Disaat sedang asyik memainkan Playstationnya, Edwin tanpa sengaja mendengar teriakan suara orang yang seperti sedang panik meminta pertolongan. Cepat-cepatlah Yogi dan yang lainnya keluar dari rumah dan mencari sumber suara tersebut.
Ternyata sumber suara tersebut berasal dari rumah yang terhalang oleh pohon dukuh. Ketika sudah sampai di rumah yang terhalang pohon dukuh tadi, alangkah terkejutnya Yogi dan yang lain mendapati penghuni rumah sedang memutilasi seseorang yang tak lain istrinya sendiri.
“ Astagfirullah..” Yogi teriak sambil beristigfar karena saking kagetnya melihat hal yang mengerikan yang dilihat oleh matanya sendiri.
Edwin kemudian melongo, dia juga sama kaget. Setelah itu, penghuni rumahnya malah menawar-nawarkan hasil mutilasi itu kepada Yogi dan yang lainnya. Lalu, cepat-cepat Ruri segera berlari menuju ke rumahnya pak RT untuk melaporkan kejadian yang sangat luar biasa ngeri di kampungnya.
Setelah pak RT berada di lokasi, tak berapa lama kemudian datanglah mobil polisi datang menjemput pelaku mutilasi untuk dibawa ke kantor polisi karena akan dimintai keterangan lebih lanjut.
Sementara, korban yang menjadi istrinya yang sudah termutilasi beberapa bagian dimasukkan ke dalam kain kafan dan dikuburkan secara layak oleh warga sekitar. Menurut warga yang berbisik, suaminya dengan tega memutilasi dikarenakan sang anak yang senang sekali dengan aktivitas judi online hingga ayahnya menanggung utang ratusan juta diakibatkan tingkah laku anaknya ini yang sudah kecanduan. Namun, ibunya malah membela anaknya ditambah lagi keadaan usaha yang sedang dijalaninya mengalami kebangkrutan. Otomatis suaminya menjadi depresi dan melampiaskan segala emosinya ke istrinya.
Sedangkan anaknya yang menjadi penyebabnya sekarang entah berada di mana. Isak tangis pun pecah ketika keluarganya yang lain sudah tiba di lokasi kejadian. Yogi dan yang lainnya hanya diam sambil memerhatikan saja, tidak mau mencampuri urusan yang bukan urusannya dan tidak mau memperkeruh suasana. Biarlah pihak berwajib yang turun tangan menyelesaikan segala permasalahan.
Karena waktu sudah hampir larut malam juga, akhirnya Yogi dan yang lainnya memohon pamit untuk pulang. Di sepanjang perjalanan, Yogi bergidik ngeri dan tak bicara sedikit pun ditemani dengan yang lain. Tadinya Yogi mau bermain Playstation hingga menjelang subuh, namun dengan adanya peristiwa ini maka niatnya diurungkan dan Yogi memilih untuk pulang menuju rumah.
“ Maaf ya kawan, Gue mau pulang aja, gak jadi main Playstation sampai subuh.”
“ Ya sudah kalau gitu, Gue juga sama mau pulang aja.” Ucap Ruri
Dan teman-teman yang lain akhirnya mengikuti juga dan sepakat untuk pulang ke rumahnya masing-masing karena mungkin masih syok dengan yang dilihatnya dengan jelas tadi.
***
Di ruang interogasi, suasana terasa tegang. Polisi yang bertugas mencatat setiap jawaban dari pelaku yang tak menunjukkan sedikit pun penyesalan. Wajahnya datar, tanpa emosi, seakan apa yang dilakukannya adalah hal biasa. Petugas yang menginterogasi mencoba mencari tahu alasan pelaku tega melakukan tindakan keji tersebut terhadap istrinya, namun pelaku hanya memberikan jawaban-jawaban singkat dan terkesan acuh.
“Kami akan melakukan evaluasi kejiwaan untuk memastikan kondisi mentalmu,” kata salah satu petugas dengan nada tegas.
Pelaku hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi. Di sisi lain, keluarga dari pelaku yang berada di luar ruangan pun tampak gelisah. Beberapa saudara terlihat berdiskusi dengan serius, sebagian besar dari mereka masih sulit menerima bahwa saudara mereka terlibat dalam kasus sekeji itu. Namun, ada juga yang merasa kasihan karena mereka menyadari bahwa sejak kecil pelaku memang sering menunjukkan perilaku yang tidak biasa.
“Menurutku, dia memang sudah seharusnya dirawat di rumah sakit jiwa,” ucap salah satu saudaranya.
“Dirawat di rumah sakit jiwa? Setelah dia tega membunuh istrinya sendiri?” timpal yang lain dengan nada marah. “Kalau memang sudah gila, seharusnya dia gak bebas berkeliaran sejak dulu. Sekarang lihat akibatnya, anaknya pun jadi korban!”
Perdebatan di antara mereka terus berlangsung. Ada yang beranggapan bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya, termasuk hukuman mati, agar perbuatannya bisa menjadi pelajaran. Namun, sebagian lagi merasa bahwa menghukumnya tanpa mempertimbangkan kondisi mental hanya akan memperburuk keadaan. Mereka takut jika kondisi ini justru akan berdampak buruk pada anak pelaku yang sekarang sudah menjadi yatim piatu secara emosional.
“Biarlah kita yang mengurus anaknya,” usul seorang saudara perempuan dari pihak ibu anak tersebut. “Kasihan, dia butuh keluarga yang bisa memberikan rasa aman dan kasih sayang.”
Saudara yang lain mengangguk setuju. Mereka tahu, kondisi yang dialami anak tersebut akan berdampak panjang bagi hidupnya. Mereka pun mulai merencanakan untuk melindungi si anak dari dampak negatif kejadian ini. Mereka ingin anak tersebut tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, meskipun tanpa kedua orang tua.
Sementara itu, pelaku dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk menjalani tes lebih lanjut. Dokter di sana akan memeriksa riwayat kesehatan mental pelaku, menelusuri apakah ada gangguan yang pernah dialami sebelumnya. Pemeriksaan ini dianggap perlu agar aparat penegak hukum dapat menentukan langkah terbaik, apakah pelaku memang benar-benar layak dihukum atau harus menjalani perawatan jangka panjang di rumah sakit jiwa.
Di rumah sakit jiwa, pelaku tetap tenang dan bahkan sering tersenyum aneh ketika ditanya tentang kejadian yang menimpa istrinya. Dokter yang menangani pelaku merasa bahwa ada kondisi psikologis yang serius di balik sikap pelaku yang tampak tenang namun tidak wajar ini.
Setelah beberapa hari pemeriksaan, pihak dokter memberikan hasil sementara bahwa pelaku memang memiliki gangguan mental. Meski demikian, keputusan akhir mengenai hukuman tetap harus ditentukan oleh pengadilan.
Keluarga dari pihak istri pelaku merasa berat hati mendengar hasil tes kejiwaan itu. Mereka khawatir, jika pelaku hanya dirawat di rumah sakit jiwa tanpa diberikan hukuman yang tegas, mungkin suatu saat ia akan bebas dan kembali membahayakan orang lain. Namun, beberapa dari mereka juga merasa bahwa merawat pelaku di rumah sakit jiwa adalah keputusan terbaik agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Di tengah kondisi yang rumit itu, saudara-saudara dari pihak istri akhirnya memutuskan untuk memprioritaskan kepentingan si anak. Mereka sepakat untuk memberikan dukungan penuh, baik secara emosional maupun finansial, agar anak tersebut bisa tumbuh dengan normal meskipun dalam keadaan yang penuh trauma.
Malam itu, di rumah salah satu saudara terdekat dari pihak istri, keluarga besar berkumpul untuk membahas masa depan anak tersebut. Beberapa dari mereka menawarkan diri untuk menjadi wali dan merawat anak itu seperti anak kandung sendiri.
“Kita harus bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya. Kasihan, dia masih kecil, tidak tahu apa-apa soal masalah ini,” ucap seorang tante dari pihak istri dengan mata berkaca-kaca.
“Kita tidak boleh menyalahkan anak itu. Dia adalah korban dari perbuatan ayahnya sendiri. Semoga kita bisa membesarkannya dengan baik, dan semoga dia kelak menjadi anak yang kuat,” tambahnya dengan penuh harap.
Di sisi lain, saudara-saudara pelaku juga merasa bertanggung jawab. Mereka ingin membantu merawat anak itu, meskipun mereka menyadari bahwa hubungan mereka dengan keluarga pihak istri kini menjadi renggang akibat kejadian ini. Namun, mereka tetap berharap dapat bekerja sama untuk kebaikan si anak.
Hari demi hari, proses hukum terhadap pelaku terus berjalan. Berita tentang kasus ini menarik perhatian banyak orang, dan tidak sedikit yang bersimpati terhadap anak yang kini harus menghadapi masa depan tanpa kedua orang tua. Sementara itu, dokter yang menangani pelaku juga terus memantau kondisi mentalnya untuk memastikan bahwa ia mendapatkan perawatan yang tepat.
Akhirnya, setelah proses yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa pelaku harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa pelaku memang memiliki gangguan kejiwaan yang serius, yang membuatnya tak sepenuhnya dapat bertanggung jawab atas tindakannya.
Keputusan itu menuai pro dan kontra. Keluarga dari pihak istri menerima keputusan itu dengan hati yang berat, namun mereka tetap menghormati proses hukum yang ada. Bagi mereka, yang terpenting sekarang adalah masa depan si anak, yang harus dibangun dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Dengan dukungan dari kedua keluarga, si anak akhirnya dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. Meskipun kehilangan orang tuanya pada usia yang sangat muda, ia tumbuh menjadi anak yang tabah dan kuat, berkat cinta dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Keluarga besar berjanji untuk selalu mendampingi anak tersebut, memberikan segala yang dibutuhkannya agar ia bisa meraih masa depan yang cerah tanpa terbebani oleh kesalahan yang dilakukan ayahnya.
Seiring berjalannya waktu, kenangan akan tragedi tersebut mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Namun, keluarga besar tetap optimis bahwa dengan kasih sayang dan perhatian yang tulus, anak tersebut akan tumbuh dengan baik, meninggalkan luka-luka masa lalu dan menjalani hidup dengan semangat baru.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments