“Bohong!” bentak Arumi sekuat suara. “Kalau memang kau peduli padaku, kau pasti tak akan meninggalkanku untuk mati! Akui saja, kau mendidikku jauh lebih keras daripada anak-anakmu supaya aku mati, ‘kan? Tapi tidak. Tanpa kauduga, aku malah jadi lebih kuat, lebih piawai dan lebih tangguh daripada anak-anakmu yang lain. Jadi, kau terus-menerus menyusun rencana busuk untuk menyingkirkanku, agar aibmu itu tak akan pernah terungkap.”
“Begini Arumi, aku minta maaf padamu! Waktu itu kacau sekali! Kukira kau sudah berada dalam kapal yang ikut melarikan diri!” Baru sekarang Begarwana mengatakannya. “Aku benar-benar panik dan kewalahan, harus menyelamatkan lima ribu jiwa. Perhatianku terpecah, mustahil aku memikirkan dirimu terus-menerus!”
“Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?”
“Karena aku terlalu angkuh untuk mengakui kesalahanku, apalagi di hadapan Prabu Narendra. Jadi, apakah kalian bersedia memaafkanku?” Begarwana menatap penuh harap pada Arumi dan Nyi Lara Sati.
“Eit, tungugu dulu!” Arumi mengacungkan jari telunjuknmya ke arah sang ayah yang takkan pernah ia akui itu. “Masih ada lagi. Kau sengaja ingin menangkapku bersama Nirya dan Sthira, menggiring kami bertiga ke Wulantra untuk menjalani hukuman mati. Bukankah ini yang kauinginkan sejak awal?”
Begarwana tersentak sejenak, lalu bicaranya terbata-bata seolah tengah mencari dalih yang pas, “B-bukan. Bukan begitu! Semula aku berniat melepaskanmu diam-diam di keraton nanti. Tapi, supaya ‘teman-teman’mu ini tak curiga dan mencelakakanmu...”
“Kau tahu aku takkan semudah itu celaka, apalagi andai kau membantuku, Begarwana,” sergah Arumi. “Tapi aku memang sudah menganggap mereka teman-temanku sejak Ratauka.”
“Nah, itulah masalahnya. Jadi aku terpaksa....”
“... membuatku terus mengira ayah kandungku telah mati. Dan memang ia telah mati, dan orang di depanku ini tak lebih dari seorang penjahat!”
Akhirnya segalanya kembali memperkokoh anggapan semula. Entah itu bohong atau tidak, Arumi sudah tak peduli lagi. Tak ada manusia yang lebih keji daripada ayah yang berusaha mencelakakan darah-dagingnya sendiri, dan orang itu adalah Begarwana.
“Tapi... aku tak pernah berniat...!” Begarwana tampak kehabisan kata-kata.
“Kau benar-benar keterlaluan, Begar!” tegur Lara, matanya menatap Begar setajam pedang. Sati lantas menghardik, “Kami sungguh menyesal telah menyelamatkanmu, memilihmu menjadi pendamping kami dan menjadi ayah bagi putri kami.”
Barganti Lara mengacungkan tongkatnya ke arah Begarwana. Ia lantas mendelik ke arah Arumi. “Nah, kemarilah, nak. Menjauhlah dari orang nista itu dan sambutlah ibumu ini.”
Luapan perasaan dalam sanubari Arumi tak tertahankan lagi. Ia seketika membenamkan dirinya dalam haribaan sang bunda. “Ibu...!”
Nyi Lara Sati menurunkan tongkatnya, balas memeluk putrinya. Air mata kedua wanita itu berderai, seakan mereka tak peduli lagi pada apapun di sekitarnya.
“Maafkan ibu nak,” kata Lara sehalus-halusnya. “Ibu terikat di tempat ini, dan kau tak bisa tinggal di sini, terpaksa...”
“Tak apa, bunda. Tak apa. Justru berkat pengorbanan ibulah aku masih hidup hingga saat ini. Mulai saat ini, aku akan selalu membela ibu di atas segalanya.”
“A-apa maksudnya ini?” Sthira yang bersama Nirya sedang menodongkan senjata pada Begarwana agar tak mencuri serang ternganga kebingungan.
“Yah, mau bilang apa lagi. Salah besar kalian membawa serta Arumi ke gunung ini. Kini ia akan menjaga ibunya, dan habislah kita!” sergah Begarwana, gerak-geriknya bagai banteng yang meronta minta dilepaskan dari belenggunya. “Ayo, kita harus bertindak selagi mereka lengah!”
Arumi yang sayup-sayup mendengarkan hasutan Begarwana itu melepas pelukannya pada sang ibu kandung dan bersiaga, kali ini dengan busur-panahnya. “Begarwana! Orang busuk sepertimu harus musnah dari dunia ini!” Bidikannya terarah tepat ke dahi si laksamana, namun sasaran itu agak terhalang tubuh Sthira.
Nirya berteriak, “Awas, Arumi! Ada Sthira!”
“Oh, lebih bagus lagi. Bagai membunuh dua burung dengan satu anak panah.” Arumi tersenyum licik.
Terperanjat, Sthira cepat-cepat berkelit, melepas todongannya pada Begarwana, begitu pula Nirya. Mungkin Arumi memang sengaja memberi kesempatan pada Nirya-Sthira menghindar, namun sudah jelas ia berniat memihak ibunya, juru kunci Gunung Megaswari.
“Jadi kau berbuah pikiran sekarang, Arumi? Bagaimana dengan amanat yang kita emban untuk menyelesaikan tugas mulia ini?” cecar Sthira.
Arumi menjawab, “Ni Lara Sati adalah ibuku, jadi sudah sewajarnya aku berpihak padanya. Kalian tentu paham, ‘kan?”
Nirya yang yatim-piatu mungkin tak paham, tapi Sthira ya.
Namun sebelum siapapun sempat bicara, anak panah Arumi terlanjur melesat. Secara bersamaan Begarwana bergerak ke satu sisi, tapi anak panah itu ternyata menuju ke arah yang ia tuju pula, seolah telah membaca gerakan itu. Terpaksa Begarwana mengangkat gadanya dan menangkis anak panah itu seadanya. Namun, kekuatan lesatan itu cukup membuat genggaman si pria besar pada gadanya nyaris lepas.
“Biar kau kulumpuhkan dulu baru paham, Arumi!” Begarwana lantas berlari maju sambil menyeret gadanya, siap diayunkan sekuat tenaga.
“Jangan coba-coba sentuh anak kami! Hadapi kami!” Dengan suara serak, Sati menyeruak dengan tongkat saktinya. Wanita “setengah tua, setengah muda” itu rupanya mampu mengimbangi kekuatan Begarwana yang bagai raksasa dengan pergerakan yang amat lincah, cepat dan terarah.
Untuk tiap satu serangan yang ditangkis Begarwana, Lara Sati memasukkan dua-tiga pukulan dan tusukan tongkat berkepala besi itu ke tubuh kekar lawan. Si pria besar meringis beberapa kali, namun ayunan gadanya tak melambat atau melemah.
Di sisi lain, Sthira mengambil insiatif dengan menghampiri patung manusia-kuda kristal merah. Lalu ia mulai membacoki kaki patung itu dengan goloknya, bagai kapak menebang pohon. Walau amat keras, serpihan-serpihan mulai beterbangan dari kristal gaib besar itu.
“Kunci Megaswari...!” Nyi Lara Sati tercekat saat melihat aksi Sthira itu, konsentrasinya pecah seketika. Memanfaatkan kesempatan itu, Begarwana menghantamkan gadanya pada punggung sang juru kunci hingga jatuh terkapar.
Arumi yang sedang dihadang Nirya berseru, “Ibu!” dan bergegas membantu bundanya. Namun kelebatan kerambit kembar berantai Nirya menghalanginya bagai dinding besar.
“Eit, hadapi aku dulu!” Nirya terus mencecar lawan dengan gerakan secepat angin.
Tak mau melayani Nirya, Arumi terus menghindar dan berlari-lari, mencari celah menerobos hadangan. Namun, segala persenjataan yang ia bawa itu malah membuat dirinya tak kunjung menemukan celah itu.
“Tak usah kuatir, Arumi!” seru sang juru kunci. “Ibu mampu menghadapi orang ini! Kau cegahlah Sthira meruntuhkan patung di panggung itu!”
“Ya, ibu!” Arumi lantas berputar separuh lingkaran. Nirya bergerak menyerang ke arah yang dituju Arumi, namun Arumi tiba-tiba malah berputar balik ke posisi semula.
“Hei!” Terkecoh, Nirya yang salah langkah ikut berbalik sambil menyabetkan rantai dengan kerambit di ujungnya.
Gilanya, Arumi malah berbalik lagi, menghantamkan keris besarnya untuk menerobos. Nirya hanya bisa menangkis sekenanya, dan Arumi melesat melewatinya. Tak peduli apakah sabetannya tadi melukai Nirya atau tidak, seluruh keberadaan Arumi hanya terpusat pada satu hal, menghentikan Sthira. Kerisnya terulur lurus, siap menamatkan si pembawa bencana dengan satu tusukan.
Namun, Sthira ternyata membaca gerakan jurus sederhana Arumi itu dan dengan mudah berkelit ke satu sisi. Arumi bergerak lebih gesit lagi, menghantam pinggang lawannya dnegan gagang busur.
Sthira terpukul mundur. Arumi kembali mengayunkan keris dan mengincar tenggorokan lawan. Di waktu yang amat tepat, salah satu kerambit Nirya terbang menghantam keris hingga arah tusukannya melenceng.
Nirya melancarkan serangan dengan tusukan kerambit keduanya. Arumi menangkis sekenanya dengan gagang busur. Alhasil tusukan senjata pusaka digdaya macam Kerambit Bayunara menorehkan lubang di permukaan kayu busur biasa itu.
“Minggir kau!” Geram, Arumi menghalau senjata Nirya. Ia kembali berbalik untuk menghentikan Sthira.
Namun Nirya kembali menghadangnya. “Sudah kubilang, lawanmu adalah aku!”
Kerambit Nirya berkelebat makin dan makin cepat. Lama-kelamaan, jangankan balas menyerang, menangkis serangan lawan saja Arumi mulai kewalahan. Terpaksa Arumi menjatuhkan busurnya dan berusaha mengimbangi kecepatan Nirya dengan ayunan kerisnya.
Melihat gelagat Arumi ini sebagai kesempatan, Nirya bergerak amat cepat bagai hembusan angin. Kerambitnyapun menyambar-nyambar, menebar sabit-sabit prana Angin Membelah Awan.
Arumi menangkis secepat mungkin, namun malangnya tubuhnya jadi bulan-bulanan sabit-sabit energi teramat tajam itu. Hanya zirah dan prana pelindunglah yang meredam sabetan-sabetan itu hingga menyayat hanya sebatas kulit.
Tak ayal, gadis Senopati Jayandra itu berteriak kesakitan.
Melengkapi deritanya, Arumi mendengar gemuruh benda besar yang tengah runtuh. Ia menoleh ke arah altar, wajahnya pucat seketika. Sthira ternyata berhasil memecahkan satu kaki depan dan dua kaki belakang patung manusia-kuda Kamaja, sehingga patung kristal raksasa itu kehilangan keseimbangan dan jatuh menyamping.
Kalau Sthira berhasil melubangi patung itu hingga merusak aksara segel gaib, letusan Gunung Megaswari takkan terhindarkan lagi. Inilah bencana ganda bagi Kerajaan Jayandra. Bagi Arumi saat itu, pemikiran Mpu Galahasin yang cenderung mendukung misi Sthira dan Nirya sudah tak masuk akal lagi. Karena itulah, Arumi memaksa diri bangkit berdiri, bersiap menyerang Sthira tanpa peduli lagi dengan hadangan Nirya.
Walau Arumi tahu, usahanya itu bakal makin sia-sia saja.
Sebelum kesia-siaan itu jadi nyata, tiba-tiba malah Nyi Lara Sati yang berlari ke arah patung kristal yang sudah rebah itu. Darah dari mulutnya terbang ke belakang punggungnya, tanda sebenarnya ia juga sedang di bawah angin dalam duelnya dengan Begarwana.
Begarwana tak cukup cepat menghalangi si juru kunci.
Sthira dan Nirya terkesiap, lalu melesat hendak menyerang wanita itu.
Arumilah yang paling terkejut. Ia bergerak ke arah sang ibu, namun terlambat.
“Kamaja, bangkitlah! Gunakan tubuhku ini!” Ni Lara Sati mengulurkan satu tangan, hendak menyentuh patung kristal Kamaja.
Tiba-tiba, patung kristal merah raksasa itu pecah berkeping-keping. Ajaib, serpihan-serpihan kristal itu beterbangan, semuanya menghunjam tubuh sang juru kunci tanpa ampun.
“Ibuu!” Histeris melihat nasib sang bunda, air mata Arumi berderai.
Darah menyembur dari mulut Lara Sati. Namun ia masih sempat memperingatkan putrinya. “Jangan mendekat, Arumi!” serunya.
“Ini kesempatan! Bunuh dia sekarang!” Begarwana menyerukan itu sambil maju mengayunkan gadanya, diikuti Sthira dan Nirya dengan mandau dan kerambit.
Seketika, tubuh Lara terbungkus semacam selaput berwarna merah darah. Begarwana, Sthira dan Nirya mencoba menyerang selaput itu, namun senjata-senjata mereka seakan terbenam dalam lumpur.
Mendadak, selaput merah itu pecah, meledak. Ketiga penyerang terlontar, mulut mereka mencipratkan sedikit darah. Hanya Arumi saja yang terpukul mundur selangkah.
Pemandangan selanjutnya lebih mencengangkan lagi. Di pusat ledakan tadi, tampak sosok yang sama besar dengan patung kristal raksasa tadi berjalan perlahan dari kepulan asap merah darah yang sebagian masih membara.
Saat sosok itu berhenti, tampak wujudnya sama persis seperti Kamaja, siluman wanita-kuda di tengah altar. Bedanya, kulit Kamaja hidup ini semerah darah, dengan urat-urat merah membara bagai magma memenuhi seluruh tubuhnya.
Keterangan Gambar: Referensi terdekat untuk Kamaja adalah ilustrasi "Boss Centaur Female" by Michael Anthony "Mictones" Gonzales.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wijaya Handaya
Man this is so fofiery ery!
2020-01-07
6