Damar meminum air mineral yang sisa setengah botol itu. Rasa kering menggerogoti tenggorokannya, apalagi saat ini cuaca cukup terik.
Damar baru saja turun dari motor air yang membawanya menuju desa Timur. Satu-satunya alat transportasi yang bisa menghubungkan daerah ini dengan daerah lainnya.
Wajar saja tempat ini sulit berkembang, karena akses jalan darat belum ada. Kata mas Sean daerah itu sebenarnya sangat potensial karena desa Timur memiliki wilayah yang sangat luas, selain berada di dekat pesisir, daerah itu juga memiliki wilayah yang subur untuk pertanian dan perkebunan.
Hanya saja untuk menuju tempat itu harus menaiki motor air yang memakan waktu hampir satu jam.
"Pak Damar?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sepertinya memang menunggunya.
"Iya pak, saya Damar Prasetyo." kata Damar memperkenalkan diri.
"Saya Sapto pak, yang ditugaskan menjemput bapak." kata lelaki itu sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Mari pak, kita langsung ke rumah yang sudah disiapkan untuk bapak." kata lelaki itu dengan ramah.
Damar pun mengikuti bapak itu menuju jalan yang terlihat agak lebar dibanding jalan penghubung tepi sungai tadi
Pak Sapto pun menaiki sebuah sepeda motor dan membonceng Damar menuju tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di sini.
Jalan yang mereka lewati cukup terjal. Jika di tempat awal tadi jalannya cukup luas dan disemen setelah melewati satu kilometer jalannya masih berupa tanah dan berbatu.
Kata pak Sapto jalan ini masih bisa dilewati karena tak turun hujan selama beberapa hari. Tapi, jika musim hujan maka jalan ini akan sulit untuk dilewati karena becek.
"Makanya pak, di sini kalau harga barang-barang itu lebih mahal. Ongkosnya juga mahal pak, mana lewat jalan begini lagi." kata pak Sapto.
"Gak ada bantuan dari pemerintah pak?" tanya Damar karena setahunya ada anggaran untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa.
"Ada pak, tapi cuma dari dermaga sampai pasar tadi saja." kata Pak Sapto.
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan akhirnya mereka sampai ke sebuah permukiman yang cukup ramai.
"Nah, ini akan jadi rumah pak Damar selama di sini. Sebelumnya ditempati Pak Yanto dan istrinya sebelum beliau pensiun." kata Pak Sapto ketika mereka berhenti di sebuah rumah mungil yang sangat sederhana.
"Kalau pak Damar perlu apa-apa, silahkan ke rumah saya. Rumah saya yang itu pak, yang warna hijau." kata pak Sapto pada Damar sambil menunjuk sebuah rumah yang letaknya hanya beberapa pintu dari rumah ini.
"Siap pak." kata Damar.
Kemudian pak Sapto mengajak Damar masuk ke dalam rumah itu. Terlihat ada beberapa perabotan sederhana yang ditinggalkan pemilik sebelumnya.
Di ruang tamu ada kursi kayu dan sebuah meja. Damar pun masuk ke dalam kamarnya dan melihat ada dipan kayu dengan kasur kapuk, sebuah lemari kayu dua pintu.
Sedangkan di dapur hanya ada sebuah kompor gas dan beberapa peralatan memasak ala kadarnya.
"Harap maklum ya pak, hanya ini yang bisa kami siapkan untuk bapak. Karena kondisi kita yang memang terbatas." kata Pak Sapto yang terlihat tak enak hati pada Damar.
"Kalau listrik nyala mulai jam lima sore pak mati lagi pukul lima pagi. Jadi maklum saja di sini jarang ada yang pakai alat elektronik."
"Kalau alat komunikasi, gimana pak?" tanya Damar, terus terang saja dia tak perduli dengan alat elektronik tapi dia perlu berkomunikasi dengan anak-anaknya juga Mas Sean.
"Bisa pak, tapi bapak harus ke lapangan ujung sana dulu pak, di sana baru dapat sinyal." kata Pak Sapto.
"Oh, begitu ya pak. Nanti bisa bapak tunjukkan tempatnya. Soalnya saya mau menghubungi anak-anak saya dan juga kakak saya." kata Damar agak kecewa. Dia mengira sinyal di sini masih aman, ternyata harus ke tempat lain dulu untuk berkomunikasi.
"Loh, pak damar sudah menikah, toh. Jarang ada pegawai negeri yang mau ditempatkan di sini kalau sudah berkeluarga." kata pak Sapto heran
"Iya pak, namanya juga sudah tugas. Mau nggak mau harus dijalani." kata Damar sambil tersenyum.
'Terpaksa ' kata Damar dalam hati.
"Wah, hebat banget prinsip pak Damar. Semangat ya mas, semoga mas betah di sini. Kalau bisa nanti keluarganya juga ikut pindah di sini. Enak tinggal di sini mas, pak Yanto aja betah sampai pensiun." kata pak Sapto setengah bercanda.
Yang benar saja, betah di tempat yang tak memiliki fasilitas dan akses yang sulit.
Baru beberapa jam di sini saja, Damar rasanya sudah tak betah.
Apalagi dia tak bisa melihat dan bertemu dengan anak-anaknya.
Setelah pak Sapto pamit, Damar segera masuk ke kamarnya dan membereskan barang-barang yang dibawanya.
Damar melihat ada sebuah sprei yang terbungkus di dalam plastik putih. Juga bantal dan guling yang masih baru dan disimpan dalam lemari. Sepertinya penghuni sebelumnya cukup pengertian, karena beberapa benda penting justru ditinggalkan.
Setelah memasang sprei dan menyapu kamarnya, damar segera ke dapur.
Dia ingin melihat isi dapurnya, dia ingin membeli kopi, gula dan mi instan.
Tadi Damar sempat melihat warung kecil yang menjual sembako tak jauh dari sini.
Dan setelah selesai mengecek semuanya, dia pun segera mengambil dompetnya dan keluar rumah menuju warung.
Damar melihat rumah disebelahnya. Rupanya rumah ini mirip dengan tiga rumah lainnya. Baik bentuk juga warna catnya.
Damar pun segera berjalan menuju warung, dia tak mau sampai kesorean. Karena ini tempat baru dan tak pernah dia datangi. Jadi Damar berjaga-jaga agar tak melakukan sesuatu di luar kebiasaan warga setempat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Alet
semangat berkarya thor
2024-06-07
2
Susi Akbarini
emang damar bijaksana san penuh perhitungan..
❤❤❤❤❤❤
2024-03-28
2
Jumi Saddah
semangat thor,,dri sinopsis sja udh bikin terharu,,,
2024-03-11
0