Gadis Misterius

Hutan berderu keras menahan kencangnya angin yang menerpa. Daun-daunnya berguguran jatuh, berterbangan ke sana kemari sebelum akhirnya bertumpukan di atas rerumputan. Arumi menguap, menggerutu tak karuan, lalu bangkit dari tempatnya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Seekor anak macan kumbang yang selalu didekapnya menggeliat, menggesekkan kepalanya di dada Arumi.

“Kau bangun juga, Iteung,” kata Arumi sambil mengelusnya. Ia kembali mengamati jalan yang harus diambilnya dengan mengandalkan naluri ke arah mana ia ingin berjalan.

Pada akhirnya Arumi mengambil jalan ke arah di antara dua batang pohon raksasa yang menjulang tinggi, berlumut, dan lembap. Tidak ada bias cahaya yang mampu menembus rerimbunan pohon-pohon raksasa di hutan yang disinggahinya itu. Gelap dan berbau hunus yang  mengendap. Bahkan, sesekali tercium bau bangkai yang begitu menyengat. Arumi tak mau peduli akan suasana mistis di dalam hutan. Langkahnya terus mengayun menapaki licinnya tanah dan rerumputan.

Semakin jauh melangkah, semakin sepi mencekik. Hening, bahkan angin pun seakan tak berani bertiup, sehingga pepohonan tampak tegang. Suatu waktu Arumi tersentak kaget mendengar suara berisik yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Ia melihat gumpalan hitam melesat dari tumpukan dedaunan kering lalu menyebar dan hilang begitu saja.

“Sepertinya kehadiran kita tak disukai para makhluk penunggu hutan,” bisik Arumi sambil mengelus kepala si Iteung.

Ia pun terus merintis jalan dengan menerobos tingginya semak belukar yang bahkan ada yang mencapai setinggi dada. Tidak ada kekhawatiran yang menyelimutinya selain binatang-binatang buas yang mungkin saja bisa menyerangnya kapan saja. Tentunya Arumi mewaspadai semua kemungkinan yang mengintainya.

Lamat-lamat terdengar suara air mengalir yang semakin dekat dan jelas, terasa begitu menenangkan. Arumi mempercepat langkah menerobos semak yang tak bersahabat hingga tiba di sebuah sungai kecil berbatu yang airnya bening bagaikan kaca. Terlihat unik karena area sungai menjadi satu-satunya tempat di dalam hutan yang tertembus bias cahaya, membentuk larik-larik cahaya yang begitu indah di kelamnya kegelapan hutan. Arumi menatap wajahnya yang tampak masih cantik di usianya yang sudah kepala tiga. Senyum mengembang dari bibirnya yang tipis. Seolah terlahir kembali setelah bertahun-tahun hidup seperti mayat hidup. Akan tetapi, ia belum menyadari perubahannya itu.

“Minumlah!” kata Arumi setelah menurunkan Iteung dari pangkuannya. Arumi pun ikut meminum air sungai, melepaskan dahaga setelah menempuh perjalanan cukup jauh.

“Kau sudah puas, Iteung?” tanya Arumi dijawab dengan auman pelan sang macan kumbang. Arumi kemudian mengangkatnya lagi ke dalam dekapannya, lalu tiba-tiba saja ia terkinjat.

Sesuatu muncul dari dasar sungai, berwarna hitam legam, disusul bagian berwarna putih pucat dan sepasang mata yang berkilat tajam menatapnya, lalu sesuatu itu turun kembali ke dasar, menghilang dari pandangan Arumi.

“Apakah kepala yang muncul itu dari sosok jin yang menyerupai manusia … atau?” Arumi berusaha mengidentifikasinya. Ia bergeming mengawasi posisi munculnya sosok kepala tersebut.

Beberapa saat berlalu, tak ada lagi yang tampak dari dasar sungai. Mungkin saja sosok itu menyembunyikan diri di bebatuan. Namun, Arumi masih penasaran dengan apa yang dilihatnya. Ia terus sabar menunggunya kembali menampakkan diri.

Setelah beberapa saat, Iteung mengaum nyaring dan kepalanya bergoyang-goyang memberikan isyarat kepada Arumi untuk menurunkannya. “Kau mau turun?” tanya Arumi yang kemudian menurunkannya.

Macan kumbang kecil itu pun berlari menyusuri pinggiran sungai lalu mengaum keras ke arah bebatuan besar. Arumi menatap lurus arah pandang Iteung mengaum. Kini tampak olehnya sosok seorang gadis berusia sekitar sepuluh tahun yang begitu cantik tetapi kulitnya sangat pucat. Tatapannya begitu tajam menyayat hati. “Siapa kau? Mengapa kau bisa sampai ke sini?” Bibir mungil itu terbuka, melontarkan pertanyaan sinis.

“Aku Arumi, lalu kau siapa, Nona?” jawab Arumi disertai tanya.

“Tak perlu kau tahu namaku. Pergilah! Di sini bukan tempatmu.” Ketus gadis itu menjawabnya.

“Aku akan pergi sekarang.” Arumi memangku kembali Iteung dan berlalu pergi begitu saja. Gadis cantik itu menatapnya sinis dengan tubuh yang disembunyikan di balik batu besar.

Arumi melangkah dengan waspada, mengantisipasi setiap suara dan gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, sebuah batu seukuran kepalan tangan meluncur deras ke arahnya dari belakang. Tanpa berpikir panjang, Arumi yang mendengar desingannya seketika memiringkan kepala. Batu itu melewati dirinya dengan cepat, menghantam batang pohon dengan suara keras, menandakan kekuatan di balik lemparan itu.

“Kau bermain-main denganku, Gadis Kecil.” Arumi berbalik dengan tatapan tajam, dingin, dan penuh intimidasi.

Larik cahaya dari matahari yang tadinya membias di area sungai kini telah hilang, tergantikan oleh pekatnya kegelapan hutan. Gumpalan awan hitam menggantung rendah, tanda bahwa hujan deras akan segera turun. Langit yang sebelumnya masih terlihat biru cerah kini tertutup oleh ancaman badai yang mendekat. Arumi semakin waspada, memperkuat pendengarannya, dan menyiapkan tubuhnya dalam posisi kuda-kuda.

Kesunyian menyelimuti hutan yang gelap, membuat suasana semakin mencekam. Tak ada angin yang berhembus, tak ada dedaunan yang bergerak. Tiba-tiba saja Arumi terkejut oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang mencekik lehernya, membuat napasnya terhenti sejenak. Suara keras menggema, memecah keheningan, diikuti oleh suara kayu yang patah di bawah tekanan.

Arumi terlempar tanpa sempat melihat siapa yang menyerangnya. Ia terjatuh keras, merasa tulang-tulangnya berdenyut kesakitan. Belum sempat ia bangkit, kekuatan yang sama kembali menghantamnya, melemparkan tubuhnya hingga menabrak pohon. Arumi terjatuh lagi, kali ini lebih keras, menambah rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.

“Tunjukkan dirimu, sialan!” teriak Arumi, emosinya memuncak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, hutan tetap diam, tak memberikan jawaban. Sementara itu, Iteung, anak macan kumbang yang terlepas dari dekapannya, hanya bisa terdiam di bawah pohon, matanya yang bulat besar mengawasi dengan cemas.

“Pergilah, aku akan menuntunmu keluar dari hutan ini!” Suara gadis itu menggema di kesunyian hutan yang mencekam. Arumi mengedarkan pandangannya, mencoba mencari asal suara tersebut, tetapi yang ia temui hanyalah kegelapan dan bayangan pepohonan. Gadis itu seolah tak berwujud, hanya suara tanpa bentuk, membuat Arumi sadar bahwa melawannya bukanlah pilihan yang bijak. Ia memilih untuk meredam emosinya, menahan amarah yang sempat membara dalam dirinya. Sejenak, ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin yang menusuk paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri.

Di tengah ketenangan yang diusahakan, Iteung, anak macan kumbang yang setia, berlari kecil ke arahnya. Ia melompat dan menyembunyikan kepalanya di dekapan Arumi, mencari perlindungan dari ancaman tak terlihat yang mengintai di sekitar mereka. Arumi mengelus kepala kecil Iteung, merasakan sedikit kehangatan dari bulu-bulu lembutnya.

Tak lama kemudian, langit yang sejak tadi dipenuhi awan hitam akhirnya melepaskan beban beratnya. Hujan turun dengan deras, butiran air besar jatuh dari langit, menghantam tanah dan dedaunan, menciptakan simfoni alami yang dibarengi dengan gemuruh guntur yang membahana di atas pohon-pohon raksasa yang berdiri menantang. Cahaya kilat sesekali menerangi kegelapan, memperlihatkan sekilas bayangan-bayangan yang menari di antara pepohonan.

“Mengapa kau ingin membantuku keluar dari hutan ini?” tanya Arumi dengan nada penasaran yang mendesak, ingin tahu alasan di balik tawaran tak terduga itu.

“Berterimakasihlah kepada makhluk kecil yang bersamamu,” jawab suara gadis itu, kali ini terdengar lebih samar, seolah semakin menjauh. Setelahnya, hanya ada hening. Gadis itu tidak lagi berbicara, membuat Arumi merasa bahwa ia hanya akan muncul ketika ia benar-benar dibutuhkan, seperti pemandu bayangan yang hanya memberi petunjuk pada saat yang tepat.

Arumi terus melangkah menyusuri hutan, mengikuti nalurinya yang terasah, sekaligus mengandalkan panduan yang diberikan secara misterius. Langkahnya mantap, meskipun hati kecilnya masih dipenuhi rasa waspada. Setelah melalui jalan setapak yang berliku-liku, ia akhirnya memasuki sebuah perkebunan karet yang luas. Pohon-pohon karet berdiri berjajar rapi, kulitnya terkoyak oleh torehan-torehan yang teratur, mengeluarkan getah putih yang mengalir perlahan.

Arumi terus berjalan, langkah kakinya menginjak tanah yang lembap hingga ia mencapai sebuah area ilalang yang tinggi, melambai-lambai tertiup angin yang membawa aroma tanah basah. Di sini, di ketinggian ini, Arumi berhenti sejenak. Di hadapannya, lautan ilalang terbentang luas, seolah menjadi gerbang terakhir yang harus dilaluinya sebelum ia benar-benar keluar dari cengkeraman hutan.

Arumi tersenyum lega saat menatap ke kejauhan, di mana bangunan-bangunan rumah penduduk mulai muncul di balik kabut tipis hujan. Seakan semua kesulitan yang ia hadapi di hutan akhirnya terbayar lunas. “Inikah Desa Golek Emas yang dikatakan Kakek Sudirman?” bisiknya penuh harap. Ia tak membuang waktu lagi dan segera melanjutkan perjalanan, menuruni undakan tanah yang licin, menyusuri rerumputan yang tingginya mencapai lutut, dan menyeberangi sungai berbatu yang mengalir deras di bawah guyuran hujan.

Begitu memasuki jalan setapak yang sudah dibeton, Arumi mulai memperlambat langkahnya. Setiap langkah di jalan yang semakin mengarah ke pemukiman penduduk ini membawa sedikit kelegaan. Dari arah belakangnya samar-samar terdengar deru mesin sepeda motor yang memecah keheningan, semakin jelas hingga membuat Arumi cepat-cepat menyingkir dari jalan beton, memberikan ruang bagi pengendara yang mendekat.

“Mau ke mana, Neng, hujan-hujan begini?” tanya seorang pria sambil menghentikan laju motornya tepat di depan Arumi. Suaranya terdengar ramah, namun ada sesuatu yang mengintimidasi dalam cara dia menatapnya.

“Ke Desa Golek Emas, Kang,” jawab Arumi, suaranya terdengar lemah, hampir gemetar karena kedinginan. Pandangan mata si pria tak henti menyapu seluruh tubuh Arumi yang hanya terlapisi gaun kebaya tipis yang kini basah kuyup, menempel erat di tubuhnya. Jakunnya bergerak naik turun, seolah sedang menahan sesuatu yang tak terkatakan. Dalam pikirannya, adegan demi adegan liar berkelebat cepat, membayangkan apa yang bisa ia lakukan dengan wanita muda ini.

“Kebetulan Akang juga mau ke sana. Ayo naik!” tawarnya dengan senyum yang tampak manis, namun menyiratkan niat yang jauh dari tulus.

Arumi tampak ragu. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman, namun rasa lelah yang sudah begitu menggerogoti tubuhnya membuat pilihan yang tersisa sangat terbatas. Hujan yang tak kunjung berhenti dan dingin yang semakin menusuk tulang membuatnya berpikir bahwa menerima tawaran ini mungkin adalah pilihan yang lebih bijak. Dengan sedikit enggan, Arumi akhirnya mengangguk setuju dan naik ke belakang si pria, yang kemudian mengenalkan dirinya sebagai Uteng.

Terpopuler

Comments

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

sakitnya sampe sini. langsung pegel2

2025-03-14

0

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

ada panas2nya🙈

2025-03-14

0

〈⎳ HIATUS

〈⎳ HIATUS

Mulai ... mulai

2024-08-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!