelisah, menatap seorang gadis berwajah pucat yang terbaring lemah, tubuhnya yang kurus kerontang terbalut ramuan herbal. Terlihat seperti tulang berbalut kulit tanpa daging.

“Bunda ... kapan Mawar akan siuman? Sudah lebih dari lima bulan dia tertidur di pembaringan. Melihat kondisinya yang sangat mengkhawatirkan, aku takut kehilangannya, Bunda,” ucap Adrian tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Mawar.

Bunda Wulan menggeleng pelan, ada kekaguman yang terpancar dari tatapannya. Namun, kecemasan atas kondisi Mawar yang begitu lemah tak bisa ia sembunyikan.

“Waktu pertama kali Bunda menemukannya hanyut di sungai, kondisinya lebih parah dari yang kita lihat sekarang. Mawar adalah pribadi yang kuat, bahkan kematian seolah enggan menghampirinya,” ujar Bunda Wulan. Ia berdiri menghampiri Mawar lalu mengusap wajahnya dengan lembut.

“Adrian,” panggil Bunda Wulan dengan nada lembut. “Sejak kau kembali dari Metrolink, apakah kau yakin tidak diikuti oleh siapa pun?”

“Aku sangat yakin, Bunda. Sebelum ke sini, aku menetap seminggu di Jakarta untuk mengamankan aset perusahaan,” jawab Adrian dengan penuh keyakinan. “Apa ada yang Bunda khawatirkan?”

Bunda Wulan menatapnya sejenak, menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas. “Sudah dua kali Bunda melihat orang asing memasuki hutan ini. Mereka tampak mencari sesuatu.”

“Mungkin mereka dari Dinas Rimba Raya,” ujar Adrian, mencoba memberi penjelasan.

“Tapi mereka tidak memakai seragam dinas,” bantah Bunda Wulan, tetap yakin pada nalurinya.

“Seragam hanya untuk di kantor, bukan untuk memasuki hutan.” Adrian bangkit dan merangkul pundak Bunda Wulan dengan lembut.

“Ada aku yang akan menjaga Bunda,” ucapnya, berusaha menenangkan.

“Menjagaku atau Mawar?”

“Keduanya,” jawab Adrian dengan senyum lebar.

“Kau yakin ingin menikahinya?” tanya Bunda Wulan serius, menatap matanya dalam-dalam.

“Apa aku terlihat ragu?” Adrian menyeringai, penuh percaya diri.

“Jangan terlalu percaya diri, belum tentu Mawar menyukaimu,” kata Bunda Wulan mengingatkan.

“Sebenarnya Mawar yang belum tahu kalau aku me-” 

Brak!

Pintu gubuk tiba-tiba terbanting keras. Adrian dan Bunda Wulan terperanjat menoleh ke arah pintu yang terbuka. Angin kencang menyeret masuk air hujan, membasahi sebagian besar isi gubuk. 

“Cepat kaututup kembali pintunya!” titah Bunda Wulan setelah memperhatikan tidak ada orang yang masuk ke dalam gubuknya. 

Adrian lekas menutup pintu dan mengganjalnya dengan kayu. Detik berikutnya, Adrian tercengang melihat bambu kuning menembus keluar dari dada sang bunda. Seorang pria bermantel hitam dan bertubuh tinggi berdiri di belakang Bunda Wulan. Dan seorang lagi terlihat sedang mengangkat tubuh Mawar lalu memanggulnya.

Lepas dari keterkejutan, Adrian membuka mulut, bertanya tergagap, “Si … siapa kalian?”

Pria yang terdekat tidak menjawab. Ia menarik bambu kuning yang tertancap di dada sang bunda dengan satu tarikan. Suaranya terdengar memilukan, dan Bunda Wulan pun tersungkur jatuh tak bernyawa. Emosi meluap di kepala Adrian. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat lalu bergerak menyerang. 

Slash!

Begitu Adrian bergerak, sesuatu yang tak kasat mata membentuk garis merah di lehernya dengan sempurna. Kepala Adrian terjatuh ke belakang meninggalkan tubuhnya. Ia mati menyusul Bunda Wulan, ibunya. Tampak dari belakangnya, seorang pria sudah berdiri dengan menggenggam semacam benang yang meneteskan darah. 

“Bos, ayo kita pergi!” ajak seorang pria yang memanggul Mawar.

Pria yang dipanggil bos itu menggeleng lalu berkata, “Nenek tua ini seorang penyihir paling mematikan pada masanya. Tidak cukup hanya dengan menusuk jantungnya, kita harus membakarnya menjadi abu.”

“Baik, Bos, aku mengerti. Lalu, apakah kita akan membakarnya setelah hujan reda?” 

Si bos diam, tetapi ekor matanya bergerak memperhatikan area gubuk dan berhenti pada ranjang kayu. Ia kemudian berkata, “Tidak perlu. Ranjang kayu itu masih kering, kita bisa menggunakannya untuk membakar keduanya.” 

“Kalian berdua cepat pergi! Biar aku yang mengurus kedua jasad ini,” imbuh si bos memintanya.

Keduanya mengangguk lalu menghilang dalam kegelapan hutan rimba. Sementara si bos langsung mengangkat jasad Bunda Wulan disusul dengan jasad Adrian ke atas ranjang kayu. Tak berlangsung lama, ia membakarnya dan keluar dari gubuk kayu. Namun, ia tak langsung pergi begitu saja. Ia memastikan tubuh kedua korbannya hangus dilahap si jago merah. 

Tatapannya dingin melihat api berkobar-kobar dari dalam gubuk sampai mengecil dan menyisakan kepulan asap. Setelah itu, ia kembali masuk ke dalamnya, melihat dua jenazah yang kini berubah menjadi tengkorak yang hangus terbakar. Hitam legam. Bibirnya melebar dan gigi kuningnya tampak berkilat di kegelapan.

Sebulan kemudian, Mawar membuka matanya perlahan, memperhatikan langit-langit kamar yang dipasangi lampu bundar. Ia menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang mengganjal di mulutnya. Saat ia menoleh ke arah tubuhnya, Mawar terkejut mendapati berbagai alat medis yang terpasang di sekujur tubuhnya.

"Aneh... Bunda Wulan tidak mungkin membawaku ke rumah sakit," pikir Mawar. "Ataukah aku masih berada di Metrolink?" Mawar bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan seseorang berpakaian hazmat lengkap masuk menghampirinya. Orang itu melakukan serangkaian tes medis tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu pergi begitu saja.

Tak lama kemudian, dua orang berpakaian hazmat lengkap lainnya memasuki ruangan sambil mendorong ranjang besi. Mereka mendekati Mawar dan dengan cekatan mencabut peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Mawar dipindahkan ke ranjang besi itu, dan mulut, leher, tangan, serta kakinya diikat erat dengan tali, membuatnya tak dapat bergerak maupun berbicara.

Selesai mengikatnya, kedua orang itu membawa Mawar keluar dari ruangan hingga ke pelataran luar rumah sakit. Mawar semakin heran dan merasa aneh dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak berbicara sama sekali, bahkan saat tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke dalam mobil van yang terparkir di luar rumah sakit. Mawar hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, mencoba memahami situasi aneh yang sedang dialaminya.

Pintu belakang mobil van tertutup dengan keras, dan mobil pun melaju entah ke mana. Mawar mencoba merapalkan mantra, namun tidak terjadi apa-apa. "Si... sihirku hilang," gumamnya dalam hati. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya, menandakan kepanikannya yang semakin memuncak. Ia yakin dirinya berada dalam bahaya, namun siapa yang tega berbuat demikian padanya? Berbagai pertanyaan berputar-putar di benaknya, membuatnya semakin gelisah. Tak lama kemudian, kelelahan menguasainya, dan ia pun tertidur.

Mawar kembali membuka matanya perlahan. Kali ini, ia berada di sebuah kamar yang seluruhnya berwarna putih, tanpa ada perabotan selain ranjang yang ditempatinya. Tatapannya membelalak saat menyadari tubuhnya tak mengenakan apa pun selain rantai yang mengikat kedua tangannya yang terlentang.

“Ah!” Mawar menjerit keras, mencoba memancing perhatian siapa pun yang ada di luar kamarnya.

Krak!

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang pria sebaya yang masuk dengan tatapan dingin. Pria itu terlihat tidak asing baginya. Mawar menyipitkan mata, berusaha mengingat-ingat siapa pria yang sekarang duduk di tepian ranjangnya.

“Aku tahu kau sudah lupa padaku, tapi tak masalah bagiku karena kau akan terus berada di sini dan mungkin saja ingatanmu akan kembali,” ucap pria itu sambil membelai pipi Mawar dengan lembut.

“Aku tak peduli siapa dirimu,” kata Mawar dengan nada tajam. “Yang ingin aku tahu, untuk apa kau membawaku dan mengikatku seperti ini?”

Pria itu tersenyum, lalu mengecup kening Mawar dengan lembut. Tangannya masih terus membelai pipi Mawar dengan sentuhan yang sama lembutnya. “Beristirahatlah. Kau butuh tenaga untuk memuaskanku setiap hari,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan Mawar dalam kabut pertanyaan yang semakin pekat.

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

kasihan MAWARRR

2024-08-18

1

Bunda Silvia

Bunda Silvia

kalo ngga salah giovani comro

2024-08-13

1

Quinnela Estesa

Quinnela Estesa

apa salah mawar. di karya kak Muzu pasti kena aja dia.

2024-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!