5. ABOUT THE SECRET

Saat Alana terbangun keesokan Paginya dia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Dia mengambil Ponselnya dari meja.

" Hah " Matanya membulat Penuh ketika dia sadar sudah Pukul tujuh lewat lima belas menit. Dengan sangat cepat Alana bersiap dan bergegas ke sekolah meski dia tahu sudah terlambat.

Alana mengendap-endap memasuki gerbang sekolah agar Pak Satpam yang tengah tertidur tidak terbangun Dia sedang berjalan Perlahan ketika tiba-tiba menabrak tubuh seseorang.

" Aduh "

Dia menatap sosok di hadapannya. Benar sekali, dia menabrak Devan Walaupun sebelumnya mereka terlihat akrab, tetap saja Devan Wakil Ketua OSIS SMA Arwana Mungkin saja, Devan akan menghukumnya karena Alana terlambat.

" Maaf—” ujar Alana terpotong.

" Bukan gue yang lagi jaga,” tepis Devan dengan cepat dan melirik ke arah lain. Terlihat Satria yang tengah berjalan mendekati mereka.

" Jadi, lo telat juga?” tanya Alana Lelaki itu hanya terdiam seraya mengangkat satu alisnya.

Alana sudah Pasrah ketika Satria menghampiri mereka.

" Devan lo?” tanya Satria santai seraya menatap sohibnya yang tampak berbeda. Devan menggeleng.

" Biasa "

" Ya, udah sana,” suruh Satria tapi Devan masih saja berdiri di tempatnya.

Satria langsung mengalihkan Pandangannya ke arah Alana. " Alana Kamu kenapa telat lagi ? Udah enggak serius di OSIS, enggak niat sekolah juga Atribut kamu mana?” tanya Satria

" Push up 50 kali sekarang juga!” bentak lelaki itu.

Alana mengangguk Pasrah tapi dia merasa ada tangan yang menahan lengannya agar tidak melakukannya.

" Kalau dia dihukum, gue juga,” ujar Devan dingin.

" Lo gila, ya?” sahut Satria. " Pak Dibyo bentar lagi dateng Abis kalo sampe dia tahu lo telat.”

Pak Dibyo Pembina OSIS. Bagaimana jadinya jika dia melihat wakil ketua di organisasinya terlambat datang ke sekolah ?

" Telat, ya, tetep telat, lah,” ujar Devan lagi.

Satria menghela napas kesal.

" Kenapa kalian ribut,” tanya Bu Feli, salah satu guru galak di sekolah ini.

" Cewek itu telat, Bu,” jawab Satria. Bu Feli menatap Alana yang kini tengah menundukkan kepalanya.

" Saya juga telat, Bu,” sahut Devan

" Ah, sama aja. Kalian berdua, berdiri di bawah tiang bendera sampai jam Pelajaran Pertama selesai. Sehabis itu, kalian baru boleh masuk Jangan coba-coba kabur,” ujar Bu Feli.

" Kamu juga Satria Kayak gini aja enggak becus.” Bu Feli menatap Satria sebal lalu Pergi meninggalkan mereka.

Devan sudah berjalan menuju tiang bendera terlebih dahulu, baru Alana menyusulnya.

" Kenapa lo malah minta dihukum, sih ? Padahal, kan ....."

Devan menatap Alana

" Nemenin lo,” ujarnya.

Alana menatap Devan bingung Dia tak mengerti maksud ucapan lelaki itu.

" Nemenin gue ? Sama-sama telat, kan, maksudnya," tanya Alana tak mengerti.

Devan menghela napas gusar. " Hm "

Hanya itu jawabannya hingga membuat suasana canggung dan Alana Pun jadi malas berbicara.

Sepuluh menit berlalu. Wajah Alana sudah terlihat seperti kepiting rebus. Devan melangkah sedikit untuk menutupi gadis itu dari sinar matahari entah sengaja atau tidak.

Walaupun masih Pagi entah mengapa sinar matahari sangat Panas. Kepala Devan terasa sangat berat kepalanya seolah berputar-putar Seketika hanya warna hitam yang ada di Penglihatan Devan dan tak lama tubuh Devan terjatuh sehingga menyenggol tubuh gadis di sampingnya. Alana Pun ikut terjatuh.

" Devan jangan suka bercanda, deh. Bangun," Alana menepuk Pipi Devan dengan kuat. Namun, tidak membuat lelaki itu terbangun juga.

" Eh, lo Pingsan beneran, ya,"

Alana mencoba bangkit dan mengangkat tubuh Devan Namun tubuh Devan yang terlihat tidak begitu besar itu ternyata sangat berat.

" Aduh " Alana berusaha keras menuntun Devan ke UKS dengan meletakkan tangan Revo di bahunya. Dia mencoba jalan Perlahan meskipun sering kali hampir terjatuh.

" Berat banget, sih, lo. Makan tronton lo, ya?”

Alana akhirnya bisa juga tiba di UKS kemudian menurunkan Devan di tempat tidur. Petugas PMR lelaki Pun membantu Alana untuk merebahkan tubuh Devan

" itu Kak Devan, ya?”

" Ih, gila ganteng banget!”

" Kok, bisa, sih, dia Pingsan begitu?”

" Pasti gara-gara Cewek itu,"

Begitulah yang Alana dengar. Dia geram dengan beberapa Petugas PMR Cewek di sana Bukannya menolong Devan malah menggosip.

" Kalian anggota PMR atau anggota akun gosip, sih?” tanyanya kepada anak kelas X itu.

" Maaf, Kak.”

Alana kemudian keluar dari UKS untuk membeli beberapa makanan dan air hangat untuk Devan sambil bertanya-tanya mengapa Devan tiba-tiba bisa Jatuh Pingsan. Setelah itu Alana kembali dan duduk di bangku dekat tempat tidur UKS.

Lima belas menit kemudian sepertinya Devan sudah tersadar. Dia mengusap kedua matanya dan tampak memastikan di mana dia sekarang. Dia memijit Pelipisnya sendiri lalu mencoba untuk berdiri tapi kepalanya masih sakit.

" Jangan gerak-gerak.”

Devan menoleh ke sumber suara itu. Dia menyipitkan matanya. Setelah memastikan siapa yang ada di sana Devan hanya terdiam dan menatap gadis itu tajam. Lalu, mengalihkan Pandangannya ke arah lain.

" Lo belum sarapan, ya, makanya lo Pingsan,"

" Berisik " Devan memijit Pelipisnya lagi.

" Maaf, abisnya lo—” ujar Alana terpotong.

" Lo berisik, Alana. Mending Io Pergi,"

" Kenapa?” tanya Alana bingung.

" Gue mau sendiri.”

" Kenapa?” tanya Alana lagi.

" GUE BILANG PERGI, YA, PERGI!” bentak Devan

Alana menundukkan kepalanya Mengapa Devan terlihat sangat menyeramkan ? Alana menggigit bibir bawahnya,menahan air mata yang Tertahan di kelopak matanya. Dia juga bingung mengapa dia harus menangis Satria juga sering membentaknya, tetapi itu tak Pernah membuat Alana ingin menangis seperti sekarang.

" iya, gue Pergi Jangan lupa makan.” Alana bangkit dan beranjak keluar dari ruang UKS.

Devan menatap intens gadis itu hingga bayangannya tidak terlihat lagi.

Mengapa sikap Devan berbeda dari biasanya Apakah Alana memiliki salah Pada lelaki itu Atau justru ada sesuatu yang Devan sembunyikan ?

...••••••...

Sorenya Alana harus Pulang terlambat lagi karena ulangan susulan Pelajaran Fisika dengan Bu Lidya yang harusnya dilakukan tadi Pagi ketika dia datang terlambat.

" Akhirnya, bebas juga gue " dia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, kemudian mengambil tasnya dan bergegas untuk Pulang.

" Alana, ibu buru-buru, mau ada acara mendadak Kamu tolong kasih kunci ini ke Mang Udin, ya?” Pinta Bu Lidya.

Alana menghela napas kesal. Padahal, dia ingin langsung Pulang.

" Mang Udin di mana, Bu,”

" Enggak tahu, kamu cari aja. Alana Anak Cantik." Bu Lidya mencolek dagu Alana. Alana Pun dengan terpaksa mencari Mang Udin di seluruh koridor sekolah. Sudah seperti tidak ada kehidupan, sangat sepi.

" Mang Udin " teriak Alana dan segera menghampiri lelaki Paruh baya itu dengan napas tersengal-sengal.

" Eh, Neng Cantik, ada apa, Neng?” tanya Mang Udin.

" Saya disuruh Bu Lidya ngasih kunci ini ke Mamang.” Alana memberikan kunci itu kepada Mang Udin.

" Oh, iya, makasih, Neng. Saya duluan, ya, Neng.” Mang Udin bergegas Pergi, entah ke mana.

Niat Alana untuk Pulang terhenti ketika dia melihat koridor sempit di belakang sekolah yang tidak Pernah dia kunjungi. Rasa Penasaran Pun mulai memenuhi isi kepalanya.

“ itu apa, ya?” tanya Alana Dia berjalan mendekati koridor itu.

" Eh, jangan, deh, balik aja.”

Tapi, gue Penasaran. Alana mendekati koridor sempit yang tersembunyi di dekat kamar mandi Pria itu. itu Pun tertutup tripleks sehingga tak semua orang menyadarinya.

Pelan-pelan Alana menyusuri koridor itu Ternyata itu jalan menuju rooftop sekolah Begitu sampai di rooftop Alana baru tahu ternyata sekolah itu Punya rooftop yang memungkinkannya untuk menatap langsung langit senja yang indah.

Alana menyipitkan mata. Sepertinya, dia tahu siapa sosok lelaki di ujung rooftop dengan rokok yang sedang dipegangnya. Dia menggelengkan kepala berpikir bahwa itu tak mungkin.

Alana mendekati sosok itu dengan ragu. Apa yang ada di hadapannya sekarang benar-benar tak bisa dia Percaya.

itu bukan Devan dengan Pakaian, rambut dan wajah yang rapi seperti biasanya. Rambutnya tampak acak-acakan,bajunya sudah berantakan dan dikeluarkan, dasinya juga sudah tidak jelas alurnya, Dari raut wajahnya Devan tampak memiliki banyak masalah Tatapan matanya juga terlihat kosong.

" Lo ngerokok ” tanya Alana ragu. Suaranya membuat lelaki itu menoleh dan menatapnya lekat. Lalu Devan kembali menoleh ke arah depan.

" Maaf kalo gue ganggu, gue balik.” Alana bergegas kembali dari tempat itu. Namun dia merasa ada tangan yang menahannya untuk tetap di situ.

" Duduk.”

" Enggak usah, gue mau balik.”

" Duduk, Alana " Paksanya dengan suara dinginnya.

Akhirnya Alana duduk di tempat itu lalu menatap Devan dengan sedikit rasa takut.

" Lo tahu tempat ini dari siapa,” tanya Devan

" Gue tadi nyari Mang Udin, terus gue enggak sengaja lihat koridor sempit Gue Penasaran gue enggak tahu kalo ini jalan ke rooftop.” Alana menjelaskan.

Devan hanya mengangguk.

" Lo Jangan kasih tahu ke siapa-siapa tentang tempat ini.”

" Bukannya ini tempat umum,"

" Pokoknya jangan,” ujar Devan dengan nada yang cukup tegas, membuat gadis itu hanya mengangguk.

Alana bingung harus bagaimana dia bisa Pulang Namun, dia tak mau Devan terus-menerus seperti ini. Kenapa, sih, gue harus Peduli ? batin Alana bertanya-tanya.

" Uhuk ... huk.” Suara itu terdengar dari lelaki di sampingnya.

" Huk " Lelaki itu kembali terbatuk.

Alana menatap Devan lekat.

" Lo enggak biasa ngerokok, ya?” tanyanya.

Memang benar, Devan bukan Perokok akut Dia hanya merokok di kala terkena masalah yang tak bisa dia hindari lagi. itu Pun selalu membuatnya terbatuk.

Alana segera merampas dan melempar rokok yang hendak Devan isap sekalian dengan bungkus rokoknya.

Mata lelaki itu menatap Alana tajam.

" Apaan, sih, lo ? Hah?” bentak Devan

" Lo, tuh, kalo Punya otak dipake dikit, kek. Kalo udah tahu lo enggak bisa ngerokok, ya, enggak usah ngerokok. Lo tadi udah batuk-batuk terus ngapain lo ngerokok ? Lo mau mati?” balas Alana seraya berdiri. Dia tak peduli Devan seniornya yang dia ucapkan memang benar.

" Apa masalahnya, sih, buat lo,” tanya Devan kesal, lalu ikut berdiri dan mendekati gadis itu.

" Rokok enggak baik buat kesehatan lo Setiap masalah Pasti ada jalan keluarnya, tapi menurut gue rokok enggak bakal bisa nyelesaiin masalah lo!” sentak Alana

" Terus, apa yang baik buat gue?” bentak Devan dan terus mendekati gadis itu.

" Apa yang bisa nyelesaiin masalah gue ? Hah ? APA ? JAWAB ? bentak Devan lagi dengan suara yang jauh lebih kencang dari tadi. Suaranya benar-benar menunjukkan bahwa dia sedang frustrasi.

Alana menatap bingung Devan yang seketika terdiam Lelaki itu juga tampak memegangi dadanya.

“ Devan ? Lo kenapa?”

Tak lama setelahnya Devan tak lagi terlihat berdiri tegak, tubuhnya terjatuh secara Perlahan.

“ DEVAN "

Alana mendekati lelaki yang sudah tak sadarkan diri itu.

Dia memegang Punggung tangan lelaki itu.

" Devan, lo kenapa " tanya Alana Panik. Wajah Devan semakin Pucat keringat dingin Pun bercucuran dari tubuhnya membuat Alana semakin Panik.

" Lo kenapa, Devan,"

Entah apa yang terjadi Alana Juga tak tahu apa masalah yang tengah dihadapi Devan sehingga lelaki itu bisa Pingsan dua kali hari ini.

" Devan ! Jangan Pingsan dulu, kek, gue enggak tahu harus gimana Sekolah udah sepi Aduh.” Alana menggaruk kepalanya dan menatap wajah Pucat Devan Dia kemudian melihat kunci mobil Devan di samping korek milik lelaki itu.

" Enggak sopan, sih, tapi mau gimana lagi,” Alana mengambil kunci mobil itu dan menuntun lelaki itu dengan tersengal-sengal.

Dia sudah berteriak minta tolong dan meneriaki nama siapapun tapi tak ada sahutan yang dia dengar. Mungkin karena sekolahnya sudah sangat sepi.

Akhirnya Alana bisa membawa Devan ke rumah sakit.

Alana menatap lelaki itu dengan sedikit kecemasan di dalam hatinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Devan ? Alana mengusap kedua matanya, merasa sangat mengantuk, Padahal baru Pukul 06.30 malam.

Alana melihat lelaki itu mulai bergerak menunjukkan bahwa dia sudah sadar. Devan sepertinya teringat sesuatu dan mencoba melepas infus di tangannya.

" Heh, lo mau ngapain,” Pekik Alana kaget ketika melihat infusan itu sudah lepas dari tangan Devan

" Gue buru-buru.” Devan segera turun dari ranjang rumah sakit, lalu mengambil kunci mobilnya dan berjalan cepat untuk keluar

" Dia udah gila?” Alana menggaruk kepalanya sendiri sebelum berlari mengejar Devan yang bayangannya mulai menghilang.

Untunglah, Alana masih sempat menghampiri Devan yang sudah berada di Parkiran dan hendak memasuki mobilnya.

" Lo gila, ya?” Napas Alana masih terengah-engah karena lelah mengejar Devan.

" Lo enggak Punya otak apa gimana, sih ? Lo itu masih sakit Gue aja yang bawa mobilnya,” Paksa Alana.

Devan tak menggubris, dia sudah memasuki mobil dan menyalakannya. Sementara, Alana masih berada di depan mobil Devan, Cahaya lampu mobil itu membuat Alana menyipitkan matanya.

" Lo mau mati?” sentak Devan

Alana akhirnya memasuki mobil Devan menatap aneh lelaki di sebelahnya.

Tak lama, Devan segera mengegas mobil itu dengan kecepatan Penuh,

" Eh lo—gila!” Pekik Alana

Selama Perjalanan, kepala Alana terasa Pusing karena Devan terus mengegas mobilnya kencang-kencang. Devan terdengar mengklakson siapa saja yang ada di depannya.

" Woi. Lo bawa mobil yang bener, dong.”

" Berisik.”

Tiba-tiba Devan menabrak batu besar sehingga mobilnya menjadi melaju tak terkendali Untungnya dia segera sigap menghentikan mobilnya.

Alana menutup matanya dengan kedua tangan.

" Lo Punya nyawa berapa, sih ? Sembilan ? Sepuluh?” tanya Alana kesal dengan napas terengah-engah.

" Lo hampir bikin gue mati tahu, enggak.”

" Gue enggak maksa lo ikut gue,” ujar Devan sambil menepis ucapan Alana, lalu membuka Pintu mobilnya.

Alana baru sadar kini mereka tengah berada di sebuah rumah sakit lain. Tunggu Devan kabur dari rumah sakit untuk ke rumah sakit ? Untuk apa ? Alana ikut turun dari mobil Devan dan mengikuti langkah lelaki itu dengan bingung.

Devan memasuki salah satu ruang rawat inap di rumah sakit itu. Dia menghampiri seorang wanita Paruh baya yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

" Mama?” Devan mencium Punggung tangan wanita itu, lalu merapikan rambut ibunya.

Alana menatap kejadian itu dengan haru. Ternyata Devan hampir melupakan nyawanya karena ingin menjenguk ibunya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca.

Desiran tajam dan rasa sesak yang mungkin Devan rasakan, dapat dia rasakan juga.

" Devan sayang Mama.”

" Kamu siapa?” Mama Devan malah bertanya Padanya.

Devan menatap mamanya dengan sendu.

" Ma, ini aku Devan," ujar Devan selembut mungkin.

" Devan" Catherine, Mama Devan tampak mengerutkan dahinya seraya memandangi wajah Devan dengan lekat.

" Iya, aku Devan,"

Catherine memegangi kepalanya seperti terasa sakit karena ada memori yang terlintas di benaknya, tapi dia tak dapat mengingatnya dengan benar apa yang kini tengah bergemuruh kuat di dalam kepalanya.

Napas Catherine mulai terdengar tak karuan. Dia menatap Devan Penuh tanda tanya. " Kamu siapa sebenarnya Kenapa kamu Panggil saya Mama,"

" Devan anak Mama,” lirih Devan

Catherine menggelengkan kepalanya, lalu mendorong kuat tubuh Devan hingga tubuhnya sedikit terdorong kebelakang.

" Enggak, Putra saya masih kecil. Pergi kamu dari sini," bentak Catherine.

Devan kembali memandang ibunya dengan terluka. Saat ini, Catherine tengah mengalami Amnesia Disosiatif. Itu Penyakit di mana Penderitanya akan kehilangan memorinya. Lebih dari itu, Penderita Amnesia Disosiatif dapat kehilangan memori tentang lingkungannya ataupun identitasnya sendiri, mengakibatkan timbulnya gangguan kesadaran serta Perubahan Persepsi pada diri seseorang. Amnesia Disosiatif ini biasanya disebabkan Peristiwa traumatik ataupun trauma Psikologis yang berat.

Penyakit itu juga bisa disebabkan karena stres yang berkepanjangan. Penderitanya biasanya terlihat sangat cemas dan depresi. Penderitanya juga bisa mengalami Perubahan kesadaran yang terlihat seperti mengamuk ataupun marah besar walaupun terkadang mereka masih terlihat seperti orang normal Pada umumnya dan bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal juga.

Dalam beberapa kasus, Penderitanya dapat kehilangan informasi tentang teman-temannya, keluarganya, atau bahkan siapa dirinya,

Itulah sebabnya, hingga saat ini Catherine menganggap anaknya masih kecil. Yang ada di memorinya, Devan kecilnya, sedangkan Devan yang ada di hadapannya sekarang dia anggap orang asing karena ketidakmampuan saraf otaknya untuk menciptakan memori baru. Catherine tak bisa menerima bahwa Devan sudah bertumbuh besar Amnesia Disosiatif ini sebenarnya bisa disembuhkan dengan beberapa terapi. Namun Catherine tak Pernah mau untuk menjalani terapi itu.

Catherine memegangi kepalanya. Amnesia Disosiatif ini memang melibatkan resepsi dalam skala besar sehingga mengakibatkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari ingatan seseorang. Dalam amnesia ini, ego yang ada di dalam dirinya melindungi dirinya sendiri dari kecemasan yang mengeluarkan ingatan mengganggu. Kedatangan Devan yang mengaku-ngaku sebagai Putranya sering kali membuat Catherine tertekan, karena ada memori yang ingin masuk ke ingatannya, tapi tak berhasil.

" Pergi kamu!” teriak Catherine lagi.

Catherine kini tampak benar-benar tak karuan Alana yang tadinya berdiri di dekat Devan segera menghampiri Catherine dan mengelus Punggung tangan wanita Paruh baya itu.

" Tante, Tante akan baik-baik aja,” ujar Alana menenangkan.

" Pergi dari hadapan saya!” sentak Catherine Pada Devan

Alana menatap Devan sejenak, mengisyaratkan kepada lelaki itu untuk Pergi meninggalkan ruangan ini agar Catherine dapat kembali menenangkan dirinya. Devan hanya mengangguk Pelan, lalu bergegas Pergi meninggalkan Catherine untuk berdua saja dengan Alana

Kini Catherine menangis. Alea tersenyum ke arah Catherine. " Maaf, Tante. Kalo saya boleh tahu, kenapa Tante nangis?”

" Saya enggak tahu sekarang Putra saya di mana Dia Pergi sebelum saya bisa bahagiain dia Mungkin, dia marah sama saya. Saya bisa mengerti jika dia marah dan malu Punya ibu yang enggak berguna seperti saya.”

Alana menggeleng. Dia mengelus lembut Pundak Catherine seraya tersenyum. " Enggak, anak Tante Pasti sayang banget sama Tante. Anak Tante juga Pasti bangga karena Punya ibu yang cantik dan kuat kayak Tante.”

Catherine tertawa miris. “ Kalau memang dia sayang sama saya, kenapa dia enggak Pernah kembali ? Dan kalo dia bangga sama saya, kenapa dia Pergi,"

Diam-diam Devan memperhatikan Alana dan mamanya dari balik Pintu ruangan Dia tersenyum miris.

" Devan enggak Pernah Pergi, Ma. Devan sayang Mama, " batin Devan dengan Perasaan yang sulit dijelaskan.

" Tante, anak Tante selalu ada buat Tante Bahkan, dia enggak Pernah Pergi ninggalin Tante sendirian.” Alana melanjutkan.

Catherine menggeleng. " Maksud kamu apa,"

" Anak Tante itu dia yang tadi meluk Tante Dia Devan Putra Tante Dia sekarang udah tumbuh dewasa.”

Catherine menggeleng lagi. " Enggak mungkin Dia masih kecil. Kamu enggak usah berbohong untuk menenangkan saya. Kamu enggak usah berbohong!”

Kepala Catherine terasa semakin sakit. Hal-hal tersebut mengakibatkan emosi Catherine semakin bergejolak hebat Membuatnya merasakan hal yang sangat menyakitkan dan kembali memaksanya untuk mengingat Pada konflik di masa lalu tekanan, atau trauma yang menyebabkan dirinya seperti ini.

" Saya cuma mau ketemu Putra kecil saya,” lirih Catherine.

" Saya minta maaf kalau yang saya katakan bikin Tante Jadi sedih.”

Alana kembali tersenyum hangat. " Tapi, saya yakin kalau suatu saat nanti, Tante bakalan ketemu sama anak Tante. Tante bakal lihat kalo dia sayang banget sama Tante. Saya yakin, Tuhan Pasti bakalan kasih akhir cerita yang terbaik buat Tante.”

Catherine membalas senyuman hangat yang diberikan oleh Alana

" Terima kasih, ya, kamu baik sekali. Nama kamu siapa,"

" Alana, Tante,” jawab Alana seraya tersenyum.

" Boleh saya Panggil kamu Putri Cantik?” Catherine dengan matanya yang berbinar ke arah Alea.

Alana mengerutkan dahinya. " Putri Cantik ? Kenapa harus Putri Cantik?” tanya Alana

Catherine tertawa. " Karena, bukan hanya wajah kamu yang Cantik, tapi hati kamu juga Cantik Enggak seperti saya yang enggak berguna.”

Alana menggelengkan kepalanya. " Tante, enggak ada manusia yang enggak berguna di dunia ini Tante enggak boleh sedih, ya?” ujarnya menenangkan.

" Ibu Catherine, saatnya istirahat.” Seorang Perawat memasuki ruangan Catherine sambil tersenyum.

" Tante, Tante harus istirahat yang Cukup, ya. Alana Pulang, Tante.” Alana mencium Punggung tangan Catherine. Catherine tersenyum seraya mengelus lembut rambut Alea.

“ Hati-hati, Putri Cantik.”

Alana mengangguk dan tersenyum, lalu bergegas meninggalkan ruangan.

Dia menarik napas sejenak, lalu menghampiri Devan yang sedari tadi memperhatikannya Mereka kemudian berjalan menuju koridor Parkir dan berniat untuk segera Pulang Sesampainya di koridor Parkir rumah sakit, mata Alana berkaca-kaca. Meski, semuanya terasa melelahkan, itu juga sangat mengharukan.

" Devan nyokap lo kenapa?” tanya Alana hati-hati.

Devan menjawab Parau. " Nyokap kena Amnesia Disosiatif karena trauma. Makanya, dia enggak bisa nerima kalo gue ini Devan. Karena yang ada di memori dia, Devan itu masih kecil.

" Maaf kalau Mama juga kelihatan agak emosional. Soalnya Penyakit ini juga bisa membuat Penderitanya merasa depresi dan cemas.”

Mata Alana semakin berkaca-kaca. Dia tak kuasa menahan tangisnya yang sedari tadi dia bendung.

Devan menatap gadis itu lekat. “ Ck. Cengeng lo!”

Dia terdiam sejenak sebelum berbicara kembali.

" Menurut lo, orang bodoh seperti apa yang nangis saat dia jadi alasan orang lain buat ketawa?” Devan merangkul bahu Alana

Tubuh Alana merinding, jantungnya berdebar sangat kencang.

" Makasih udah bikin Mama senyum. Makasih udah bikin Mama ketawa lagi. Maaf juga, tadi gue udah bentak-bentak lo.”

Entah apa yang Alana rasakan sekarang. Yang jelas jantungnya berdebar sangat kencang.

“ Devan ini tempat umum.”

“ Lo deg-degan?” tanya Devan

Mata Alana membulat sempurna Pipinya memerah. Dia malu sejadi-jadinya karena Devan menyadari itu.

" Ayo, balik.” Alana memasuki mobil Revo terlebih dahulu dengan Pipinya yang merah Padam. Devan terkekeh kecil, lalu ikut memasuki mobilnya.

" Balik ke rumah lo aja, biar dari sana gue balik sendiri Lo, kan, masih sakit,” ujar Alana tanpa menatap Devan

“ Lo belum jawab Pertanyaan gue.”

“ Pertanyaan apa?”

“ Lo deg-degan?” tanya Devan lagi, sehingga membuat Pipi Alana semakin Panas dan memerah.

“ Udah, ayo, jalan.”

Devan tertawa seraya menggeleng.

Rasanya sudah setengah Perjalanan, tapi Alana sadar ini jalan menuju rumahnya.

“ Rumah Io searah sama rumah gue, ya?”

“ Enggak.”

" Kan, gue bilang, enggak usah nganterin gue. Lo masih sakit.”

" Suka-suka gue, lah.” Devan menatap lurus ke depan.

" Lo kenapa, sih, aneh banget ? Lo enggak sadar lo masih sakit ? Kalo misalnya lo balik terus lo kenapa-kenapa, gimana?”

" Gue mati, tinggal dikubur Tapi, lo jangan nangis,ya,” ledek Devan

Alana berdecak kesal. " Gue serius,"

" Ya, gue juga serius. Eh, jangan, nanti sayang.”

Alana menatap Devan sejenak, lalu memutar kedua bola matanya malas. Tetapi, sesungguhnya, dia masih tak mengerti mengapa kini Pipinya sungguh memanas.

Tak lama, mereka sampai di depan rumah Alana Sekarang sudah Pukul 11.00 malam, tak terasa Saat Alana turun dari mobil, terlihat jelas bahwa Leon kakak laki-laki Alana, sudah menunggunya di depan rumah dengan tatapan tajam. Padahal, tadi Alana sudah meminta izin mamanya. Dulu Alana dan Leon tinggal bersama saat di Bandung. Saat Alana dan keluarga Pindah ke Jakarta, Leon harus tetap tinggal di Bandung karena harus melanjutkan Pendidikannya. Namun, kini dia sedang berada di Jakarta.

“ Bang.” Alana hendak mencium tangan abangnya, tapi Leon malah menghampiri Pintu mobil Devan

" Keluar lo ” Suara Leon terdengar Penuh emosi.

Devan membuka Pintu mobilnya Leon menghajar Devan dengan sangat kuat

Alana meringis seraya menutup matanya.

" Maksud lo apa bawa dia sampe semalem ini?” tanya Leon.

Devan menatap Leon tajam. " Lo yang apa-apaan?” Dia mendorong kuat tubuh Leon sampai Leon terhuyung.

" Lo apain dia ? Hah?” bentak Leon.

Mata Alana membulat ke arah abangnya.

" Apaan sih!” sentak Alana. Namun, tidak ada yang Peduli.

Leon mendorong tubuh Devan ke mobil dan menghantamnya lagi. Devan Pun membalasnya

" Berengsek ! Lo bawa dia ke mana sampe semalem ini ? Jawab!”

Devan menatap Leon tajam. " Cuma orang yang enggak tahu tata krama yang ngehajar orang tanpa alasan!” Dia menghajar dan mendorong tubuh Leon hingga menabrak Pagar rumahnya Kepala Alana sudah sangat Pusing mendengar Pertengkaran itu. Sementara itu, sepertinya mamanya sudah tertidur sehingga sama sekali tidak mendengar apapun

" Mendingan, lo tanya sendiri sama Cewek lo!” bentak Devan seraya menarik kerah baju Leon dengan kuat.

Alana tersadar. Sepertinya, Devan dan Leon salah Paham.

Leon tertawa sinis, tapi lama-lama tawanya menjadi terbahak-bahak. Devan masih menarik kerah baju Leon dan bingung dengan yang terjadi.

" Apa lo bilang ? Alana Cewek gue?” Leon terus tertawa.

" Enggak usah ketawa!” Devan kembali menghajar Leon Leon sepertinya mulai terpancing lagi.

" Lo harusnya ngaca Lo harusnya cari tahu dulu siapa gue!” Dia mengepalkan tangannya.

" Abang Devan Udah enggak usah berantem!” Pekik Alana.

Tanpa disangka, tonjokan Leon yang sangat kuat itu mendarat di wajah Alana. Kepala Alana terasa sangat Pusing dan akhirnya dia jatuh Pingsan.

" Abang?” tanya Devan bingung.

" IYA DIA ADIK GUE ADIK KANDUNG GUE!”

Devan hanya terdiam. Dia mematung ketika melihat Alana sudah terkapar dan abangnya hendak menggendong gadis itu ke dalam.

" Sori, gue enggak tahu.”

" Lo jelasin sejelas-jelasnya sana nyokap gue!” sentak Leon.

Cecil, ibu Alana, muncul sejurus kemudian. Mata Cecil membulat ke arah Alana yang tengah terkapar dan ke arah Leon yang menggendongnya.

" Ya, ampun, Alana. Anak Mama, kamu kenapa, Sayang?” Cecil menyingkirkan satu bulatan timun yang masih melekat di matanya dan melepas earphone dari telinganya, lalu mengejar mereka ke kamar Alana.

" Nak Devan ? Kamu yang waktu itu anterin Alana Pas hujan, kan?” tanya Cecil.

“ Iya, Tante.”

" ini Kenapa bisa begini ? Aduh, mukanya kenapa me-mar?” tanya Cecil.

" Enggak sengaja Leon tonjok, Ma,” ujar Leon, membuat wajah mamanya yang masih dibalut masker Putih itu menegang dan matanya membelalak ke arahnya.

“ Kenapa kamu tonjok, Leon?”

" Aku kira, nih, orang ngapa-ngapain Alana, aku mau nonjok dia. Eh, malah kena Alana.”

" Kamu, tuh, ya, Alana udah izin sama Mama mau bawa temennya ke rumah sakit. Kamu, sih, main hajar-hajar aja.”

" Mama aku tanya kenapa enggak jawab?” Leon kesal.

“ Kan, Mama Pake headset. Kamu, sih, Mama lagi Perawatan nanya-nanya terus. Udah, Mama mau ambilin air anget buat Alana. Kalian berdua bersihin itu luka-lukanya,” suruh Cecil, lalu Pergi keluar dari kamar Alana

" Heh, inget, dia bukan Cewek gue!” tegas Leon.

“ Iya, Bang.” Devan hanya mengangguk.

“ Nak Devan Tante bukannya ngusir, tapi udah malem banget Kamu Pulang aja, ya ? Kasihan Alana-nya,” suruh Cecil.

Devan mengangguk mengerti. “ Iya, Tante, saya Pamit dulu.” Dia mencium Punggung tangan Cecil.

" Bang.” Dia juga menganggukkan kepalanya ke arah Leon, lalu keluar dari kamar Alana.

" Ada-ada aja.” Cecil menggaruk kepalanya.

Devan memasuki mobilnya, meletakkan tangan di atas setir mobilnya. Dia mengingat wajah Alana yang memar merasa itu semua gara-gara dirinya. Padahal, Alana Pulang semalam ini juga gara-gara Devan. Namun, dia kemudian teringat Tante Cecil dan Bang Leon, yang tampak sangat menyayangi Alana. Devan tersenyum.

“ Lo beruntung, ya, Punya keluarga yang sayang banget sama lo,” ujar Devan lalu menghela napasnya.

...•••••...

Terpopuler

Comments

BIO56

BIO56

lanjut Thor

2024-02-17

0

Anon67

Anon67

lanjut Thor

2024-02-17

0

Anonymous

Anonymous

lanjut Thor

2024-02-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!