"Kalian putus?!" Reyna menduga Bulan akan terkejut, namun ia tak menyangka sahabatnya itu akan menyemburkan minumnya tepat kearahnya, "Ups maaf."
"Aku bahkan memblokir nomornya." Reyna mengelap wajahnya menggunakan tisu yang disediakan. Mereka berada di sebuah kafe tempat Bulan bekerja. Kafe itu masih lenggang, memberi kesempatan bagi Bulan untuk menemani Reyna di meja pelanggan. Aroma kopi segar bercampur dengan wangi kue yang baru dipanggang, membuat suasana yang nyaman dan menenangkan.
Reyna suka dengan kafe ini. Dekorasi ruangannya bergaya minimalis dengan dinding bata ekspos dan lampu-lampu gantung yang memberikan suasana hangat. Di sudut ruangan, sebuah rak buku kecil berisi berbagai novel dan majalah, menawarkan bacaan santai bagi para pengunjung.
"Kamu pasti sedang kerasukan." Bulan memicingkan matanya, "aku tidak menyangka kamu akan sampai memblokirnya," katanya dengan alis terangkat, ekspresinya menunjukkan campuran antara keheranan dan kekaguman.
Bagaimana tidak? Bulan seringkali menjadi saksi keseluruhan cinta mereka yang terlalu manis hingga dia muntah pelangi, dan sekarang Reyna bilang padanya bahwa hubungan mereka sudah kandas, apakah ada yang lebih mengejutkan dari itu?
"Justru aku merasa sangat sehat. Lepas dari baj*ngan itu benar-benar membuatku lega," jawab Reyna dengan senyum lega di wajahnya.
"Waw, kamu bahkan memanggilnya baj*ingan." kata Bulan, matanya membesar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Reyna mengangkat kedua bahunya dengan santai. Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Tetap saja itu terlalu tiba-tiba, jadi ada masalah apa? Kamu bisa cerita apapun padaku, Rey."
Reyna menghela napas, dadanya terasa sesak mengingat kehidupan sebelumnya.
Melihat raut ragu sahabatnya, Bulan tidak ingin memaksa. "Oke, baiklah kalau kamu tidak ingin membicarakannya."
Reyna mengambil sepotong muffin blueberry dari piringnya. Dengan perlahan, ia memegang muffin itu, menggigit ujungnya dengan hati-hati, merasakan kelembutan dan manisnya di dalam mulutnya. Ia mengunyahnya secara perlahan sambil membiarkan Bulan mencicipi hidangan yang sama. Bulan terlihat masih penasaran dengan banyak hal, terbukti duduknya semakin kedepan menunjukkan ketertarikannya.
"Aku dengar kamu ingin pindah sekolah, ibumu khawatir dan menanyakannya padaku." kata Bulan dengan suara yang terdengar lembut namun penuh tanda tanya, "sebenarnya ada apa denganmu, kamu sangat berbeda dari sebelumnya," lanjutnya.
"Tidak papa, aku hanya mendapat mimpi yang sangat buruk, yang membuatku menggigil setiap kali mengingatnya."
Bulan mengerutkan keningnya, jelas terlihat khawatir. "Kamu pasti tidak bisa tidur, mata pandamu semakin menebal," katanya, suaranya dipenuhi kepedulian yang tulus.
Reyna mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meski lelah masih tampak jelas di matanya. Ia mengusap rambutnya ke belakang, kemudian mendesah, "Apa aku sudah tidak cantik lagi?" tanyanya main-main. Bulan mencibir mendengarnya.
"Nak Bulan, sampah di dapur sudah penuh, apa kamu ada waktu membuangnya?" Wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu dapur menginterupsi obrolan mereka, bertanya dengan senyum manis di wajahnya. Wanita itu mengenakan seragam kafe berwarna cokelat muda dengan celemek hijau tua, rambutnya yang beruban diikat rapi. Dialah pemilik kafe yang dikenal dengan keramahan dan sikap keibuannya terhadap para karyawan.
"Tentu saja, Bu Endah. Aku pekerja di sini, tentu aku akan melakukannya." Bulan segera berdiri, meluruskan seragamnya yang sedikit kusut, dan berpamitan sebentar kepada Reyna.
Kepergian Bulan membuat Reyna fokus menggulir sosial media. ketika merasa ada seseorang didekatnya. Dia mendongak dan mendapati Bintang berdiri menjulang ke atas.
"Ternyata benar dugaanku, itu kamu, Reyna." kata Bintang sambil memberikan senyum terbaiknya. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, mata cokelat yang tajam, dan rambut hitam yang tertata rapi. Senyumnya yang menawan membuatnya terlihat semakin menarik.
"Oh, Hai Bintang. Kita bertemu lagi." Reyna, sedikit terkejut namun senang menemukan pemuda itu disini.
"Itulah yang dinamakan takdir." kelakar pemuda itu diakhiri kedipan mata. Ia kemudian duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Bulan, "boleh aku duduk disini?"
"Kamu sudah duduk, aku merasa tidak enak untuk mengusirmu." Mendengar jawaban Reyna membuat Bintang menurunkan senyumnya, dia hampir berdiri yang segera dihentikan oleh wanita cantik didepannya. "Hei, aku hanya bercanda," kata Reyna sambil tertawa kecil.
Pelayan datang membawa secangkir kopi untuk Bintang. Dia menaruh cangkir di depan pemuda itu dengan senyum ramah sebelum berlalu. Bintang menghirup aroma kopi yang baru disajikan sebelum menyesapnya perlahan.
"Aku rasa kita seumuran. Berapa usiamu?" tanya Bintang sambil menaruh kembali cangkir di meja.
Reyna mengangkat alisnya dan tersenyum tipis. "Sangat tidak sopan menanyakan usia pada pertemuan kedua, tahu?"
Bintang mengangguk, menyesali pertanyaannya. "Ah, aku sudah dua kali melakukan kesalahan. Maafkan aku," ucapnya dengan senyum kecil.
Reyna tertawa kecil, "Kamu benar, Bintang. Kita seumuran."
"Hm? Kenapa kamu seyakin itu?"
"Oh?" Reyna menyadari kesalahannya, "Aku hanya menebak." Dia meringis dan terlihat lucu seperti anak kucing. "Tapi aku tidak bercanda, kamu sebaiknya berhati-hati dengan pertanyaanmu pada seorang wanita, tahu."
Bintang mengangguk lagi, wajahnya tampak sedikit merah. "Aku akan ingat untuk tidak bertanya sembarangan lagi."
Bintang meminum sisa kopi yang sudah dingin dan melihat jam tangannya. "Maaf, Reyna. Aku harus pulang sekarang."
Reyna mengangguk, mengerti bahwa Bintang memiliki urusan yang harus diselesaikan. "Baiklah, Bintang. Sampai jumpa lain waktu."
Bintang tersenyum lembut, merasa senang bisa bertemu kembali dengan Reyna. "Sampai jumpa, Reyna," katanya sambil melambaikan tangan saat meninggalkan meja kafe.
Setelah Bintang pergi, Reyna duduk sendirian di meja kafe. Dia baru menyadari betapa ramainya tempat ini, dengan banyak pelanggan yang menikmati makanan dan minuman mereka. Suara percakapan ringan dan tawa dari meja-meja sekitarnya mengisi ruangan.
"Jadi, siapa cowok ganteng tadi? Apakah dia alasan kamu memutuskan Radit?" Bulan muncul dengan tiba-tiba.
Reyna menghela napas dan memutar bola matanya. "Dia hanya seorang kenalan. Dan tidak, dia bukan alasan aku memutuskan Radit."
Bulan tertawa kecil sambil duduk kembali di kursinya. "Aku hanya bercanda, Reyna. Tapi serius, dia tampan sekali dari belakang."
Reyna tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Bintang. "Iya, dia memang tampan. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan Radit."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments