Simfoni Waktu

Waktu berjalan terasa begitu lambat dari biasanya. Mawar tak bisa melakukan apa pun, hanya merasakan dingin yang terus menusuk pori-pori kulitnya yang tak terlapisi selembar pun kain untuk melindunginya dari hawa dingin di kamar itu.

Kehidupan Mawar terbalik dari sebelumnya yang dipenuhi dendam kesumat. Kini, ia bertanya-tanya mengapa ia masih hidup. Bukankah seharusnya ia sudah mati? Untuk apa ia hidup ketika dendamnya sudah terbayarkan?

Mawar kembali mengingat saat ia menghabisi semua musuhnya dengan brutal. Kenangan itu, sungguh miris dan memilukan. Sekarang, bukan kepuasan batin atau kebahagiaan yang dirasakannya setelah berhasil menuntaskan dendam, melainkan kekosongan yang mendalam. Ia merenung, memikirkan apa yang telah ia lakukan selama ini, dan mungkin saja ... inilah alasan mengapa dirinya masih hidup. Menjalani karma kehidupan.

Waktu seolah mengejek jantungku yang berdetak saat aku terjebak dalam kesepian

Terdiam di garis batas, mencari diri di tengah keheningan

Tak tahu harus ke mana, tujuan tak tampak di depan

Adakah bahu untuk bersandar? Entah, tak ada jawaban.

Yang kupunya hanya waktu, terus mengejek dan mengingatkan

Bahwa aku masih hidup, tapi arah tak kunjung ditemukan

Setiap detik berlalu, lelucon kejam terus menghantam perasaan

Aku terasing dalam diriku, terikat dalam keheningan.

Waktu yang dulu teman, kini musuh yang mengolok keadaan

Dalam putus asa, aku bertanya-tanya, adakah harapan atau hanya kegalauan

Terperangkap dalam siklus waktu yang tak berujung, tanpa pelarian

Detak jantungku hanya bukti kekosongan yang menghantuiku, terus mengaburkan pandangan.

Terdengar suara pintu terbuka, dan seorang gadis manis dengan rambut terikat kuncir kuda tersenyum padanya dengan membawa pakaian terlipat di atas kedua tangan. Mawar bergeming, tak tahu harus membalasnya dengan apa. Tersenyumkah dalam keadaan seperti ini, atau menyambutnya dengan sapaan lembut?

“Tante, aku datang untuk mengurusmu,” kata gadis itu terdengar ramah.

Mawar tercengang mendengarnya. “Apakah aku setua itu sampai dipanggil ‘tante’?” gumamnya.

Gadis itu tersenyum, mendengar gumaman Mawar. Sambil membuka rantai yang melingkar di pergelangan Mawar, gadis itu berkata, “Bukan Tante yang tua, tapi aku yang terlalu muda.”

Mawar menggelengkan kepala. “Tidak masalah, toh usiaku sudah menyentuh kepala tiga. Wajar saja kalau aku dipanggil seperti itu,” ucapnya, teringat pada usianya yang memang tidak lagi muda.

Si gadis menautkan alis mendengarnya, tetapi ia tidak ingin menyinggungnya. “Sudah lepas,” kata gadis itu dengan gembira. “Silakan, Tante, pakaiannya dikenakan! Aku akan membawa Tante ke tempat pemandian.”

Mawar menggerakkan tangannya, meraba wajahnya dengan lembut. Ia tidak merasakan apa-apa kecuali dingin di permukaan kulitnya. “Terima kasih, tapi siapa namamu?” tanyanya kemudian.

“Aku Citra, Tante,” jawabnya, “dan Tante sendiri?”

“Mawar.”

Mawar mengenakan daster berwarna putih polos berbahan katun. Tampak anggun, namun agak menerawang. Citra kemudian membawanya keluar kamar. Pandangan Mawar tiba-tiba terbelalak memperhatikan dirinya berada di tempat yang sangat berbeda dengan suasana Kota Metrolink.

“Citra, kita di mana dan jam berapa sekarang? Mengapa kau mengajakku ke pemandian?” Mawar merasa heran dengan ajakan Citra yang aneh.

“Di kaki Gunung Harimau, dan sekarang sudah pukul sebelas malam,” jawab Citra sambil menuntunnya ke suatu tempat.

“Hah! Untuk apa kita ke sana tengah malam begini?”

“Untuk membersihkan tubuh Tante dari pengaruh jahat.”

“Maksudnya bagaimana?”

Citra hanya tersenyum menanggapinya. Wajahnya terbias dalam keremangan cahaya malam. Jemarinya yang lentik menggenggam erat tangan Mawar, membawanya menapaki jalan setapak memasuki area hutan di kaki Gunung Pangrango yang tidak begitu lebat.

Setelah menempuh langkah yang cukup jauh, Mawar mulai merasa kagum dengan kemampuan Citra dalam menelusuri area hutan yang terselimuti kegelapan malam. Ia pun bertanya, “Bagaimana kau bisa berjalan cepat di area hutan yang begitu gelap?”

Citra tersenyum lagi, kali ini dengan mata yang bersinar lembut dalam gelap. “Aku sudah terbiasa, Tante.”

“Oh,” timpal Mawar singkat. Perjalanan pun terus berlanjut.

Gemericik air terdengar dari kejauhan dan semakin jelas saat Mawar dan Citra mendekat. Sebuah kubangan air berbentuk bundar dengan pancuran dari bambu terlihat di depan mereka.

“Tante, silakan berendam tepat di bawah guyuran air,” kata Citra menginstruksikannya.

Mawar sedikit ragu, tetapi ia tetap mengikutinya. Perlahan, ia melangkahkan kaki memasuki kubangan setinggi betis, lalu berendam di dalamnya tepat di bawah guyuran air yang jatuh dari mulut bambu. Anehnya, Mawar tidak merasakan suhu dingin yang ekstrem di tubuhnya. Malah sebaliknya, air terasa sedikit hangat dan begitu nyaman.

Hampir satu jam lamanya ia berendam, merasakan kehangatan air yang menenangkan. Citra kemudian memintanya untuk keluar dari kubangan dan melanjutkan perjalanan ke kubangan berikutnya. Mereka berjalan dari satu kubangan ke kubangan lainnya, hingga tujuh kubangan berbeda yang tersebar di tengah hutan.

“Citra, apakah masih ada kubangan lainnya?” Mawar mulai merasa lelah setelah berjalan lama di tengah hutan.

“Sudah selesai. Ayo pulang!” ajak Citra setelah menghitungnya dengan jari.

Pekatnya kegelapan malam berangsur memudar seiring waktu yang kini memasuki waktu subuh. Cahaya fajar mulai mengintip di ufuk timur. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan hutan dengan langkah yang tenang, diiringi suara alam yang menyambut pagi.

Sampai di dalam ruangan yang sama, Citra meminta Mawar untuk melucuti pakaiannya. Sempat bingung, tetapi Mawar memahaminya. Ia tidak mungkin mengenakan pakaian basah seharian. Akhirnya ia harus kembali polos seperti sebelumnya. Meskipun begitu, Mawar tidak lagi dirantai. Ia bisa bebas berada di kamarnya.

“Tiga jam lagi, aku akan kembali ke sini. Tidurlah sampai aku datang,” ujar Citra.

“Apakah kita akan keluar lagi?” tanya Mawar sebelum Citra sampai di ambang pintu.

Citra hanya tersenyum lalu meninggalkannya dalam kebingungan.

Waktu yang ditunggu pun tiba. Mawar yang tidak bisa memejamkan mata melihat Citra masuk bersama dua orang lelaki yang menggotong sebuah gentong besar berisi air dan gayung kayu di atasnya. Di belakangnya, masuk seorang wanita paruh baya menenteng kantong besar di tangan kanannya. Kedua lelaki yang hanya memakai celana pendek dan sandal jepit itu menempatkan gentong di pinggir ranjang. Keduanya melirik sekilas ke tubuh Mawar yang polos lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu keluar.

“Kalian berdua, tolong sampaikan ke Raden Arya, pengantinnya akan segera hadir,” kata Citra seraya menutup pintu.

Mawar yang sedari tadi memperhatikannya terlonjak kaget mendengar kata “pengantin” diucapkan oleh Citra. Ia pun tak melepaskan pandangan penuh tanya kepadanya. Citra menghampirinya dan berucap, “Tante tidak perlu khawatir dengan pernikahan ini. Kakakku orang yang lembut dan baik hati, tentunya tidak akan menyakiti Tante.”

“Kenapa aku harus menikah dengan kakakmu?” tanya Mawar meminta penjelasan. Ia masih tidak memahami maksud dari semua ini.

Citra menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merapikan kebaya. “Bi Laksmi, tolong ambilkan cermin!” titahnya.

“Baik, Neng,” sahut Bi Laksmi yang langsung mengambil cermin dari kantong dan memberikannya.

“Cobalah bercermin!” kata Citra yang langsung menyodorkannya ke Mawar.

Betapa terkejutnya Mawar begitu melihat wajahnya di cermin. Wajah yang dulu segar kini tampak seperti wanita berusia 40-an tahun, jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Mawar mengembalikan cermin ke tangan Citra. “Mengapa aku bisa menjadi tua begini?” tanyanya.

Citra mengangkat kedua bahu. Mawar hanya terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Citra kemudian menyiram tubuh Mawar dengan air dari gentong, lalu mengenakan kebaya pengantin yang telah disiapkan oleh Bi Laksmi, dan diakhiri dengan meriasnya.

“Kakakku, Raden Arya, adalah saudagar kaya di daerah ini. Dia juga orang yang sangat lembut dan ramah kepada siapa pun. Aku yakin, Tante akan bahagia hidup bersamanya,” ujar Citra mencoba menenangkan di  sela kesibukannya merias wajah Mawar.

Seperti tersirap dengan kata-kata manis yang terlontar dari mulut Citra. Mawar akhirnya mengangguk setuju, menikah dengan Raden Arya.

Pernikahan itu berlangsung dengan khidmat, dihadiri oleh khalayak ramai yang terus berdatangan hingga malam. Perasaan Mawar yang beku mulai mencair seiring waktu. Ia merasakan kelembutan Arya dalam setiap perlakuannya selama pernikahan. Senyum mulai terukir dari bibirnya yang tipis dan semerah ceri.

“Mawar, tengah malam nanti kita akan melakukan ritual melemparkan bunga dari atas tebing sebagai acara puncak melepas masa lajang. Sampai waktunya tiba, kamu tidak boleh mengganti kebaya yang kamu kenakan ini,” kata Arya dengan lembut, senyum selalu menghiasi wajahnya.

“Aku ikut kamu saja, Kangmas,” balas Mawar sambil menundukkan wajahnya karena malu ditatap Arya yang kini menjadi suaminya.

Arya mengapit dagu Mawar dan mengangkatnya. Wajah mereka begitu dekat, terasa embusan hangat napas keduanya beradu. “Apa kamu bahagia bersamaku?” tanya Arya yang membuat wajah Mawar bersemu merah.

“Entahlah, aku masih belum yakin,” jawab Mawar mengutarakan perasaannya.

“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu masih terkejut dengan pernikahan ini,” balas Arya sambil mengecup lembut kening Mawar.

Waktu terasa cepat ketika kebahagiaan bersemayam di sanubari, itulah yang dirasakan oleh Mawar yang sedari tadi menyandarkan kepalanya di dada Arya. Mereka menikmati suasana malam yang meriah, dipenuhi senda gurau tamu undangan yang hadir menghiasi pernikahan hingga tengah malam.

“Sayang, biarkan aku memangkumu,” kata Arya, dan tanpa menunggu persetujuan, ia langsung mengangkat tubuh Mawar.

Dengan malu-malu karena dilihat banyak orang, Mawar menyembunyikan wajahnya di dada Arya. Citra dan beberapa orang tua memimpin jalan menuju tebing yang tidak jauh dari rumah penduduk. Puluhan tamu undangan lainnya pun ikut mengiringi langkah pengantin dengan menggenggam obor untuk menerangi jalan.

Tebing itu terletak di pinggir desa, menawarkan pemandangan indah di bawah sinar rembulan. Angin malam yang sejuk menerpa wajah Mawar,  memberikan ketenangan di hatinya yang gelisah. Sampai di puncak tebing, Mawar dan Arya berdiri di tepian diiringi semua orang yang berderet di kedua sisi, menyaksikan ritual yang penuh makna.

Seorang tetua mulai membacakan doa-doa yang terdengar aneh, diiringi dengan penyembelihan ayam hitam, lalu melemparkannya ke jurang. Setelah itu, sang tetua menghampiri pengantin dan berdiri di belakang Arya yang tengah memangku Mawar. Tangan kiri si tetua mengusap kepala Mawar seraya membacakan doa lalu tangan kanannya yang menggenggam pisau tajam yang menyisakan darah ayam, terayun ke leher Mawar, menggoroknya dengan sekali tebasan hingga Mawar terbelalak kaget merasakan perih di lehernya. Sedetik kemudian, Arya langsung melemparkan tubuh Mawar yang menggelinjang ke dalam jurang.

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

mungkin sedang bermimpi. mungkinnn/Smile/

2024-08-18

1

Bunda Silvia

Bunda Silvia

astghfirullah hal'adzim beneran firasatku si mawar yg di lempar ke tebing

2024-08-13

0

Rembulan menangis

Rembulan menangis

next thor
jdi pnisirin aku
kok tiba² di lempar k jurang

2024-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!