8 - Sungai

Bagi Ryuu, malam itu benar-benar mencekam. Meskipun ia berada di persembunyian yang aman di antara pohon-pohon tinggi, ia merasa ketegangan menyelimuti seluruh tubuhnya.

Dengan Gelisah, ia berusaha tidur, tetapi terus terjaga karena suara monster yang menggema di hutan gelap. Suara-suara aneh dan menyeramkan itu membuat bulu di punggungnya berdiri tegak.

"AAOOOUUU!!"

Tidak hanya itu, raungan menggema dari sekawanan serigala besar juga terdengar di kejauhan. Namun, untungnya, mereka semua masih berjarak beberapa kilometer jauhnya. Ryuu berbaring diam, mendengarkan dengan hati-hati, takut bahwa kawanan serigala itu akan mendekat.

Namun, untungnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka di sekitar persembunyian Ryuu.

Setelah beberapa jam, Ryuu akhirnya berhasil mendapatkan istirahat yang singkat. Saat fajar mulai mewarnai langit timur dengan warna-warna hangat, dia bergerak dengan hati-hati turun dari pohon besar yang menjulang, tempat dia berlindung.

Ryuu yang tersandung beberapa langkah karena awalnya kakinya menolak bekerja sama. Dia menggeliat sedikit dan melihat sekelilingnya, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada monster yang terlihat di sekitar, bahkan hewan-hewan normal pun sedikit terlihat.

Dia merasa heran, "Apakah tempat ini memiliki predator besar, ataukah monster aneh yang ada di hutan ini telah mengusir mereka?"

Ryuu merasa khawatir dan pertama-tama memeriksa telurnya dengan cepat. Dia merasa lega saat melihat telurnya masih duduk di lubang kecilnya tanpa tanda-tanda monster atau predator.

"Syukurlah... Telur ini baik-baik saja..." gumamnya dengan lega.

Kemudian, tanpa ragu, Ryuu mendekati telur itu dengan hati-hati. Dia memeriksanya dengan penuh perhatian dan mencoba mendorong cangkangnya.

Namun, telur itu tidak bergeming dengan mudah. Cangkangnya masih terasa keras, meski sudah terasa dingin. Perlahan, Ryuu menyadari bahwa telur itu tampak sedikit lebih besar baginya.

Dalam keheningan hutan yang kelam, Ryuu merenung di dekat telur itu dengan tatapan tajam.

"Mungkin hanya perasaanku saja," gumamnya, mencoba mengusir keraguan dari pikirannya yang gelap.

Sinar samar matahari menyusup di antara dedaunan rimbun, menciptakan bayangan yang menjijikkan di sekelilingnya.

Dengan langkah hati-hati, dia menjelajahi sekitarnya, memeriksa setiap sudut tempat itu. Batu-batu di sepanjang jalannya menjadi perhatiannya, tangannya menyeleksi yang paling bulat dan tajam, sebagai senjata atau alat yang mungkin diperlukan.

Saat kembali ke telur, dia membentuk tumpukan batu-batu itu di dekatnya, sebuah semacam pertahanan yang seadanya.

Namun, keputusasaan merajalela; tak ada alat pengukur yang bisa membantu menyikapi situasi ini. Kekosongan pengetahuan itu menghantui dirinya.

Mata Ryuu terbelalak saat dia mendapati Tanaman Merambat Memanjat yang lebih banyak. Dengan cakar tajamnya, dia memotongnya, tenaga terkuras namun tekadnya tak goyah.

Batu paling tajam yang sebelumnya diharapkan menjadi alat, terbukti tak berguna. Ryuu kembali ke pepohonan, mengutuk ketidaksiapan dan mencari solusi.

Ketika cakarnya melukai tanaman merambat itu, ia berusaha menahan rasa sakitnya.

Di tengah desakan kebutuhan, Ryuu menemukan solusi dari tanaman merambat yang telah diubahnya menjadi tali-tali berguna. Meski jemari terasa sakit akibat usahanya, dia tak berhenti.

Memutar tali di sekitar tubuhnya, satu di pinggang, yang lain melingkar di lengan kirinya seperti gelang, menyiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi.

Namun, kebutuhan akan air menjadi prioritas. Dalam dunia yang keras ini, mencari cara untuk menyimpan air adalah hal vital. Mengingat orang-orang biasanya menggunakan kantung air dari kantung kemih hewan, Ryuu menyadari sulitnya untuk memperolehnya dari sisa-sisa mangsa monster. Sebuah opsi yang menjijikkan bagi dirinya.

Sementara mencari solusi, jejak pertempuran dengan Bebek monster yang sebelumnya menjadi penanda. Darah dan ranting patah menjadi saksi bisu dari pertarungan sengit yang terjadi sebelumnya.

Ryuu tercengang melihat sisa-sisa mayat monster Bebek yang sebelumnya telah dia kalahkan, sekarang telah lenyap tanpa jejak.

Hanya serpihan tulang dan mungkin usus yang tersisa, membuatnya tercengang. Sebuah ketakutan merayap di dalam dirinya, menyulut rasa tidak aman di tempat yang seharusnya sepi.

Monster yang lebih besar mungkin telah menjemput atau bahkan memakan sisa-sisa itu. Hatinya berdebar, tetapi hutan tetap sunyi, tidak ada tanda-tanda ancaman di sekelilingnya.

Seraya melihat sekeliling, kegelisahan memenuhi pikirannya, menciptakan kekhawatiran akan adanya monster tak dikenal yang mengintai dalam bayang-bayang pepohonan.

"Sepertinya kuharus berhati-hati," gumamnya, tatapan tajam menelusuri setiap sudut.

Namun, panas yang menyengat membuatnya semakin gugup. Dalam kekeringan yang membakar tenggorokannya, dia merasa terpojok.

"Sial, benar-benar panas!" desisnya dengan nada frustasi. Langkahnya terasa berat, rasa haus mulai mengintai. "Aku harus segera menemukan sungai atau mata air, atau aku akan mati konyol di sini!"

Saat dia melanjutkan perjalanannya mencari mata air, cahaya matahari yang semakin terik membuatnya semakin terdesak.

Pikirannya terus melayang pada keadaan mayat monster yang menghilang dengan tiba-tiba. Berapa lama waktu yang terlewati? Mungkin tujuh jam atau lebih, dia mencoba mengira-ngira seiring dengan panjang hari yang diharapkan sesuai musimnya.

Panas yang menyengat semakin menambah ketegangan di dalam dirinya. Keringat bercucuran di tubuhnya, menciptakan rasa tidak nyaman.

Dalam perjalanan yang panas dan menyengat, matahari memantulkan cahayanya di kejauhan, menunjukkan sedikit warna biru yang tak terbantahkan:

sungai. Ryuu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Yosh! Akhirnya, sungai!" serunya dengan penuh semangat, lalu melompat seketika.

Namun, kegembiraannya tidak membutakan kewaspadaannya. Dengan hati-hati, ia melangkah sambil memeriksa sekitarnya. Tidak ada monster yang terlihat, membuatnya merasa lega sejenak.

Menjelang sungai, matanya terus waspada, berharap tidak ada ancaman yang mengintai di balik bayangan pepohonan.

Tiba di sungai, di sekitar hilirnya, terdapat sekumpulan tapir kecil yang bergerombol di sana. Ryuu tidak melihat monster atau predator di antara binatang tersebut. Empat ekor tapir menatapnya dengan tenang ketika dia muncul dari dalam hutan.

Meski terlihat mengevaluasinya, tapir-tapir itu hanya melanjutkan kegiatan mereka tanpa terganggu oleh kehadirannya.

"Aha!" serunya dengan gembira, kemudian tanpa ragu, dia berlari menuju sungai dan melompat ke dalamnya, menyebabkan semburan air yang menyiram kawanan tapir.

Splash!!

"Segar sekali!!!" serunya, merasakan kesegaran air sungai yang mengalir mengelilingi tubuhnya.

Kawanan tapir yang terciprat hanya menatap sinis pada Ryuu, tapi kepeduliannya sudah hilang. Dalam dahaga yang tak tertahankan, dia menyegarkan diri dengan meminum air sungai sekaligus menikmati berenang sebentar.

Setelah puas, ia menghentikan aksinya, menyempatkan diri membersihkan tubuh humanoid serangganya yang baru dengan gender wanita.

Ketika matanya menatap tubuh barunya yang kini feminin, Ryuu masih terhanyut dalam perasaan yang campur aduk. Dalam kehidupannya sebelumnya sebagai manusia, postur tubuhnya memang gagah dengan tinggi di atas rata-rata, mungkin sekitar 192cm.

tubuh manusia sebelumnya yang besar tak lepas dari genetika ayahnya yang berasal dari Amerika, yang mempunyai postur tubuh tinggi.

Namun, saat ini, tubuhnya berubah drastis. Ryuu sudah menduga perubahan tersebut sejak awal, namun kenyataannya membuatnya depresi. Sekarang, ia bukan lagi sosok pria manusia, melainkan seorang monster serangga humanoid dengan gender wanita.

Tubuhnya berubah menjadi mungil, ramping, pinggul yang lumayan besar, dan dada yang menonjol seperti selayaknya wanita pada umumnya.

Tingginya sekarang dalam tubuh aneh ini mungkin hanya sekitar 150cm atau sedikit lebih tinggi tapi itu masih sebuah perkiraan, sebuah fakta yang mengguncang identitasnya. Ryuu terjebak dalam konflik batin yang tak terlukiskan, menghadapi kejutan dari perubahan yang dialaminya.

Sambil memyeka tubuh barunya, Ryuu tak bisa menahan frustrasi yang meluap.

"Aargg... masih sulit bagiku menerima kenyataan ini. Mengapa aku harus menjadi makhluk aneh dan pendek seperti ini?" desisnya, suaranya penuh dengan kekecewaan yang tak terbendung. Rasa depresi yang membelenggu hatinya semakin dalam.

Dengan langkah putus asa, ia mendesak kepalanya ke dalam sungai, hembusan udara yang keras menyelam bersamanya, menciptakan suara gelembung yang terdengar samar.

Air mengelilingi seluruh kepala hingga rambutnya yang panjang basah kuyup ketika ia akhirnya mengangkat kepalanya ke permukaan.

"Entahlah... Oh ya. ngomong-ngomong, aku memiliki sayap bukan? tapi mengapa tak bisa terbang?" gumamnya, memperhatikan sayap-sayap yang masih basah dan terlihat sulit untuk digerakkan.

Dalam keputusasaan yang memuncak, ia merenung sejenak.

"Entahlah... tapi Kurasa sudah cukup ," ucapnya dengan suara yang pasif. Dengan langkah tertatih, ia melangkah kembali ke daratan, membawa beban kebingungannya yang kian tak tertahankan.

Ukuran tubuh barunya membuatnya sulit menaksir tingginya tanpa titik perbandingan yang jelas. Ryuu merasa tingginya sebanding dengan seorang wanita pendek.

Namun, di tengah kebingungannya, pikirannya merajut kemungkinan bahwa ia mungkin belum sepenuhnya dewasa. Bisa jadi, meskipun memiliki sayap, ia belum mampu menggunakannya sepenuhnya.

Untuk menguji Teorinya, Ryuu memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia menuju salah satu pohon dan dengan hati-hati menggunakan cakarnya untuk memotong garis di kulit kayu setinggi kepalanya.

Tindakan ini, memungkinkan dirinya untuk memantau pertumbuhannya secara berkala, mencari tanda-tanda perkembangan yang mungkin muncul seiring waktu.

Dalam langkah-langkahnya, dia terus memikirkan hal-hal yang perlu dia lakukan. Saat berjalan, berbagai ide dan prioritas mulai terbentuk dalam pikirannya.

Ryuu melangkah di antara pepohonan, memilih dahan kering terbaik yang bisa ia temukan, melemparkannya beberapa meter dari telurnya. Di samping itu, ia juga mengumpulkan daun kering dan potongan kulit kayu yang dapat digunakan sebagai kayu bakar.

Namun, keahlian membuat api belum tersemat dalam dirinya. Meski ia memiliki prinsip dasar, ia kebingungan tanpa batu api yang memadai.

Mencari batu api di sekitarnya bukanlah pilihan, dan pengetahuan samar tentang membuat api dengan menghasilkan panas dari gesekan kayu lain menjadi satu-satunya opsi yang tersisa.

Terpopuler

Comments

Himawan Wawan

Himawan Wawan

lanjutkan update nya

2023-12-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!