Semua pasang mata tertuju ke bawah tebing, menyaksikan jatuhnya sebongkah tubuh manusia yang menukik tajam hingga lenyap ditelan kegelapan. Keheningan menyelimuti, ketegangan tampak menghiasi raut wajah semua orang yang menyaksikannya. Namun, begitu suara gedebuk terdengar dari bawah, wajah-wajah tegang itu pun meredup, datar tanpa ekspresi.
Satu per satu penduduk desa pergi tanpa meninggalkan suara, melangkah seperti tak menapak, bayangan mereka menghilang di kegelapan. Tidak ada sorak sorai, tidak ada ucapan selamat. Hanya kesunyian yang menambah aura misteri pada malam itu.
Arya masih berdiri di sana, senyumnya tenang namun matanya menyiratkan sesuatu yang tak terungkap. Ia memandang ke arah kegelapan di bawah tebing untuk beberapa saat, seolah mencari jawaban yang tersembunyi di balik bayang-bayang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Arya berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan kesunyian yang menggelayuti malam.
Sementara itu, Mawar yang tubuhnya mendarat dengan keras di atas semak belukar terlihat menggelepar dengan darah yang terus mengalir keluar dari lehernya yang menganga. Lebih mengenaskan lagi, kedua tangan dan kakinya terjuntai, dan wajahnya tak lagi berbentuk normal setelah terhantam bebatuan yang melemparkannya ke semak.
Ajaib, dengan kondisi kritis seperti itu, harusnya Mawar sudah meregang nyawa, tetapi benar yang dikatakan oleh mendiang Bunda Wulan, nyawa seolah tak mau pergi meninggalkannya. Mawar masih hidup dan bernapas.
Derap langkah kaki terdengar dari kejauhan, terus mendekat hingga menampakkan dua bola mata yang bersinar dari seekor hewan karnivora. Seluruh tubuhnya hitam, nyaris tidak terlihat dan hanya memperlihatkan tajamnya sorot mata yang bersinar di kegelapan malam. Hewan itu mengendus tubuh Mawar lalu menggigit dan menariknya ke suatu tempat yang tersembunyi di kaki tebing.
***
Seorang kakek yang sedang bermeditasi membuka kedua matanya begitu larik cahaya pagi menerpa wajahnya. Pandangannya tertuju ke arah macan kumbang yang tengah duduk di sebelah tubuh seorang wanita yang terbaring dalam kondisi yang mengenaskan.
“Tumbal Pengantin,” gumamnya begitu melihat kebaya yang melekat di tubuh Mawar. Ia bangkit dan menghampirinya.
Melengak si kakek melihat wanita yang terbaring di hadapannya masih hidup. “Mustahil!” serunya sambil geleng-geleng kepala. “Bagaimana mungkin seorang manusia yang tersembelih dan terjatuh dari atas tebing lalu menghantam bebatuan masih bisa hidup? Ajaib!”
Dalam posisi duduk bersila, si kakek menangkupkan kedua telapak tangannya di atas perut Mawar, menyalurkan tenaga dalam ke pembuluh darah. Menyembuhkan luka dalam dan memperbaiki jaringan otot serta tulang yang patah. Setelah itu, ia mengusap bagian luka luar yang cukup banyak terutama pada leher yang menganga.
Proses penyembuhan berlangsung lama, hingga matahari tepat di atas kepala, barulah si kakek mengakhirinya. Si kakek menarik napas panjang lalu bermeditasi untuk memulihkan tenaganya. Menjelang malam, si kakek membuka mata, menatap sendu wajah perempuan yang begitu tenang dalam tidurnya. Ia kemudian bangkit dan pergi diikuti oleh seekor macan kumbang di belakangnya.
Pagi hari si kakek kembali bersama macan kumbang memasuki gua. Ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, mencari Mawar yang tak lagi berada di posisinya. "Perempuan itu sudah siuman. Ke mana dia pergi?" gumam si kakek terlihat khawatir.
Maka dari itu si kakek bergegas meninggalkan gua untuk meneruskan pencariannya. Namun, sebelum langkahnya sampai di pintu gua, terdengar olehnya suara benda jatuh di dalam gua. Si kakek berbalik dan menemukan Mawar sudah terlentang di atas tanah. Kedua matanya berkedip-kedip dan bibirnya tersenyum lebar. Si kakek yang memperhatikannya menjadi heran. Ia tengadahkan pandangannya ke arah dinding bebatuan tempat Mawar jatuh, lalu kembali melirik Mawar yang kini menatapnya datar tanpa ekspresi.
"Mengapa kau memanjat dinding gua?" tanya si kakek keheranan.
Mawar tidak menjawabnya, ia hanya merespons dengan tersenyum dan mata yang berkedip-kedip. "Apakah perempuan ini gila?" batin si kakek bertanya. "Ayo bangun!" pinta si kakek sambil menjulurkan tangan.
Mawar menyambut tangan si kakek lalu bangkit. Tiba-tiba, ia mencium bibir keriput si kakek dengan rakus. Mata si kakek melotot kaget, namun ia tidak berusaha melepaskannya. Begitu bibir mereka terlepas dari pagutan, Mawar memeluk si kakek erat-erat, lalu berbisik lembut, “Ucrit, jangan tinggalkan aku lagi!” Mawar terisak, mempererat pelukannya.
Si kakek mengusap punggung Mawar dengan lembut, membiarkannya menumpahkan kesedihan sampai pelukannya melonggar. Tatapan Mawar menjadi teduh, seakan menemukan kembali ketenangannya bersama sang kekasih hati. Ia menangkup kedua pipi keriput pria di depannya, mengernyit heran, dan bertanya, “Ucrit, kenapa kulitmu keriput dan rambutmu beruban?”
“Aku harus memeriksa kesehatanmu,” bisik si kakek tanpa peduli dengan celotehan yang dikumandangkan oleh Mawar.
Mawar mengangguk dan melepaskan pelukannya. Si kakek membawanya ke pojok gua tempat ia biasa bersemedi. “Berbaringlah,” pinta si kakek dengan lembut.
Mawar berbaring di atas batu besar yang permukaannya rata. Ia menatap si kakek dengan penuh cinta, menunggu sentuhan lembut yang menjalari tubuhnya. Namun, si kakek hanya melayangkan tangan tanpa menyentuhnya sekalipun. Mawar cemberut dan memalingkan wajah menghadap dinding, berharap si kakek yang dalam benaknya adalah Ucrit mau memeluknya dari belakang.
Kesal tak ada sesuatu yang terjadi, Mawar berbalik dan melihat si kakek sudah menutup kedua mata dalam posisi bersila. “Huh, kamu sudah tidak sayang aku lagi!” Mawar menggerutu sambil menjembel kedua pipi si kakek dengan gemas.
“Ucrit!” panggil Mawar dengan menaikkan intonasinya.
“Jangan diam aja!” kata Mawar. “Ayo rengkuh aku. Aku kangen kamu, Sayang.”
Tidak ada reaksi dari si kakek yang terus saja fokus bermeditasi. Mawar tak mau ditolak. Ia lucuti kain kebaya yang melekat di tubuhnya, lalu menarik kedua tangan si kakek; menangkupkannya di dada. Sontak saja si kakek terkejut merasakan sesuatu yang lembut terkepal di tangannya. Ia pun terpaksa membuka mata dan memelototinya dengan tajam.
“Cukup! Aku bukan Ucrit,” kata si kakek seraya menarik tangannya dari gumpalan lembut tubuh Mawar.
Mawar mendengus kesal. “Apa karena aku sekarang jelek hingga kamu nggak mau lagi menyentuhku?”
Si kakek menggelengkan kepala dengan lembut, lalu menyentuh kening Mawar dengan jari telunjuknya. Mawar menutup mata dan terkulai jatuh. Si kakek membaringkannya di atas batu dengan hati-hati. “Penderitaan macam apa yang dihadapi olehnya?” gumamnya penuh iba.
Hari demi hari berlalu, Mawar masih belum bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan, ia tidak mengingat namanya sendiri. Satu-satunya yang terus terngiang di benaknya hanyalah Ucrit, mantan kekasihnya.
Setiap hari, si kakek bernama Sudirman itu terus merawat Mawar dengan penuh kasih sayang, berharap suatu hari Mawar akan pulih dan mengingat siapa dirinya sebenarnya. Namun, ingatannya seolah tertutup rapat. Mawar hanya mengingat sosok Ucrit, tetapi tidak dengan kenangannya.
***
Kilatan petir menyambar terang di langit, seakan hendak merobek cakrawala. Suara guntur bergemuruh mengikutinya, sementara angin kencang menerpa, membawa rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Suasana begitu mencekam, namun seorang wanita tetap tak bergerak meninggalkan lereng Gunung Harimau.
"Arumi, lihatlah, langit sudah gelap! Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke gua?" Seorang kakek yang masih tampak tegap berbicara kepada wanita yang diasuhnya.
Mawar yang kini dipanggil Arumi, tidak menghiraukannya. Pandangannya tetap tertuju pada puncak gunung, seakan di sanalah jawaban atas segala pertanyaan yang menghantui pikirannya. Sudirman, sang kakek, juga memperhatikan puncak gunung. Sesekali ia bergumam, sering kali menggerutu, tetapi tatapannya tetap mengikuti arah pandang Arumi.
"Setelah kau menguasai semua yang Kakek ajarkan, kau boleh pergi mencari asal usulmu," kata Sudirman dengan harapan ucapannya kali ini didengar.
Arumi mengangguk, lalu mendekat. "Menurut Kakek, aku harus mencari Ucrit terlebih dahulu, atau mencari orang yang menumbalkanku?" tanyanya, mengutarakan yang sedari tadi dipikirkannya.
"Apa yang paling ingin kamu ketahui di antara keduanya?" Sudirman balik bertanya.
"Tentu saja aku ingin menemukan satu-satunya orang yang ada di kepalaku," jawab Arumi cepat.
"Maka carilah dia," balas Sudirman meyakinkannya.
Arumi mengangguk lagi. Bayangan Ucrit melintas di benaknya, dan senyum menghiasi wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Bunda Silvia
ini dh lama ko masih belum up semoga sehat selalu authornya
2024-08-20
1
Kardi Kardi
kasihan MAWAR. hmm mawar. mawarrr
2024-08-18
1
〈⎳ HIATUS
Jangan diingetin dong, Thor!
Atau kata-kata mutiaraku akan keluar di kolom komentar ini?!
2024-07-31
0