bab 7

Seorang pria muda tampak keluar dari bandara sambil merangkul seorang wanita cantik dengan sangat posesif. Tak jarang keduanya saling berbisik dan tertawa pelan seakan dunia hanya milik berdua. Keduanya melangkah menuju ke tempat penjemputan di mana di sana sudah ada sang supir yang menunggunya.

“Den Vino,” sapa si supir sambil mengangguk kemudian membukakan pintu mobilnya.

“Hm … kopernya langsung masukin bagasi aja, Pak Tarjo.” Lelaki yang disapa Vino itu pun menyerahkan koper miliknya juga milik sang kekasih pada Pak Tarjo. Sementara dirinya segera masuk ke mobil karena hari sudah mulai gelap.

“Kita langsung ke rumah atau ke mana dulu, Den?” tanya Tarjo setelah selesai menyimpan kopernya dan duduk di kursi kemudi.

“Ke rumah Arumi dulu, Pak. Aku penasaran sama keadaan rumahnya sekarang,” beritahu Vino dan diangguki oleh Tarjo.

Pria paruh baya yang berusia empat puluh lima tahun itu hanya mengangguk. Ia tidak berani berkomentar lebih mengenai Arumi karena yang ia kenal sebagai calon istri majikannya karena khawatir Vino akan marah, meskipun ia tahu bahwa Vino tidak akan marah jika tengah bersama wanita yang disukainya. Namun, tetap saja Tarjo memilih jalan yang aman untuk tidak berkomentar lebih.

Tanpa menunggu waktu yang lama, Tarjo segera melakukan mobilnya sesuai keinginan Vino.

“Arumi? Mantan kamu itu? Kenapa kita ke sana, Sayang?” Wanita yang sedari tadi duduk memeluk lengan Vino di sebelahnya lantas bertanya.

“Iya, Sayang. Yang kemarin aku tinggal di pelaminan itu. Mungkin sekarang dia sedang menangis darah karena gagal menikah. Dan pastinya si Narendra sama si Galendra dapat amukan dari keluarga Arumi. Secara, kan, mereka yang datang sebagai keluargaku. Aku hanya ingin tahu keadaan rumahnya sekarang.”

Vino bercerita sambil terkekeh. Ia jadi membayangkan Arumi yang kalang kabut karena dirinya tidak kunjung datang. Kebahagiaan pria itu berlipat-lipat karena selain menang taruhan dengan teman-temannya, ia juga bisa memacari Karina—wanita di sampingnya—yang berprofesi sebagai model sekaligus artis ibukota.

“Ish … kamu usil banget, sih. Jangan-jangan, kamu suka, ya, sama Arumi?” selidik Karina sambil memicingkan matanya.

Ada gurat kecewa pada netranya setelah mengatakan hal itu.

“Enggaklah … kalau bukan karena taruhan, aku mana mau deketin dia sampai ngelakuin banyak cara supaya dia kepincut sama aku. Aku masih waras buat memilih wanita cantik seperti kamu, Sayang.”

Keduanya masih heboh membahas Arumi, sementara Pak Tarjo hanya mampu menggeleng pelan. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika anak majikannya itu sangat tidak punya hati bahkan tega meninggalkan calon istrinya tepat di hari pernikahannya.

Sampai di dekat rumah Arumi, Vino meminta Pak Tarjo untuk menghentikan mobilnya. Pria itu menatap sekitar—bekas sisa kemarin—kemudian mendapati Arumi tengah duduk termenung di kursi teras sambil menatap kosong ke arah jalanan.

“Tuh, lihat, Sayang. Kayaknya dia frustasi karena gagal menikah.” Vino memberitahu Karina sambil menunjuk ke arah Arumi.

“Kasihan banget, mantan kamu. Lagian siapa suruh jadi cewek bego. Bisa-bisanya nggak nyadar kalau lagi dikibulin sama buaya,” gumam Karina membuat Vino menyentil keningnya.

“Jangan nyindir gitu. Buaya-buaya gini, aku pacarmu sekarang,”

“Iya-iya, Sayang. Gitu aja ngambek, ih. Ntar nginep aja di apartemenku, hm?”

“Oke, siapa takut!”

“Jalan, Pak!”

Setelah puas melihat Arumi yang tengah menyendiri di teras. Vino lantas meminta Pak Tarjo untuk mengantarkannya ke apartemen Karina. Awalnya pria itu hanya ingin mengantar wanitanya kemudian kembali pulang ke rumah. Namun, ketika ditawari untuk bermalam di sana, tentu saja Vino langsung setuju karena memang ia juga masih merindukan kehangatan dari kekasihnya itu.

***

Hari ini pekerjaan Narendra cukup menguras energi, ditambah pekerjaan Galendra yang harus ia kerjakan sebab saudara kembarnya itu tengah berlibur bersama teman-temannya.

Narendra melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu bergegas merapikan mejanya kemudian melangkah ke luar.

“Astaga, aku tadi pagi, kan, nggak bawa mobil!” Narendra berseru lelah.

Ia baru saja merogoh sakunya dan baru teringat jika pagi tadi dirinya berangkat dengan menggunakan taksi online. Tidak ingin membuang waktu, pria tampan itu segera memesan taksi online agar bisa segera sampai di rumah. Sepuluh menit kemudian, Narendra sudah berada dalam taksinya.

“Sesuai aplikasi, Mas?” Sopir taksi bertanya.

“Iya, Pak. Kalau bisa yang cepet, ya, saya sudah lelah,” kata Narendra memberitahu.

“Baik, Mas.”

Menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya Narendra telah sampai di depan rumahnya. Pria itu segera turun dari mobil setelah memberikan uang tip pada sopir taksi karena sudah mempercepat ia sampai di rumah.

Lampu-lampu rumah dengan dua lantai bergaya modern itu telah dinyalakan. Di depan rumah, terparkir dua buah mobil yang sangat Narendra kenali.

“Udah pulang, tuh, anak!”

Narendra bergegas masuk ke rumah dengan mengucapkan salam.

Dewi yang hendak ke dapur untuk menyiapkan makan malam terkejut ketika melihat Narendra pulang ke rumah sendirian pun menegurnya.

“Arumi mana, Ren?” Dewi celingukan mencari sang menantu yang ia pikir turut ikut Narendra pulang ke rumah.

“Arumi siapa, Ma?” Narendra terpaku, sedetik kemudian matanya terbelalak. “astaga, Naren lupa, Ma!”

“Jadi, Arumi nggak ikut ke sini?”

“Enggak, lah, Ma. Naren pulang kantor langsung ke sini. Astaga, mana Naren nggak punya nomornya Arumi, lagi!”

Bagas dan Seorang pria yang wajahnya hampir mirip dengan Narendra lantas muncul dari arah tangga. Keduanya tampak mengernyit heran dengan Dewi dan Narendra.

“Kenapa, Ren?” tanya Galendra, adik kembarnya.

“Kakak iparmu nggak diajak Naren ke rumah,” jawab Dewi.

“Kakak ipar? Siapa? Jangan bilang kalau kamu sama–” Galendra membekap bibirnya sendiri, seolah, ketika ia mengatakan satu nama itu, akan membuat bibirnya langsung mengumpat.

“Bukan! Dia wanita asing yang tiba-tiba jadi istriku. Nanti kamu juga akan tahu,” sahut Narendra yang mengetahui maksud Galendra.

Perut pria itu sudah berbunyi. Dewi melirik putranya kemudian menepuk pelan pundaknya.

“Ya, sudah, kamu bersih-bersih dulu, setelah itu kita makan malam bersama. Setelah ini pulanglah ke rumah istrimu. Kasihan kalau dia nunggu kamu pulang terlalu lama. Galen, jangan usik kakak kamu!”

Awalnya Dewi ingin langsung meminta Narendra untuk segera pulang. Namun, melihat wajah lelah serta terdengar suara perut putra sulungnya yang berbunyi, Dewi menjadi tidak tega dan memilih untuk membiarkan Narendra membersihkan diri serta makan malam sebelum nantinya pulang ke rumah sang istri.

Narendra mengangguk paham. Ia sungguh sangat lelah sehingga tidak ingin banyak bicara dan langsung bergegas menuju ke kamarnya. Ia juga akan membawa beberapa pakaian ganti sehingga tidak perlu bolak-balik ke rumah hanya untuk mengganti pakaiannya.

“Kamu punya hutang cerita ke aku, Ren!” teriak Galendra mengingatkan.

Terpopuler

Comments

Elviraaprillia Vira

Elviraaprillia Vira

di percepat kak ceritanya biar alur ceritanya tambah seru dan bikin penasaran, semangat terus upnya 💪🌹

2024-03-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!