Bab 16: Penyesalan?

"" suara sistem di dalam kepala Jaden terdengar bingung, jika memiliki visual, Jaden penasaran bagaimana ekspresi yang dia tampilkan.

Jaden mendengus. "Sistem, ternyata kamu tidak mengerti apa yang kulakukan," gumamnya seraya mengalihkan pandangannya ke jendela, menyaksikan tetesan hujan yang mulai membuat pola abstrak di kaca.

Sebenarnya, Jaden tidak menyangka sistem—yang seharusnya mahir dalam segala hal—justru gagal memahami niatnya. Dari percakapannya dengan Reyna di atap tadi, Jaden tahu bahwa Reyna mulai menyadari ada rencana tersembunyi. Namun, sistem ini malah tidak bisa membacanya.

Dia tertawa pendek, mengejek ketidakpahaman sistem tersebut. “Kamu terlalu kaku soal percintaan, ya? Kamu tidak paham kalau semuanya dimulai dari pertemanan," jawab Jaden, tatapannya tetap terpaku pada langit kelabu yang bergemuruh di luar jendela. "Dengan sikap Reyna yang selalu curiga, kalau aku langsung mengajaknya kembali menjalin hubungan, dia pasti akan semakin menjauh."

Sistem terdiam sesaat, tampaknya memproses kata-kata Jaden dengan sangat hati-hati. ""

Jaden menggeleng, rasa frustrasi mulai menggelayut di hatinya. “Pendekatan langsung hanya berlaku pada mereka yang terbuka, yang tidak memiliki dinding tebal di sekitar hati mereka. Reyna membangun dinding ketika berurusan Radit, —denganku."

Rahang Jaden mengeras, merasa tak nyaman dengan cara Reyna mengamatinya, seakan setiap tindakannya dipelototi dengan penuh curiga. Dia tahu, Reyna tak pernah lengah, tapi kenapa dia harus tetap waspada padanya?

Sistem terdiam cukup lama sebelum kembali bersuara di kepala Jaden. ""

Jaden tersenyum kecil. "Deal," balasnya. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa metode sistem—pendekatan langsung dan tanpa kompromi—akan menjadi taruhan terakhir yang dia hindari sebisa mungkin.

...****************...

Reyna menggigit bibirnya, menahan gejolak perasaan yang menghantamnya tanpa henti. Dia menyesali keputusan itu—keputusan untuk kembali membuka diri, walaupun hanya sedikit, pada Radit. Pertemanan. Hanya pertemanan. Tapi kenapa hatinya masih berdetak tidak menentu setiap kali mereka bertemu?

"Apakah aku masih menyimpan perasaan padanya?" gumamnya, menatap bayangannya di cermin. Tatapannya tampak ragu, penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan mudah. “Apa aku merasa aman karena dia adalah Radit remaja yang tidak pernah melakukan kesalahan?” Reyna mendesah keras. “Tidak!"

Matanya menyala penuh tekad. Ia tahu betapa mudahnya tenggelam dalam kenangan, membiarkan masa lalu yang manis membutakan mata hatinya. Tapi ia tidak akan jatuh lagi. Reyna berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak, untuk tidak memberi peluang sama sekali pada Radit.

“Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali,” katanya, wajahnya terbenam di bantal, membuat suaranya terdengar teredam di keheningan malam.

...****************...

Reyna melangkah masuk ke kelas dengan langkah ragu. Kelas itu terasa sunyi, dengan hanya beberapa kursi yang kosong dan suara angin di luar jendela yang sesekali berdesir masuk ke dalam ruangan. Jam masih menunjukkan awal hari, dan dia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, jauh dari segala kebingungan yang menghantui pikirannya belakangan ini. Namun, begitu dia membuka pintu, dia menemukan seseorang sudah ada di sana.

Radit.

Dia duduk di meja paling belakang, tangan menopang kepala, tatapannya kosong menatap papan tulis. Saat pintu terbuka, Radit mengangkat pandangannya, dan mata mereka bertemu.

Reyna terdiam, hatinya kembali bergejolak. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba menjadi tidak menentu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya sedikit lebih tajam dari yang dia maksudkan.

Jaden tersenyum tipis, seolah tak terganggu oleh nada tajam Reyna. Dia menurunkan tangannya dan menegakkan badan. Menatapnya dengan tenang.

"Kamu tidak lupa bahwa kita sepakat untuk berteman, kan?" jawabnya santai, seolah-olah kata-katanya benar-benar tak menyisakan celah untuk diperdebatkan.

Reyna menelan ludah. Dia tentu saja ingat. Sepakat untuk berteman. Itu ide mereka berdua, atau lebih tepatnya, itu keputusan yang dibuat setelah segalanya berakhir.

Dia mencoba meredam emosinya, meskipun pikirannya kacau. “Ya, aku ingat,” ucap Reyna, berusaha terdengar setenang mungkin. "Tapi bukan berarti kamu bisa muncul di manapun aku berada seperti ini."

Jaden mengangkat bahu santai, lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekat. “Ini cuma kebetulan. Aku di sini lebih dulu. Jadi, kalau ada yang mengganggu, itu bukan aku, Rey.”

Reyna terdiam, menatapnya. Hatinya bergetar, tetapi dia tak ingin menunjukkannya. Dia benci betapa mudahnya Radit membuatnya merasa tak karuan, bahkan dengan sikap tenangnya yang selalu mampu membuatnya meragu.

"Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Radit?" tanya Reyna, nadanya lebih serius kali ini. “Kita sepakat untuk berteman, tapi setiap kali kita bertemu, aku merasa seperti… ada sesuatu... Kenapa kamu terus mendekatiku? Dari yang kutau, teman tidak seperti itu.”

Radit berhenti beberapa langkah di depannya, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Sesaat dia tidak menjawab, membiarkan udara di antara mereka dipenuhi dengan keheningan.

"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja," jawabnya akhirnya, suaranya rendah namun terdengar tulus. "Aku hanya... peduli."

Reyna merasakan kepedihan menjalar di dadanya. Kata-kata Radit mungkin tulus, tapi itu hanya membuat semuanya semakin sulit. "Aku tidak butuh perhatianmu," katanya pelan, meski hatinya tahu, mungkin itu bohong. "Aku baik-baik saja."

Radit tersenyum samar, meski senyum itu tak sampai ke matanya. "Kalau kamu bilang begitu," ucapnya sambil berjalan ke arah pintu. "Tapi ingat, Rey... kita sepakat untuk berteman. Dan aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang teman."

Reyna menunduk, menggigit bibirnya. Teman. itu yang dia inginkan. Tapi kenapa rasanya menyakitkan?

Saat pintu kelas tertutup di belakang Radit, Reyna berdiri di tempatnya, merasa hampa. Entah kenapa sejak kembali ke masa lalu menjadi sangat sulit memutus hubungan dengan Radit.

'Kalau seperti ini, tidak ada yang berubah meski dia kembali ke masa lalu.'

Dia menatap bangku yang tadi diduduki Radit, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!