Jaden menghitung uang yang tersisa di bulan ini. Dia menghela napas frustasi. Sebagai penulis novel yang tidak terkenal, pekerjaannya tidak menjamin pendapatan yang stabil. Meski dia mencintai menulis dan merasa hidup saat merangkai kata-kata menjadi cerita, kenyataannya adalah royalti dari buku-bukunya yang diterbitkan sulit untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penerbitan novel membutuhkan waktu, dan sering kali, uang baru akan datang setelah berbulan-bulan menunggu. Sementara itu, biaya hidup di kota terus meningkat, dan Jaden harus mengandalkan tabungan yang semakin menipis.
Proyek terakhirnya adalah sebuah novel misteri yang dia kerjakan dengan penuh dedikasi. Walaupun mendapat pujian dari beberapa kritikus, penjualannya masih jauh dari yang diharapkan. Sekarang, dia sedang menulis novel baru dengan harapan besar bahwa karya ini akan menjadi titik balik dalam kariernya.
Jaden merasakan perutnya mengaung karena lapar, mengingatkannya bahwa dia belum makan sejak pagi.
Dia memutuskan untuk keluar mencari sesuatu untuk dimakan. Sambil melangkah di bahu jalan, dia mengenang lika-liku kehidupan yang telah dijalani. Lahir dengan sendok emas di mulutnya, masa kecilnya penuh dengan kemudahan dan segala yang diinginkannya selalu terpenuhi. Namun, menginjak usia lima belas tahun, hidupnya mengalami jungkir balik yang drastis.
Ayahnya mengalami kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya di tempat, dan tidak lama setelah itu, ibunya menyusul dengan penyakit mendadak yang menghancurkan sisa harapan Jaden. Hak warisnya ditunda karena dia masih di bawah umur legal dan dikelola oleh pamannya. Namun, ketika Jaden akhirnya mencapai usia delapan belas tahun, dia mendapati bahwa semua kekayaannya sudah tercuri, meninggalkannya dengan tangan kosong dan masa depan yang tidak pasti.
Jaden tertawa pahit. Dia bahkan tidak bisa menyusul pamannya; setidaknya untuk memukulnya sekali, yang sekarang tinggal di luar negeri.
Pemuda malang itu menghela napas sekali lagi, mencoba menenangkan pikirannya sebelum masuk ke sebuah kedai. Kedai kecil itu menawarkan berbagai makanan sederhana yang bisa mengenyangkan perutnya yang keroncongan dan yang paling penting, harganya murah. Dari luar, dia bisa mencium aroma makanan yang menggugah selera.
"Permisi," kata Jaden, masuk ke dalam.
"Jaden, sudah lama tidak kesini, sepertinya keuanganmu sudah lebih baik untuk makan ditempat yang lebih mewah dari ini." sahut pemilik kedai, seorang wanita tua yang sudah mengenalnya dengan baik. Meski terlihat tidak ramah, tapi dia sangat baik.
"Tidak begitu, Nek. Aku hanya sibuk dengan pekerjaanku." Jaden menggeleng pelan kepalanya terbiasa dengan sifat pemilik kedai.
"Aku akan pura-pura percaya, duduklah," kata sang pemilik, sambil menunjukkan tempat duduk di sudut ruangan. Hari ini kedai lumayan ramai.
Jaden mengangguk dan tersenyum tipis, dia lalu duduk untuk menunggu makanannya. Suasana kedai yang sederhana dengan aroma makanan yang menggugah selera sedikit mengurangi beban pikirannya.
Saat melirik ke bangku sebelahnya, pandangannya tertuju pada sebuah buku tebal dengan cover berwarna pink yang mencolok.
“Sebuah novel?” gumamnya pelan, nyaris tanpa sadar. Dengan hati-hati, dia meraihnya dan mulai membolak-balik halamannya.
"Itu milik cucuku. Hah, dia selalu menaruh barang-barangnya di sembarang tempat," kata pemilik kedai saat melihat Jaden memegang buku itu. Dia menyajikan makanan di meja. Kemudian Jaden menyerahkan novel tersebut ke tangan pemilik kedai.
"Tidak perlu membayar untuk hari ini," pemilik kedai tersenyum tipis.
Jaden terdiam sejenak, menatap pemilik kedai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kebaikan wanita tua itu selalu datang di saat yang paling dibutuhkannya.
"Nenek selalu mengerti keadaanku," kata Jaden dengan suara yang hampir bergetar, penuh rasa terima kasih.
Sang nenek tersenyum lembut, meletakkan tangannya di bahu Jaden sejenak. "Kamu adalah anak baik, Jaden. Ingatlah, kita semua pernah mengalami masa sulit. Makanlah dengan tenang."
"Terima kasih, Nek."
Di perjalanan kembali pulang, Jaden menikmati udara malam yang sejuk. Makan malam yang hangat dan kebaikan nenek di kedai masih menyelimuti hatinya.
Jaden menyipitkan matanya ketika melihat seorang anak kecil berdiri di tengah jalan, tampak kebingungan dan ketakutan. Meski jalanan tanpak sepi namun tetap saja itu jalan raya yang digunakan kendaraan untuk melintas. Tanpa berpikir panjang, Jaden berlari menuju anak itu, bertepatan dengan sebuah mobil yang melaju dengan cepat ke arah sang anak. Dengan sekuat tenaga, Jaden menariknya menghindari mobil yang bahkan tidak berhenti sama sekali.
Napas Jaden terengah-engah, tapi rasa lega menyelimuti dirinya saat melihat anak itu selamat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Jaden dengan cemas, sambil memeriksa anak kecil itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sang anak menangis sesenggukan. Namun, saat mendengar suara ibunya memanggil dari kejauhan, wajahnya berubah cerah. Dengan cepat, anak itu berlari menuju ibunya.
Begitu Jaden berniat berdiri, tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras disertai dengan sinar lampu yang menyilaukan. Dia terkejut dan berbalik cepat, tetapi tidak cukup cepat untuk menghIndari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Jaden merasakan benturan yang menyakitkan saat tubuhnya terlempar ke udara. Dalam sekejap, semuanya terasa melambat—suara teriakan orang-orang di sekitar, suara mobil yang mengerem mendadak, dan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia terjatuh di trotoar, tubuhnya terasa lemas dan nyeri.
Orang-orang berlarian ke arahnya, beberapa berteriak meminta bantuan sementara yang lain mencoba menenangkan situasi. Jaden bisa melihat siluet orang-orang di sekelilingnya, namun pandangannya mulai kabur. Dia merasakan pusing yang luar biasa dan kesulitan untuk bernapas.
"Setidaknya aku meninggal dalam keadaan kenyang."
...****************...
Jaden terbangun dengan kepala yang terasa berat dan pandangan yang masih kabur. Sejenak, dia bingung dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun suasana tampak sunyi dan nyaman, Jaden merasa sedikit cemas saat mencoba mengingat kejadian yang menyebabkan dia berada di sini.
"Aku mengalami kecelakaan, kan? Tapi ini bukan rumah sakit," pikirnya.
Di sekelilingnya, Jaden melihat dinding-dinding yang dicat putih bersih dengan beberapa poster kesehatan yang tertempel di sana-sini. Ada gambar anatomi tubuh manusia, poster tentang pentingnya mencuci tangan, dan beberapa informasi tentang gizi seimbang. Aroma antiseptik yang khas mengisi udara.
"Tapi aku yakin ini bukan di rumah sakit."
Di sebelah tempat tidurnya, terdapat meja kecil dengan beberapa peralatan medis, seperti termometer, kotak P3K, dan botol alkohol. Di atas meja itu juga ada sebuah gelas plastik berisi air dan beberapa obat yang terbungkus rapi. Tirai hijau pucat yang sudah agak pudar menutup sebagian ruangan, memberikan sedikit privasi.
Jaden mengerjapkan mata, mencoba fokus pada detail-detail kecil di sekitarnya. Di pojok ruangan, ada sebuah lemari kaca berisi berbagai macam obat-obatan dan peralatan medis. Sebuah kipas angin tua berputar pelan di sudut ruangan, mengeluarkan suara berderit yang hampir tak terdengar.
Sambil berusaha duduk, dia merasakan kasur yang tipis dan sedikit kaku di bawah tubuhnya. Selimut putih yang menutupi tubuhnya memberikan sedikit rasa nyaman.
"
Jaden menoleh ke sekeliling, berusaha mencari sumber suara yang mengganggu ketenangannya. Dia memindai ruangan dengan tatapan bingung, mencoba mengidentifikasi.
"Apa telingaku bermasalah?"
"
Jaden cukup merinding ketika tidak menemukan siapapun di ruangan ini. "Siapa itu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments