Pekatnya awan hitam menggulung-gulung di langit, menumpahkan berkubik-kubik air yang tertampung di dalamnya. Langit gelap terlihat mencekam, menyelimuti lebatnya hutan rimba yang berontak diterpa hujan badai. Kilatan petir silih berganti, seakan berlomba dengan tarian alam yang penuh ancaman. Di kedalaman hutan, berdiri sebuah gubuk sederhana yang tegak namun tak berdaya di antara pepohonan yang bergoyang diterpa amukan badai.
Di dalam gubuk itu, dua orang duduk dengan wajah gelisah, menatap seorang gadis berwajah pucat yang terbaring lemah, tubuhnya yang kurus kerontang terbalut ramuan herbal. Terlihat seperti tulang berbalut kulit tanpa daging.
“Bunda ... kapan Mawar akan siuman? Sudah lebih dari lima bulan dia tertidur di pembaringan. Melihat kondisinya yang sangat mengkhawatirkan, aku takut kehilangannya, Bunda,” ucap Adrian tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Mawar.
Bunda Wulan menggeleng pelan, ada kekaguman yang terpancar dari tatapannya. Namun, kecemasan atas kondisi Mawar yang begitu lemah tak bisa ia sembunyikan.
“Waktu pertama kali Bunda menemukannya hanyut di sungai, kondisinya lebih parah dari yang kita lihat sekarang. Mawar adalah pribadi yang kuat, bahkan kematian seolah enggan menghampirinya,” ujar Bunda Wulan. Ia berdiri menghampiri Mawar lalu mengusap wajahnya dengan lembut.
“Adrian,” panggil Bunda Wulan dengan nada lembut. “Sejak kau kembali dari Metrolink, apakah kau yakin tidak diikuti oleh siapa pun?”
“Aku sangat yakin, Bunda. Sebelum ke sini, aku menetap seminggu di Jakarta untuk mengamankan aset perusahaan,” jawab Adrian dengan penuh keyakinan. “Apa ada yang Bunda khawatirkan?”
Bunda Wulan menatapnya sejenak, menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas. “Sudah dua kali Bunda melihat orang asing memasuki hutan ini. Mereka tampak mencari sesuatu.”
“Mungkin mereka dari Dinas Rimba Raya,” ujar Adrian, mencoba memberi penjelasan.
“Tapi mereka tidak memakai seragam dinas,” bantah Bunda Wulan, tetap yakin pada nalurinya.
“Seragam hanya untuk di kantor, bukan untuk memasuki hutan.” Adrian bangkit dan merangkul pundak Bunda Wulan dengan lembut.
“Ada aku yang akan menjaga Bunda,” ucapnya, berusaha menenangkan.
“Menjagaku atau Mawar?”
“Keduanya,” jawab Adrian dengan senyum lebar.
“Kau yakin ingin menikahinya?” tanya Bunda Wulan serius, menatap matanya dalam-dalam.
“Apa aku terlihat ragu?” Adrian menyeringai, penuh percaya diri.
“Jangan terlalu percaya diri, belum tentu Mawar menyukaimu,” kata Bunda Wulan mengingatkan.
“Sebenarnya Mawar yang belum tahu kalau aku me-”
Brak!
Pintu gubuk tiba-tiba terbanting keras. Adrian dan Bunda Wulan terperanjat menoleh ke arah pintu yang terbuka. Angin kencang menyeret masuk air hujan, membasahi sebagian besar isi gubuk.
“Cepat kaututup kembali pintunya!” titah Bunda Wulan setelah memperhatikan tidak ada orang yang masuk ke dalam gubuknya.
Adrian lekas menutup pintu dan mengganjalnya dengan kayu. Detik berikutnya, Adrian tercengang melihat bambu kuning menembus keluar dari dada sang bunda. Seorang pria bermantel hitam dan bertubuh tinggi berdiri di belakang Bunda Wulan. Dan seorang lagi terlihat sedang mengangkat tubuh Mawar lalu memanggulnya.
Lepas dari keterkejutan, Adrian membuka mulut, bertanya tergagap, “Si … siapa kalian?”
Pria yang terdekat tidak menjawab. Ia menarik bambu kuning yang tertancap di dada sang bunda dengan satu tarikan. Suaranya terdengar memilukan, dan Bunda Wulan pun tersungkur jatuh tak bernyawa. Emosi meluap di kepala Adrian. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat lalu bergerak menyerang.
Slash!
Begitu Adrian bergerak, sesuatu yang tak kasat mata membentuk garis merah di lehernya dengan sempurna. Kepala Adrian terjatuh ke belakang meninggalkan tubuhnya. Ia mati menyusul Bunda Wulan, ibunya. Tampak dari belakangnya, seorang pria sudah berdiri dengan menggenggam semacam benang yang meneteskan darah.
“Bos, ayo kita pergi!” ajak seorang pria yang memanggul Mawar.
Pria yang dipanggil bos itu menggeleng lalu berkata, “Nenek tua ini seorang penyihir paling mematikan pada masanya. Tidak cukup hanya dengan menusuk jantungnya, kita harus membakarnya menjadi abu.”
“Baik, Bos, aku mengerti. Lalu, apakah kita akan membakarnya setelah hujan reda?”
Si bos diam, tetapi ekor matanya bergerak memperhatikan area gubuk dan berhenti pada ranjang kayu. Ia kemudian berkata, “Tidak perlu. Ranjang kayu itu masih kering, kita bisa menggunakannya untuk membakar keduanya.”
“Kalian berdua cepat pergi! Biar aku yang mengurus kedua jasad ini,” imbuh si bos memintanya.
Keduanya mengangguk lalu menghilang dalam kegelapan hutan rimba. Sementara si bos langsung mengangkat jasad Bunda Wulan disusul dengan jasad Adrian ke atas ranjang kayu. Tak berlangsung lama, ia membakarnya dan keluar dari gubuk kayu. Namun, ia tak langsung pergi begitu saja. Ia memastikan tubuh kedua korbannya hangus dilahap si jago merah.
Tatapannya dingin melihat api berkobar-kobar dari dalam gubuk sampai mengecil dan menyisakan kepulan asap. Setelah itu, ia kembali masuk ke dalamnya, melihat dua jenazah yang kini berubah menjadi tengkorak yang hangus terbakar. Hitam legam. Bibirnya melebar dan gigi kuningnya tampak berkilat di kegelapan.
Sebulan kemudian, Mawar membuka matanya perlahan, memperhatikan langit-langit kamar yang dipasangi lampu bundar. Ia menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang mengganjal di mulutnya. Saat ia menoleh ke arah tubuhnya, Mawar terkejut mendapati berbagai alat medis yang terpasang di sekujur tubuhnya.
"Aneh... Bunda Wulan tidak mungkin membawaku ke rumah sakit," pikir Mawar. "Ataukah aku masih berada di Metrolink?" Mawar bertanya-tanya dalam hati.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan seseorang berpakaian hazmat lengkap masuk menghampirinya. Orang itu melakukan serangkaian tes medis tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu pergi begitu saja.
Tak lama kemudian, dua orang berpakaian hazmat lengkap lainnya memasuki ruangan sambil mendorong ranjang besi. Mereka mendekati Mawar dan dengan cekatan mencabut peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Mawar dipindahkan ke ranjang besi itu, dan mulut, leher, tangan, serta kakinya diikat erat dengan tali, membuatnya tak dapat bergerak maupun berbicara.
Selesai mengikatnya, kedua orang itu membawa Mawar keluar dari ruangan hingga ke pelataran luar rumah sakit. Mawar semakin heran dan merasa aneh dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak berbicara sama sekali, bahkan saat tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke dalam mobil van yang terparkir di luar rumah sakit. Mawar hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, mencoba memahami situasi aneh yang sedang dialaminya.
Pintu belakang mobil van tertutup dengan keras, dan mobil pun melaju entah ke mana. Mawar mencoba merapalkan mantra, namun tidak terjadi apa-apa. "Si... sihirku hilang," gumamnya dalam hati. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya, menandakan kepanikannya yang semakin memuncak. Ia yakin dirinya berada dalam bahaya, namun siapa yang tega berbuat demikian padanya? Berbagai pertanyaan berputar-putar di benaknya, membuatnya semakin gelisah. Tak lama kemudian, kelelahan menguasainya, dan ia pun tertidur.
Mawar kembali membuka matanya perlahan. Kali ini, ia berada di sebuah kamar yang seluruhnya berwarna putih, tanpa ada perabotan selain ranjang yang ditempatinya. Tatapannya membelalak saat menyadari tubuhnya tak mengenakan apa pun selain rantai yang mengikat kedua tangannya yang terlentang.
“Ah!” Mawar menjerit keras, mencoba memancing perhatian siapa pun yang ada di luar kamarnya.
Krak!
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang pria sebaya yang masuk dengan tatapan dingin. Pria itu terlihat tidak asing baginya. Mawar menyipitkan mata, berusaha mengingat-ingat siapa pria yang sekarang duduk di tepian ranjangnya.
“Aku tahu kau sudah lupa padaku, tapi tak masalah bagiku karena kau akan terus berada di sini dan mungkin saja ingatanmu akan kembali,” ucap pria itu sambil membelai pipi Mawar dengan lembut.
“Aku tak peduli siapa dirimu,” kata Mawar dengan nada tajam. “Yang ingin aku tahu, untuk apa kau membawaku dan mengikatku seperti ini?”
Pria itu tersenyum, lalu mengecup kening Mawar dengan lembut. Tangannya masih terus membelai pipi Mawar dengan sentuhan yang sama lembutnya. “Beristirahatlah. Kau butuh tenaga untuk memuaskanku setiap hari,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan Mawar dalam kabut pertanyaan yang semakin pekat.
Waktu berjalan terasa begitu lambat dari biasanya. Mawar tak bisa melakukan apa pun, hanya merasakan dingin yang terus menusuk pori-pori kulitnya yang tak terlapisi selembar pun kain untuk melindunginya dari hawa dingin di kamar itu.
Kehidupan Mawar terbalik dari sebelumnya yang dipenuhi dendam kesumat. Kini, ia bertanya-tanya mengapa ia masih hidup. Bukankah seharusnya ia sudah mati? Untuk apa ia hidup ketika dendamnya sudah terbayarkan?
Mawar kembali mengingat saat ia menghabisi semua musuhnya dengan brutal. Kenangan itu, sungguh miris dan memilukan. Sekarang, bukan kepuasan batin atau kebahagiaan yang dirasakannya setelah berhasil menuntaskan dendam, melainkan kekosongan yang mendalam. Ia merenung, memikirkan apa yang telah ia lakukan selama ini, dan mungkin saja ... inilah alasan mengapa dirinya masih hidup. Menjalani karma kehidupan.
Waktu seolah mengejek jantungku yang berdetak saat aku terjebak dalam kesepian
Terdiam di garis batas, mencari diri di tengah keheningan
Tak tahu harus ke mana, tujuan tak tampak di depan
Adakah bahu untuk bersandar? Entah, tak ada jawaban.
Yang kupunya hanya waktu, terus mengejek dan mengingatkan
Bahwa aku masih hidup, tapi arah tak kunjung ditemukan
Setiap detik berlalu, lelucon kejam terus menghantam perasaan
Aku terasing dalam diriku, terikat dalam keheningan.
Waktu yang dulu teman, kini musuh yang mengolok keadaan
Dalam putus asa, aku bertanya-tanya, adakah harapan atau hanya kegalauan
Terperangkap dalam siklus waktu yang tak berujung, tanpa pelarian
Detak jantungku hanya bukti kekosongan yang menghantuiku, terus mengaburkan pandangan.
Terdengar suara pintu terbuka, dan seorang gadis manis dengan rambut terikat kuncir kuda tersenyum padanya dengan membawa pakaian terlipat di atas kedua tangan. Mawar bergeming, tak tahu harus membalasnya dengan apa. Tersenyumkah dalam keadaan seperti ini, atau menyambutnya dengan sapaan lembut?
“Tante, aku datang untuk mengurusmu,” kata gadis itu terdengar ramah.
Mawar tercengang mendengarnya. “Apakah aku setua itu sampai dipanggil ‘tante’?” gumamnya.
Gadis itu tersenyum, mendengar gumaman Mawar. Sambil membuka rantai yang melingkar di pergelangan Mawar, gadis itu berkata, “Bukan Tante yang tua, tapi aku yang terlalu muda.”
Mawar menggelengkan kepala. “Tidak masalah, toh usiaku sudah menyentuh kepala tiga. Wajar saja kalau aku dipanggil seperti itu,” ucapnya, teringat pada usianya yang memang tidak lagi muda.
Si gadis menautkan alis mendengarnya, tetapi ia tidak ingin menyinggungnya. “Sudah lepas,” kata gadis itu dengan gembira. “Silakan, Tante, pakaiannya dikenakan! Aku akan membawa Tante ke tempat pemandian.”
Mawar menggerakkan tangannya, meraba wajahnya dengan lembut. Ia tidak merasakan apa-apa kecuali dingin di permukaan kulitnya. “Terima kasih, tapi siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Aku Citra, Tante,” jawabnya, “dan Tante sendiri?”
“Mawar.”
Mawar mengenakan daster berwarna putih polos berbahan katun. Tampak anggun, namun agak menerawang. Citra kemudian membawanya keluar kamar. Pandangan Mawar tiba-tiba terbelalak memperhatikan dirinya berada di tempat yang sangat berbeda dengan suasana Kota Metrolink.
“Citra, kita di mana dan jam berapa sekarang? Mengapa kau mengajakku ke pemandian?” Mawar merasa heran dengan ajakan Citra yang aneh.
“Di kaki Gunung Harimau, dan sekarang sudah pukul sebelas malam,” jawab Citra sambil menuntunnya ke suatu tempat.
“Hah! Untuk apa kita ke sana tengah malam begini?”
“Untuk membersihkan tubuh Tante dari pengaruh jahat.”
“Maksudnya bagaimana?”
Citra hanya tersenyum menanggapinya. Wajahnya terbias dalam keremangan cahaya malam. Jemarinya yang lentik menggenggam erat tangan Mawar, membawanya menapaki jalan setapak memasuki area hutan di kaki Gunung Pangrango yang tidak begitu lebat.
Setelah menempuh langkah yang cukup jauh, Mawar mulai merasa kagum dengan kemampuan Citra dalam menelusuri area hutan yang terselimuti kegelapan malam. Ia pun bertanya, “Bagaimana kau bisa berjalan cepat di area hutan yang begitu gelap?”
Citra tersenyum lagi, kali ini dengan mata yang bersinar lembut dalam gelap. “Aku sudah terbiasa, Tante.”
“Oh,” timpal Mawar singkat. Perjalanan pun terus berlanjut.
Gemericik air terdengar dari kejauhan dan semakin jelas saat Mawar dan Citra mendekat. Sebuah kubangan air berbentuk bundar dengan pancuran dari bambu terlihat di depan mereka.
“Tante, silakan berendam tepat di bawah guyuran air,” kata Citra menginstruksikannya.
Mawar sedikit ragu, tetapi ia tetap mengikutinya. Perlahan, ia melangkahkan kaki memasuki kubangan setinggi betis, lalu berendam di dalamnya tepat di bawah guyuran air yang jatuh dari mulut bambu. Anehnya, Mawar tidak merasakan suhu dingin yang ekstrem di tubuhnya. Malah sebaliknya, air terasa sedikit hangat dan begitu nyaman.
Hampir satu jam lamanya ia berendam, merasakan kehangatan air yang menenangkan. Citra kemudian memintanya untuk keluar dari kubangan dan melanjutkan perjalanan ke kubangan berikutnya. Mereka berjalan dari satu kubangan ke kubangan lainnya, hingga tujuh kubangan berbeda yang tersebar di tengah hutan.
“Citra, apakah masih ada kubangan lainnya?” Mawar mulai merasa lelah setelah berjalan lama di tengah hutan.
“Sudah selesai. Ayo pulang!” ajak Citra setelah menghitungnya dengan jari.
Pekatnya kegelapan malam berangsur memudar seiring waktu yang kini memasuki waktu subuh. Cahaya fajar mulai mengintip di ufuk timur. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan hutan dengan langkah yang tenang, diiringi suara alam yang menyambut pagi.
Sampai di dalam ruangan yang sama, Citra meminta Mawar untuk melucuti pakaiannya. Sempat bingung, tetapi Mawar memahaminya. Ia tidak mungkin mengenakan pakaian basah seharian. Akhirnya ia harus kembali polos seperti sebelumnya. Meskipun begitu, Mawar tidak lagi dirantai. Ia bisa bebas berada di kamarnya.
“Tiga jam lagi, aku akan kembali ke sini. Tidurlah sampai aku datang,” ujar Citra.
“Apakah kita akan keluar lagi?” tanya Mawar sebelum Citra sampai di ambang pintu.
Citra hanya tersenyum lalu meninggalkannya dalam kebingungan.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Mawar yang tidak bisa memejamkan mata melihat Citra masuk bersama dua orang lelaki yang menggotong sebuah gentong besar berisi air dan gayung kayu di atasnya. Di belakangnya, masuk seorang wanita paruh baya menenteng kantong besar di tangan kanannya. Kedua lelaki yang hanya memakai celana pendek dan sandal jepit itu menempatkan gentong di pinggir ranjang. Keduanya melirik sekilas ke tubuh Mawar yang polos lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu keluar.
“Kalian berdua, tolong sampaikan ke Raden Arya, pengantinnya akan segera hadir,” kata Citra seraya menutup pintu.
Mawar yang sedari tadi memperhatikannya terlonjak kaget mendengar kata “pengantin” diucapkan oleh Citra. Ia pun tak melepaskan pandangan penuh tanya kepadanya. Citra menghampirinya dan berucap, “Tante tidak perlu khawatir dengan pernikahan ini. Kakakku orang yang lembut dan baik hati, tentunya tidak akan menyakiti Tante.”
“Kenapa aku harus menikah dengan kakakmu?” tanya Mawar meminta penjelasan. Ia masih tidak memahami maksud dari semua ini.
Citra menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merapikan kebaya. “Bi Laksmi, tolong ambilkan cermin!” titahnya.
“Baik, Neng,” sahut Bi Laksmi yang langsung mengambil cermin dari kantong dan memberikannya.
“Cobalah bercermin!” kata Citra yang langsung menyodorkannya ke Mawar.
Betapa terkejutnya Mawar begitu melihat wajahnya di cermin. Wajah yang dulu segar kini tampak seperti wanita berusia 40-an tahun, jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Mawar mengembalikan cermin ke tangan Citra. “Mengapa aku bisa menjadi tua begini?” tanyanya.
Citra mengangkat kedua bahu. Mawar hanya terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Citra kemudian menyiram tubuh Mawar dengan air dari gentong, lalu mengenakan kebaya pengantin yang telah disiapkan oleh Bi Laksmi, dan diakhiri dengan meriasnya.
“Kakakku, Raden Arya, adalah saudagar kaya di daerah ini. Dia juga orang yang sangat lembut dan ramah kepada siapa pun. Aku yakin, Tante akan bahagia hidup bersamanya,” ujar Citra mencoba menenangkan di sela kesibukannya merias wajah Mawar.
Seperti tersirap dengan kata-kata manis yang terlontar dari mulut Citra. Mawar akhirnya mengangguk setuju, menikah dengan Raden Arya.
Pernikahan itu berlangsung dengan khidmat, dihadiri oleh khalayak ramai yang terus berdatangan hingga malam. Perasaan Mawar yang beku mulai mencair seiring waktu. Ia merasakan kelembutan Arya dalam setiap perlakuannya selama pernikahan. Senyum mulai terukir dari bibirnya yang tipis dan semerah ceri.
“Mawar, tengah malam nanti kita akan melakukan ritual melemparkan bunga dari atas tebing sebagai acara puncak melepas masa lajang. Sampai waktunya tiba, kamu tidak boleh mengganti kebaya yang kamu kenakan ini,” kata Arya dengan lembut, senyum selalu menghiasi wajahnya.
“Aku ikut kamu saja, Kangmas,” balas Mawar sambil menundukkan wajahnya karena malu ditatap Arya yang kini menjadi suaminya.
Arya mengapit dagu Mawar dan mengangkatnya. Wajah mereka begitu dekat, terasa embusan hangat napas keduanya beradu. “Apa kamu bahagia bersamaku?” tanya Arya yang membuat wajah Mawar bersemu merah.
“Entahlah, aku masih belum yakin,” jawab Mawar mengutarakan perasaannya.
“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu masih terkejut dengan pernikahan ini,” balas Arya sambil mengecup lembut kening Mawar.
Waktu terasa cepat ketika kebahagiaan bersemayam di sanubari, itulah yang dirasakan oleh Mawar yang sedari tadi menyandarkan kepalanya di dada Arya. Mereka menikmati suasana malam yang meriah, dipenuhi senda gurau tamu undangan yang hadir menghiasi pernikahan hingga tengah malam.
“Sayang, biarkan aku memangkumu,” kata Arya, dan tanpa menunggu persetujuan, ia langsung mengangkat tubuh Mawar.
Dengan malu-malu karena dilihat banyak orang, Mawar menyembunyikan wajahnya di dada Arya. Citra dan beberapa orang tua memimpin jalan menuju tebing yang tidak jauh dari rumah penduduk. Puluhan tamu undangan lainnya pun ikut mengiringi langkah pengantin dengan menggenggam obor untuk menerangi jalan.
Tebing itu terletak di pinggir desa, menawarkan pemandangan indah di bawah sinar rembulan. Angin malam yang sejuk menerpa wajah Mawar, memberikan ketenangan di hatinya yang gelisah. Sampai di puncak tebing, Mawar dan Arya berdiri di tepian diiringi semua orang yang berderet di kedua sisi, menyaksikan ritual yang penuh makna.
Seorang tetua mulai membacakan doa-doa yang terdengar aneh, diiringi dengan penyembelihan ayam hitam, lalu melemparkannya ke jurang. Setelah itu, sang tetua menghampiri pengantin dan berdiri di belakang Arya yang tengah memangku Mawar. Tangan kiri si tetua mengusap kepala Mawar seraya membacakan doa lalu tangan kanannya yang menggenggam pisau tajam yang menyisakan darah ayam, terayun ke leher Mawar, menggoroknya dengan sekali tebasan hingga Mawar terbelalak kaget merasakan perih di lehernya. Sedetik kemudian, Arya langsung melemparkan tubuh Mawar yang menggelinjang ke dalam jurang.
Semua pasang mata tertuju ke bawah tebing, menyaksikan jatuhnya sebongkah tubuh manusia yang menukik tajam hingga lenyap ditelan kegelapan. Keheningan menyelimuti, ketegangan tampak menghiasi raut wajah semua orang yang menyaksikannya. Namun, begitu suara gedebuk terdengar dari bawah, wajah-wajah tegang itu pun meredup, datar tanpa ekspresi.
Satu per satu penduduk desa pergi tanpa meninggalkan suara, melangkah seperti tak menapak, bayangan mereka menghilang di kegelapan. Tidak ada sorak sorai, tidak ada ucapan selamat. Hanya kesunyian yang menambah aura misteri pada malam itu.
Arya masih berdiri di sana, senyumnya tenang namun matanya menyiratkan sesuatu yang tak terungkap. Ia memandang ke arah kegelapan di bawah tebing untuk beberapa saat, seolah mencari jawaban yang tersembunyi di balik bayang-bayang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Arya berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan kesunyian yang menggelayuti malam.
Sementara itu, Mawar yang tubuhnya mendarat dengan keras di atas semak belukar terlihat menggelepar dengan darah yang terus mengalir keluar dari lehernya yang menganga. Lebih mengenaskan lagi, kedua tangan dan kakinya terjuntai, dan wajahnya tak lagi berbentuk normal setelah terhantam bebatuan yang melemparkannya ke semak.
Ajaib, dengan kondisi kritis seperti itu, harusnya Mawar sudah meregang nyawa, tetapi benar yang dikatakan oleh mendiang Bunda Wulan, nyawa seolah tak mau pergi meninggalkannya. Mawar masih hidup dan bernapas.
Derap langkah kaki terdengar dari kejauhan, terus mendekat hingga menampakkan dua bola mata yang bersinar dari seekor hewan karnivora. Seluruh tubuhnya hitam, nyaris tidak terlihat dan hanya memperlihatkan tajamnya sorot mata yang bersinar di kegelapan malam. Hewan itu mengendus tubuh Mawar lalu menggigit dan menariknya ke suatu tempat yang tersembunyi di kaki tebing.
***
Seorang kakek yang sedang bermeditasi membuka kedua matanya begitu larik cahaya pagi menerpa wajahnya. Pandangannya tertuju ke arah macan kumbang yang tengah duduk di sebelah tubuh seorang wanita yang terbaring dalam kondisi yang mengenaskan.
“Tumbal Pengantin,” gumamnya begitu melihat kebaya yang melekat di tubuh Mawar. Ia bangkit dan menghampirinya.
Melengak si kakek melihat wanita yang terbaring di hadapannya masih hidup. “Mustahil!” serunya sambil geleng-geleng kepala. “Bagaimana mungkin seorang manusia yang tersembelih dan terjatuh dari atas tebing lalu menghantam bebatuan masih bisa hidup? Ajaib!”
Dalam posisi duduk bersila, si kakek menangkupkan kedua telapak tangannya di atas perut Mawar, menyalurkan tenaga dalam ke pembuluh darah. Menyembuhkan luka dalam dan memperbaiki jaringan otot serta tulang yang patah. Setelah itu, ia mengusap bagian luka luar yang cukup banyak terutama pada leher yang menganga.
Proses penyembuhan berlangsung lama, hingga matahari tepat di atas kepala, barulah si kakek mengakhirinya. Si kakek menarik napas panjang lalu bermeditasi untuk memulihkan tenaganya. Menjelang malam, si kakek membuka mata, menatap sendu wajah perempuan yang begitu tenang dalam tidurnya. Ia kemudian bangkit dan pergi diikuti oleh seekor macan kumbang di belakangnya.
Pagi hari si kakek kembali bersama macan kumbang memasuki gua. Ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, mencari Mawar yang tak lagi berada di posisinya. "Perempuan itu sudah siuman. Ke mana dia pergi?" gumam si kakek terlihat khawatir.
Maka dari itu si kakek bergegas meninggalkan gua untuk meneruskan pencariannya. Namun, sebelum langkahnya sampai di pintu gua, terdengar olehnya suara benda jatuh di dalam gua. Si kakek berbalik dan menemukan Mawar sudah terlentang di atas tanah. Kedua matanya berkedip-kedip dan bibirnya tersenyum lebar. Si kakek yang memperhatikannya menjadi heran. Ia tengadahkan pandangannya ke arah dinding bebatuan tempat Mawar jatuh, lalu kembali melirik Mawar yang kini menatapnya datar tanpa ekspresi.
"Mengapa kau memanjat dinding gua?" tanya si kakek keheranan.
Mawar tidak menjawabnya, ia hanya merespons dengan tersenyum dan mata yang berkedip-kedip. "Apakah perempuan ini gila?" batin si kakek bertanya. "Ayo bangun!" pinta si kakek sambil menjulurkan tangan.
Mawar menyambut tangan si kakek lalu bangkit. Tiba-tiba, ia mencium bibir keriput si kakek dengan rakus. Mata si kakek melotot kaget, namun ia tidak berusaha melepaskannya. Begitu bibir mereka terlepas dari pagutan, Mawar memeluk si kakek erat-erat, lalu berbisik lembut, “Ucrit, jangan tinggalkan aku lagi!” Mawar terisak, mempererat pelukannya.
Si kakek mengusap punggung Mawar dengan lembut, membiarkannya menumpahkan kesedihan sampai pelukannya melonggar. Tatapan Mawar menjadi teduh, seakan menemukan kembali ketenangannya bersama sang kekasih hati. Ia menangkup kedua pipi keriput pria di depannya, mengernyit heran, dan bertanya, “Ucrit, kenapa kulitmu keriput dan rambutmu beruban?”
“Aku harus memeriksa kesehatanmu,” bisik si kakek tanpa peduli dengan celotehan yang dikumandangkan oleh Mawar.
Mawar mengangguk dan melepaskan pelukannya. Si kakek membawanya ke pojok gua tempat ia biasa bersemedi. “Berbaringlah,” pinta si kakek dengan lembut.
Mawar berbaring di atas batu besar yang permukaannya rata. Ia menatap si kakek dengan penuh cinta, menunggu sentuhan lembut yang menjalari tubuhnya. Namun, si kakek hanya melayangkan tangan tanpa menyentuhnya sekalipun. Mawar cemberut dan memalingkan wajah menghadap dinding, berharap si kakek yang dalam benaknya adalah Ucrit mau memeluknya dari belakang.
Kesal tak ada sesuatu yang terjadi, Mawar berbalik dan melihat si kakek sudah menutup kedua mata dalam posisi bersila. “Huh, kamu sudah tidak sayang aku lagi!” Mawar menggerutu sambil menjembel kedua pipi si kakek dengan gemas.
“Ucrit!” panggil Mawar dengan menaikkan intonasinya.
“Jangan diam aja!” kata Mawar. “Ayo rengkuh aku. Aku kangen kamu, Sayang.”
Tidak ada reaksi dari si kakek yang terus saja fokus bermeditasi. Mawar tak mau ditolak. Ia lucuti kain kebaya yang melekat di tubuhnya, lalu menarik kedua tangan si kakek; menangkupkannya di dada. Sontak saja si kakek terkejut merasakan sesuatu yang lembut terkepal di tangannya. Ia pun terpaksa membuka mata dan memelototinya dengan tajam.
“Cukup! Aku bukan Ucrit,” kata si kakek seraya menarik tangannya dari gumpalan lembut tubuh Mawar.
Mawar mendengus kesal. “Apa karena aku sekarang jelek hingga kamu nggak mau lagi menyentuhku?”
Si kakek menggelengkan kepala dengan lembut, lalu menyentuh kening Mawar dengan jari telunjuknya. Mawar menutup mata dan terkulai jatuh. Si kakek membaringkannya di atas batu dengan hati-hati. “Penderitaan macam apa yang dihadapi olehnya?” gumamnya penuh iba.
Hari demi hari berlalu, Mawar masih belum bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan, ia tidak mengingat namanya sendiri. Satu-satunya yang terus terngiang di benaknya hanyalah Ucrit, mantan kekasihnya.
Setiap hari, si kakek bernama Sudirman itu terus merawat Mawar dengan penuh kasih sayang, berharap suatu hari Mawar akan pulih dan mengingat siapa dirinya sebenarnya. Namun, ingatannya seolah tertutup rapat. Mawar hanya mengingat sosok Ucrit, tetapi tidak dengan kenangannya.
***
Kilatan petir menyambar terang di langit, seakan hendak merobek cakrawala. Suara guntur bergemuruh mengikutinya, sementara angin kencang menerpa, membawa rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Suasana begitu mencekam, namun seorang wanita tetap tak bergerak meninggalkan lereng Gunung Harimau.
"Arumi, lihatlah, langit sudah gelap! Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke gua?" Seorang kakek yang masih tampak tegap berbicara kepada wanita yang diasuhnya.
Mawar yang kini dipanggil Arumi, tidak menghiraukannya. Pandangannya tetap tertuju pada puncak gunung, seakan di sanalah jawaban atas segala pertanyaan yang menghantui pikirannya. Sudirman, sang kakek, juga memperhatikan puncak gunung. Sesekali ia bergumam, sering kali menggerutu, tetapi tatapannya tetap mengikuti arah pandang Arumi.
"Setelah kau menguasai semua yang Kakek ajarkan, kau boleh pergi mencari asal usulmu," kata Sudirman dengan harapan ucapannya kali ini didengar.
Arumi mengangguk, lalu mendekat. "Menurut Kakek, aku harus mencari Ucrit terlebih dahulu, atau mencari orang yang menumbalkanku?" tanyanya, mengutarakan yang sedari tadi dipikirkannya.
"Apa yang paling ingin kamu ketahui di antara keduanya?" Sudirman balik bertanya.
"Tentu saja aku ingin menemukan satu-satunya orang yang ada di kepalaku," jawab Arumi cepat.
"Maka carilah dia," balas Sudirman meyakinkannya.
Arumi mengangguk lagi. Bayangan Ucrit melintas di benaknya, dan senyum menghiasi wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!