bab 19

Arumi memandang halaman luas mertuanya yang dipenuhi oleh deretan bunga berwarna warni sembari menunggu kepulangan suaminya. Hari sudah semakin malam, tetapi Narendra tidak kunjung pulang padahal Arumi sendiri sudah pulang sedari pukul empat sore tadi. Dewi menepuk pundak menantunya yang terlihat termenung sendirian di kursi teras.

“Belum ada kabar?” tanya Dewi seraya duduk di samping Arumi.

Arumi menggeleng. “Belum, Ma. Pesanku belum dibalas. Mungkin ponselnya kehabisan daya.”

Sebelum ke luar rumah, Arumi sempat mengirimkan pesan kepada suaminya untuk menanyakan tentang keberadaannya. Namun, hingga satu jam lamanya, pesan yang ia kirim belum juga mendapatkan balasan.

“Mungkin pekerjaannya di kantor masih menumpuk … suamimu memang suka begitu, dia tidak ingin menunda pekerjaannya atau nanti akan semakin banyak dan dia akan kerepotan. Harap dimaklumi, ya, Sayang. Sekarang kamu istirahatlah, Mama tahu kamu juga lelah, ayo, masuk!”

“Lima menit lagi, ya, Ma,” pinta Arumi, tetapi Dewi menggeleng.

“Masuklah sekarang, jaga kesehatanmu. Kalau kamu ingin menunggu, tunggulah di kamar.”

Arumi pun mengangguk kemudian mengikuti mertuanya ke dalam rumah.

Tiba di kamar, Arumi segera berjalan cepat menuju ke arah sofa yang dekat dengan jendela sambil melongok ke bawah. Ia berharap Narendra akan segera pulang.

“Tumben jam segini belum pulang. Apa iya banyak kerjaan?” gumamnya pelan sambil menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa.

Sebenarnya Arumi sedikit canggung kepada Narendra setelah kejadian tadi siang. Ia tidak menyangka jika pria yang sudah resmi menjadi suaminya dan pernah ia teriaki, juga ia tendang dua kali adalah bosnya di kantor. Arumi sungguh masih belum bisa menerima keadaan yang begitu tiba-tiba seperti ini.

Pengkhianatan Vino, pernikahan yang gagal dan berujung menikah dengan pria asing serta kisahnya yang mirip cinderella karena menikahi seorang pangeran tampan dan kaya, sungguh membuat Arumi tidak bisa berpikir secara logis.

Arumi yang dulu sempat terpikir untuk memulai kisah percintaan romantis bersama Narendra dalam biduk rumah tangga yang hangat, kini ia pun menjadi ragu, akankah Narendra bisa benar-benar menerima wanita miskin dan kotor seperti dirinya.

Kembali Arumi tercenung lama di dalam kamarnya, bahkan mengabaikan Narendra yang ternyata sudah pulang dan kini tengah berdiri di hadapannya.

Haruskah aku berjuang atau aku menyerah dengan pernikahan ini, batin Arumi.

***

Narendra menatap arloji yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan ia masih berada di kantor. Ia ingin pulang, tetapi setelah teringat akan Arumi yang tadi siang bercanda tawa dengan seorang pria membuat ia menjadi kesal dan ingin menghindarinya.

Jam segini Arumi pasti sudah tidur. Lebih baik aku pulang sekarang, batin Narendra kemudian beranjak keluar dari ruangannya.

Sesampainya di rumah, Narendra mendapati sang Mama yang masih duduk di ruang keluarga. Pria itu mendekat, mencium punggung tangan sang mama kemudian duduk di sebelahnya.

“Mama kenapa belum tidur?” Pria itu meletakkan tas kerjanya, melepas jas serta dasi yang terasa mencekik lehernya.

Dewi menggeleng sembari tersenyum ke arah sang putra. “Bagaimana Mama bisa tidur sementara kamu nggak pulang-pulang bahkan nggak bisa dihubungi. Kamu dari mana saja, Ren? Kasihan Arumi dari selesai makan malam sampai pukul setengah sepuluh dia nungguin kamu di teras,” ungkap Dewi kepada putra pertamanya.

“Yang benar, Ma? Maaf, tadi kerjaan Naren baru selesai, makanya baru bisa pulang. Sekarang di mana Arumi, Ma?”

Narendra sedikit terkejut ketika mamanya memberi kabar bahwa Arumi menunggunya di teras. Hal itu mengingatkan ia pada kejadian di mana Arumi juga duduk di teras sampai ketiduran hanya untuk menunggunya pulang ke rumah.

Setelah sedikit berbincang dengan sang Mama, juga menceritakan tentang keterkejutan Arumi karena sudah mengetahui akan pekerjaannya, Narendra pun berpamitan untuk ke kamar. Tidak lupa pria itu juga meminta sang mama untuk segera beristirahat.

“Mama istirahatlah, Naren ke kamar dulu,”

“Ya, sudah, sana temui istrimu. Sepertinya dia juga banyak pikiran karena sedari tadi dia banyak diam dari biasanya.”

***

Tibalah Narendra di dalam kamarnya yang temaram karena Arumi memang tidak berniat menyalakan lampu utama. Pria itu tercenung ketika melihat wanita yang sudah menjadi istrinya saat ini tengah melamun menatap jendela yang masih terbuka.

Pria itu lantas mendekat, berdiri di hadapan Arumi yang masih belum kembali dari lamunannya.

“Jangan banyak melamun,” tegur Narendra kemudian duduk di sebelah Arumi.

Wanita itu mengerjapkan matanya cepat, ia sedikit tersentak kaget ketika orang yang ditunggu ternyata sudah pulang bahkan kini berada di dekatnya.

“Kamu, kapan sampai? Kok, aku nggak tahu?”

“Gimana bisa tahu, orang kamunya aja melamun bahkan sampai aku masuk kamar pun kamu nggak sadar. Aku barusan sampai, tadi juga ketemu sama mama di bawah,”

“Kamu sudah makan?” tanya Arumi dibalas gelengan kepala.

Tadi siang saja, makanan yang dibelikan oleh Satria bahkan tidak ia habiskan karena tidak nafsu, ia lebih memilih mengganjal perutnya yang lapar dengan kopi yang dibawakan oleh Arumi.

“Belum … pekerjaanku banyak, jadi aku lupa, “ bohongnya membuat Arumi melotot.

“Ya, sudah, kamu bersih-bersih, sana. Aku bawakan makan malam dulu.” Arumi segera beranjak dari duduknya, keluar kamar untuk membawakan makan malam untuk suaminya.

Narendra tersenyum simpul melihat Arumi yang terlihat berbeda malam ini. Arumi yang biasanya bicara tanpa filter kini menjadi lembut bahkan sesekali menunduk ketika berbicara dengannya. Narendra yakin, jika perubahan Arumi malam ini karena masih ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi siang.

Tidak ingin membuang waktu, Narendra segera membersihkan diri dan berganti pakaian tidur. Ketika pria itu keluar dari ruang ganti, Arumi sudah duduk di sofa dengan tangan yang memegang sepiring nasi beserta lauknya.

“Tadi masih ada banyak makanan dan aku menghangatkannya. Apa tidak masalah?”

Pertanyaan bodoh itu terucap begitu saja dari bibir Arumi. Setelah mengatakan hal itu, Arumi segera menepuk bibirnya pelan karena ia terlihat seperti bukan dirinya saat ini.

“Kamu itu kenapa? Biasanya juga aku makan makanan yang sama, bukan? Terima kasih, istriku.” Narendra beringsut mendekat ke arah Arumi kemudian mengambil alih piring itu.

***

hai 👋

Jumpa lagi sama Nad di sini ...

Jangan lupa like, komen, vote, dan subscribe, dan 5 bintang ya🥰🥰

Selamat membaca dan selamat ngabuburit😘

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!