Matahari mulai terbit, memancarkan sinar lembut yang menandakan pagi telah tiba. Miyu terbangun dari tidur nyenyaknya, merasa hangat dan nyaman. Namun, setelah beberapa menit, kesadaran mulai menyusup pelan-pelan ke dalam pikirannya, Rifan tidak ada di sampingnya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, perasaan cemas menjalari tubuhnya.
Dengan panik, Miyu melompat dari tempat tidur dan bergegas mencari di seluruh ruangan. Ia membuka setiap pintu, memeriksa setiap sudut, namun Rifan tetap tak ditemukan. Nafasnya mulai terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Keputusasaan mulai merayap masuk, dan air mata hampir pecah di pelupuk matanya.
Saat Miyu hampir menyerah, matanya tertumbuk pada sesuatu di atas meja belajar. Sebuah surat. Dengan tangan gemetar, ia meraih dan membuka surat itu. Perasaannya berkecamuk, antara harapan dan ketakutan, saat ia mulai membaca kata demi kata yang tertulis di sana.
Surat itu berisi kata-kata dari Rifan: "Maaf Miyu, Aku meninggalkanmu begitu saja, Maaf atas semua kejadian semalam, Sepertinya kita tidak akan bertemu dalam beberapa waktu ini, Namun kau boleh mampir ke rumahku, Aku taruh kuncinya di laci meja ini. Tunggu aku, Aku akan menjadi setara denganmu saat kita bertemu nanti."
Miyu menatap surat itu dengan perasaan campur aduk. Jari-jarinya meremas kertas tersebut, sementara air mata mulai mengalir di pipinya. Ada rasa kecewa, sedih, tetapi juga sedikit harapan. Ia membuka laci meja dan menemukan kunci yang disebutkan. Tangannya gemetar saat menggenggam kunci itu, seolah menggenggam harapan terakhirnya untuk kembali bertemu dengan Rifan.
Dengan hati yang penuh dengan perasaan yang tak menentu, Miyu bertekad untuk menunggu dan percaya bahwa suatu hari, mereka akan bertemu lagi, dalam keadaan yang lebih baik.
Di sisi lain, Rifan tiba di dojo, nafasnya berat tapi hatinya penuh tekad, Ia melangkah mantap menuju gurunya. "Guru, aku datang," suaranya tegas, namun ada nada kegelisahan yang tersirat.
Guru menatapnya dengan mata yang penuh rasa heran. "Bukankah ini masih belum sehari?" tanyanya, kebingungan dengan kedatangan Rifan yang begitu cepat. "Kemarin kau memohon padaku untuk dilatih, mengapa sekarang kau datang lebih awal?"
Rifan, tanpa ragu, langsung bersujud di hadapan gurunya. Air matanya mengalir tanpa henti, mencerminkan perasaan yang dalam dan mendesak. "Guru, aku mohon, latih aku lebih keras. Aku ingin lebih kuat, secepat mungkin, Aku ingin berubah, Aku ingin bisa membantu orang lain, aku tak ingin hanya menjadi beban," suaranya bergetar dengan campuran emosi yang mendalam.
Guru terdiam, menatap Rifan dengan penuh perenungan. Ia bisa melihat api semangat yang berkobar di mata muridnya, sebuah tekad yang lahir dari keinginan tulus untuk berubah dan menjadi lebih baik. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, guru mengangguk perlahan, tanda persetujuan dan pemahaman.
"Baiklah, Rifan. Jika itu yang kau inginkan, kita akan mulai latihan yang lebih keras dari sekarang. Siapkan dirimu, karena jalan ini tidak akan mudah," kata guru dengan suara yang tegas namun penuh kasih.
Rifan mengangkat wajahnya, air mata masih membasahi pipinya, namun senyumnya penuh harapan dan determinasi. "Terima kasih, Guru. Aku siap." Dengan hati yang kini penuh dengan semangat baru, Rifan bersiap menghadapi tantangan yang akan datang, demi menjadi pribadi yang lebih kuat dan mampu membantu orang-orang yang dicintainya.
Guru yang heran melihat perubahan drastis pada Rifan akhirnya bertanya, "Ada apa denganmu sampai-sampai kau berubah seperti ini? Apakah ada masalah?" tanyanya dengan nada penuh perhatian dan kekhawatiran.
Rifan menatap gurunya dengan mata penuh tekad, "Tidak ada, Guru. Aku hanya ingin menjadi kuat saja," jawabnya tegas, meski ada sedikit getaran dalam suaranya.
Guru memandang Rifan dengan tajam, mencoba membaca pikiran dan hatinya. "Tapi apa kau yakin ingin melakukannya? Lebih baik menyerah dari awal, karena jika kau sudah memohon seperti itu, aku tidak akan segan lagi. Aku akan sangat keras padamu," kata guru, mengingatkan Rifan dengan nada yang serius dan penuh penekanan.
Rifan mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata gurunya dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. "Tak apa, Guru. Bahkan jika aku mati dalam berlatih, aku tak akan menyerah. Aku akan terus berusaha sampai aku bisa menjadi bagian terbaik dari diriku," jawabnya dengan suara yang bergetar namun penuh dengan semangat membara.
Guru terdiam sejenak, merasakan intensitas dan kesungguhan dalam kata-kata Rifan. Ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuh muridnya ini tidak mudah, penuh dengan rasa sakit dan pengorbanan. Namun, melihat tekad yang begitu kuat, ia tidak bisa menolak permohonan itu.
"Baiklah, Rifan. Jika itu tekadmu, aku akan melatihmu tanpa ampun. Bersiaplah, karena perjalanan ini akan sangat berat. Tapi ingat, jika kau tetap teguh, kau akan menjadi pribadi yang jauh lebih kuat," kata guru, suaranya tegas namun ada nada kebanggaan tersirat di dalamnya.
Rifan mengangguk, dengan hati yang dipenuhi oleh determinasi. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan, namun ia siap menghadapi semuanya demi menjadi yang terbaik.
"Baiklah, karena kulihat keputusanmu sudah sangat bulat, bersiaplah, kita akan berangkat," perintah guru dengan suara tegas, matanya menyiratkan kesungguhan.
Rifan mengerutkan dahi, kebingungan masih meliputi pikirannya. "Kemana, Guru?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu dan sedikit kebingungan.
"Jika kau ingin menjadi kuat, kau harus lebih dekat dengan alam," ucap guru dengan suara bijak dan penuh keyakinan.
Rifan mengernyitkan dahi, bingung dengan apa yang dimaksud oleh gurunya. "Apa kita akan berkemah?" tanyanya dengan polos, matanya menunjukkan kebingungan.
Guru terkejut mendengar pertanyaan itu. "Tak kusangka hanya nyalimu saja yang berubah, namun kebodohanmu tetap sama," jawab guru sambil menggelengkan kepala, ada nada geli dan sedikit frustrasi dalam suaranya.
Rifan tersipu, menyadari bahwa pertanyaannya mungkin terdengar konyol. "Maaf, Guru. Aku hanya ingin tahu apa yang harus kulakukan," katanya, mencoba menjelaskan.
Guru menghela nafas, namun senyuman kecil tersungging di sudut bibirnya. "Sudahlah, tunggu di sini. Aku akan bersiap-siap dulu," perintah guru, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas.
Rifan mengangguk, berdiri tegap, matanya masih penuh dengan tekad meski ada sedikit rasa malu yang tersirat. Ia tahu bahwa jalan menuju kekuatan yang ia impikan akan penuh dengan tantangan dan pelajaran, termasuk memahami makna dari kebijaksanaan gurunya.
Beberapa waktu berlalu saat Rifan dengan sabar menunggu gurunya. Tiba-tiba, suara klakson mobil memecah keheningan, membuat Rifan terlonjak kaget. Ia segera berlari keluar untuk melihat siapa yang membunyikan klakson itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat gurunya sudah duduk di dalam mobil.
"Guru, mengapa kau di dalam mobil?" tanyanya, kebingungan tercermin di wajahnya.
"Naiklah cepat," perintah guru dengan nada mendesak dan tegas.
Tanpa ragu, Rifan masuk ke dalam mobil, dan mesin mobil mulai berdengung, membawa mereka pergi. Di dalam mobil, perasaannya berkecamuk antara antusiasme dan kegelisahan. Dia tahu perjalanan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Setelah beberapa saat dalam perjalanan, rasa ingin tahunya tak tertahankan lagi. "Guru, menurutmu berapa lama aku akan menjadi kuat?" tanyanya, suaranya penuh harap namun juga mengandung sedikit kecemasan.
Guru menatap Rifan sejenak, tatapannya penuh kebijaksanaan. "Itu tergantung pada tekadmu. Jika kau tidak memiliki tekad yang kuat, bisa bertahun-tahun. Maka dari itu, kuatkan lah tekadmu," jawab guru dengan suara yang tenang namun dalam.
Rifan merenung dalam-dalam, meresapi kata-kata gurunya. Ia menyadari bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar latihan fisik; ini adalah ujian mental dan emosional. "Aku akan melakukannya, Guru. Aku akan menguatkan tekadku," katanya, suaranya tegas dan penuh keyakinan.
Guru tersenyum tipis, ada kebanggaan dan harapan di matanya. "Baik. Maka kita akan melihat seberapa jauh kau bisa pergi," jawabnya, nada suaranya penuh dorongan dan antusiasme.
Dengan tekad yang semakin menggelora, Rifan menatap jalan di depan mereka, siap menghadapi segala tantangan yang akan datang. Hatinya penuh dengan semangat dan harapan, siap untuk menjelajahi batasan-batasan dirinya dan menemukan kekuatan sejati yang selama ini dia cari.
Saat mobil melaju, sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benak Rifan. "Guru, aku tidak membawa pakaian. Bagaimana ini?" tanyanya dengan nada cemas.
Guru tertawa kecil, "Biarkan saja. Aku punya banyak pakaian yang bisa kau pakai," jawabnya dengan nada santai dan menenangkan.
Mendengar jawaban itu, rasa cemas Rifan sedikit mereda. Rasa lelah mulai menguasai tubuhnya setelah pagi yang penuh emosi dan ketegangan. Matanya mulai terasa berat, dan tanpa disadari, ia tertidur di kursi mobil.
Guru melirik sekilas ke arah Rifan yang tertidur dengan damai. "Tidurlah, Rifan. Perjalanan ini baru saja dimulai," gumamnya pelan, senyuman lembut mengembang di wajahnya. Dengan hati yang penuh harapan dan tekad, mereka melaju ke arah tujuan yang akan mengubah hidup Rifan selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments