Beberapa hari sebelum terjadinya bencana, di Ringidatu, ibukota Swarnara…
Di usianya yang keenambelas, seorang gadis seperti Nirya seharusnya dipingit, diam di rumah dan dijodohkan dengan calon suaminya. Inilah salah satu aturan adat-istiadat yang berlaku di Kerajaan Swarnara, negeri pulau terluas kedua di Jazirah Antapada, Dunia Everna ini.
Ya, Nirya memang sering diam di rumahnya yang berbahan serba kayu dan beratap runcing dan cekung seperti tanduk kerbau ini. Bedanya, ia tak tampak dipingit. Betapa tidak, gadis yang gemar berpakaian hijau dan berselendang jingga itu hampir tiap hari muncul di pasar Kota Ringidatu, berbelanja bahan-bahan makanan dan segala keperluan lainnya.
“Aku tahu, seharusnya memang aku dipingit, bu,” kata Nirya, menanggapi celotehan si pedagang pasar sambil tersenyum manis. “Tapi aku ‘kan satu-satunya wanita di Perguruan Seni Beladiri Bayunara. Ibu tahu ‘kan, wanita lebih bisa diandalkan dalam urusan pasar dan dapur daripada laki-laki.”
Ibu penjaja sayur-mayur tertawa geli, mungkin teringat keluarganya sendiri. Lantas ia menambahkan, “Oh ya, andai kau tak tinggal di sana, kau pasti sudah dipingit, menikah, bahkan terlalu sibuk mengasuh anak sekarang. Seperti aku pula, mana sempat berlatih ilmu beladiri?”
“Tak apa bu, yang penting ‘jurus’ ibu memilihkan sayur-mayur sesegar ini jelas tak ada tandingannya.”
“Ssst, jangan keras-keras bicaranya, Dik Nirya. Nanti saingan-saingan di sebelah ibu tersinggung,” kelakar wanita berusia kira-kira tiga puluh tahun itu.
Nirya hanya tertawa sambil menerima sayur-mayur yang ia pesan, terbungkus dan terikat rapi dengan daun pisang. Ditambah buah-buahan dan daging secukupnya di jinjingan, gadis itu lantas melangkah cepat dan mulai lari.
Dengan amat lincah Nirya menyelinap di sela-sela kerumunan pengunjung pasar. “Permisi pak, maaf bu. Duh, hati-hati dik.”
Beberapa orang yang disalip menoleh dengan raut muka sebal, langsung mengurungkan niat menegur. Kebanyakan kembeli berlalu, seakan Nirya tadi hanya angin lalu. Segelintir orang yang tahu reputasi pendekar wanita berambut jingga sebahu ini malah senyum-senyum sendiri.
Pasalnya, Nirya terkenal ringan tangan, suka menolong dan membantu orang-orang baik-baik yang sedang dalam kesulitan. Dan jasa-jasanya menangkap penjahat-penjahat di Ringidatu membawa nama harum bagi Perguruan Bayunara tempatnya bernaung.
Seakan semesta mendukung tiap langkah Nirya ini, melewati jalan-jalan berliku dan gedung-gedung yang atapnya berujung runcing seperti tanduk kerbau. Konon, makin banyak ujung atap di suatu gedung atau rumah yang disebut “rumah gadang” itu, makin tinggi pula derajat, kedudukan dan status tuan rumahnya. Jadi tak heran rumah gadang paling besar dengan ujung-ujung atap paling banyak di suatu kota pasti adalah istana dan rumah adat.
Tampak pula puncak Gunung Barkajang dari pusat Kota Ringidatu berdiri teguh. Seolah menjadi penjaga sekaligus pengingat tentang suburnya tanah di wilayah sekitar gunung ini yang lambat-laun berkembang menjadi ibukota sebuah kerajaan besar. Kota makmur nan jaya, penghasil hasil bumi terbesar di Pulau Swarnara.
Sambil terus melangkah cepat, Nirya memusatkan perhatiannya pada rumah gadang berujung atap empat di ujung jalan. Namun, suara-suara bising menghentikan langkahnya. Firasat Nirya berkata, saat ini sedang terjadi sebuah pertarungan yang amat sengit. Ia memutuskan untuk pasang telinga dulu dan mendengarkan dengan seksama.
Tiba-tiba Nirya terkesiap, matanya terbelalak. Sambil menggumamkan kata, “G-guru!” ia menjatuhkan barang-barang belanjaannya, menghunus sepasang kerambit dan berlari kencang ke rumah perguruan yang juga adalah tempat tinggalnya.
Tiba di ambang pintu, Nirya ternganga seakan seribu kerambit menghunjam jantungnya. Di depan matanya, tampak beberapa laki-laki mengerumuni sesuatu atau seseorang. Yang mengenaskan, mereka semua sedang berdiri di atas kubangan darah.
Tak sengaja Nirya terpekik. Semua wajah sontak menoleh dan semua mata tertuju pada gadis itu. Pekikan Nirya lenyap seketika, berganti tatapan ngeri. Ia kenal orang-orang yang terkapar berdarah-darah di lantai dan orang-orang yang berkerumun itu. Mereka semua.
Para murid Perguruan Kerambit Bayunara.
Tapi, bukankah seharusnya mereka kemari untuk berlatih? Mengapa malah saling bantai?
Jawaban untuk Nirya datang dari seorang pria berkumis yang menyeruak dari kerumunan. “Wah, wah, adik kita Nirya sudah pulang. Bagaimana kalau kita kirim saja dia sekalian untuk menemani Guru Panigara?”
Mengenali pria yang selalu berpakaian rapi itu, Nirya berseru, “A-apa maksudmu… K-Kak Badar? Bukankah kakak sudah dikeluarkan dari perguruan?”
“Oh, jadi karena guru mengusirku, aku jadi tak punya urusan sama sekali di sini lagi, begitu?” Nada bicara dan wajah Badar tak terkesan beringas. Mungkin inilah yang terjadi saat seseorang telah kehilangan nurani dan jati dirinya, berubah menjadi pembunuh berdarah dingin.
“Guru Panigaralah yang berhak menentukan itu! Mana guru!? Guru!”
“Guru di sini, adik,” ujar Badar sambil menyingkir ke samping.
Mata Nirya terbelalak, wajahnya pucat seketika. Tepat di hadapannya, tampak sang guru terduduk dan tertunduk. Tubuh pria separuh baya itu tersandar di dinding kayu, tangannya terkulai. Yang mengenaskan, tampak darah merah seakan mengecat dinding dan menggenangi lantai di bawah Panigara. Darah itu mengalir dari lebih seratus luka tusukan kerambit di sekujur tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu.
“Guruu!” Nirya menjerit histeris. “K-kau, Badar… kalian semua binatang! Guru telah memberi kalian ilmu, tapi kalian malah membalasnya dengan tikaman khianat! Pantaskah!?”
“Oh, tentu pantas!” sahut Badar tak kalah keras. “Panigara hanya memberi kami ilmu saja, namun menghambat tujuan kami yang lain.”
“T-tujuan apa?”
“Jangan pura-pura tak tahu. Aku pernah mengajak saudara-saudara seperguruan untuk ikut berperang, mendukung raja kita, Tanakara. Melalap negeri-negeri lainnya dan mempersatukan Antapada, mengakhiri perang antarpulau yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa ini. Tapi melarang keras. Katanya, ilmu perguruan pantang digunakan untuk mengejar ambisi pribadi atau pihak tertentu.”
Ya, kenangan Nirya kembali terbit. Waktu itu, Nirya menolak ketika diajak melarikan diri dari perguruan. Malah gadis itu mengadukan ulah Badar pada sang guru, membongkar rencananya. Akibatnya, Badar diusir dari perguruan dan sendirian mengabdi pada Raja Tanakara sebagai pembunuh gelap dan mata-mata.
Sungguh tak diduga, Badar nekad kembali ke perguruan dan menggunakan cara keji. Dengan tewasnya sang guru dan para murid yang menentangnya, ia bebas merekrut murid-murid pendukungnya.
Badar meneruskan, “Ya, Nirya, kau tahu ujung ceritany akini. Jadi, kau akan duduk di samping gurumu dan berdarah sampai mati dalam rumah gadang yang terbakar habis. Inilah penutup kisah yang sempurna. Sekalian kalian jadi tumbal selamatan bagi perjuangan para Pendekar Bayunara mempersatukan Antapada.”
“Itu takkan terjadi! Kau harus bayar hutang darah dan pengkhianatanmu ini, Badar!” Sambil mengatakannya, Nirya menggenggam erat sepasang kerambit yang terhubung dengan seutas rantai, lalu menerjang maju. Ia berharap membasmi si biang khianat dengan sekali tikam.
Masuk jarak serang, Nirya mengayunkan sepasang kerambitnya dengan gerakan seperti mencungkil. Namun tiba-tiba dua bilah kerambit lain menangkis serangan gadis itu. Ternyata yang melakukannya adalah dua murid Bayunara.
Seakan tak memberi kesempatan lawan bernapas, dua murid lainnya menyabetkan kerambit-kerambit mereka ke arah perut Nirya. Dengan refleks yang amat terlatih, gadis itu beringsut mundur. Namun ujung-ujung kerambit sempat menggores baju dan kulitnya.
Nirya hanya bisa meringis menahan nyeri. Lantas gelombang tusukan-sabetan berikut menerpa dari kiri dan kanannya. Tak habis akal, Nirya menjatuhkan dirinya hingga nyaris rebah di lantai. Lalu kakinya terayun, menyapu kaki salah satu penyerang hingga tersandung. Alhasil, dua murid murtad itu saling bertabrakan, saling menikamkan kerambit di tubuh satu sama lain.
“Ando! Janu!” teriak Badar, seolah berduka kehilangan kedua pendukungnya itu. “Saudara-saudara, serang murid manja, pengadu sok suci itu bersama-sama!”
“Ya!” Bagai sekelompok serigala buas yang baru terlepas dari belenggu, Badar dan keempat pria pengkhianat mengepung Nirya dan menyerangnya dari segala arah.
Walau dianggap murid paling berbakat dan satu-satunya yang menguasai kerambit kembar berantai, tak ayal Nirya kewalahan dikeroyok seperti ini. Guru Panigara saja yang berilmu paling tinggi tewas, apalagi gadis kurang pengalaman ini.
Mati-matian Nirya melawan. Ia memutar-mutar rantai berujung kerambitnya bagai angin puyuh, mencoba melepaskan diri dari kepungan. Ujung bilah berkait Nirya sempat menancap di tenggorokan salah seorang murid. Namun Badar malah memanfaatkan kesempatan itu, menyepak pelipis kepala Nirya keras-keras dengan ujung kaki sarat tenaga dalam.
Nirya roboh di lantai, tak mampu bangkit lagi. Nyawanya bagai lilin sedang ditiup, apinya bakal padam tiap saat. Tidak, ia tak mau mati konyol di sini. Namun sandal Badar telah lebih dulu bertengger di pipinya. “Ringkus dan ikat dia!”
Para murid lainnya dengan sigap mengikat tubuh Nirya erat-erat dengan tambang yang cepat-cepat diambil dari gudang. Lalu tubuh gadis itu didudukkan bersebelahan dengan jenazah gurunya.
Di ranah antara sadar dan tidak, Nirya masih dapat melihat wajah si pendekar berkumis tipis menatapnya dengan ekspresi menyebalkan, penuh kemenangan.
“I-inikah pendekar kerambit yang jantan dan ksatria...? Beraninya... main keroyok saja!” sergah Nirya, suaranya bagai **** sesuatu.
“Kami ini bakal prajurit, dan dalam perang segalanya dihalalkan,” jawab Badar dengan amat santai. “Nah, karena aku ini pemurah, aku tak membunuhmu, melainkan memberimu tendangan penuh cinta.” Telapak kaki Badar lantas “mencium” pipi gadis itu.
Para murid murtad lain tertawa melihatnya.
“Masih ada satu hadiah lagi, karena paras cantikmu telah menghiburku selama hari-hari beratku di ‘penjara’ ini. Kau akan menemani gurumu di tengah api yang memanggang seluruh rumah gadang ini. Bagaimana, ini cara yang indah untuk menghadap Sang Mahesa, bukan?”
Darah Nirya menggelegak, kesadarannya pulih. “Biadab! Terkutuk kalian semua!” Gadis itu berusaha bangkit, namun sia-sia. Malah sekarang penglihatannya mulai buram.
“Berhentilah berteriak! Nyanyikan saja lagu kematianmu!” Seorang murid meninju rahang Nirya hingga wajahnya makin berdarah dan memar.
Di sudut lain, para murid menumpahkan seluruh persediaan minyak di rumah itu ke seluruh lantai kayu ruang latihan ini. Sama sekali tak ada celah untuk melarikan diri – andai Nirya bisa melakukannya.
Badar lantas menghampiri Nirya, lalu menyentuh gadis itu dengan ujung jarinya. “Sayang sekali, bunga secantik ini tak sempat dipetik karena amat berduri. Sayang bila harus terbakar hingga tanpa sisa.”
Nirya berteriak-teriak menantang, “Cih! Lebih baik hangus daripada dipetik serigala-serigala bejad seperti kalian! Buka ikatanku, kita tarung satu lawan satu kalau kau jantan, Badar!”
“Sudah tahu kami ini serigala, tapi kami malah dikekang! Katakan itu lagi pada guru saat kau menyusulnya di akhirat! Selamat tinggal, Nirya!” Sambil mengatakannya, Badar berdiri menjauh, lalu melemparkan obor membara ke genangan minyak di depannya.
Para murid lainnyapun menyulut dan melemparkan obor masing-masing ke tiap sudut rumah serba kayu itu. Lantas seluruh sisa kelompok Badar berhamburan keluar sambil tertawa-tawa puas.
Dalam keadaan terikat, Nirya hanya bisa berteriak-teriak kalap, meminta tolong. Siapa tahu ada orang yang lewat dan melihat kebakaran ini, lalu membawa pertolongan.
Namun, menit demi menit berlalu, tak ada seorangpun yang datang. Api sudah menjalari dinding, membakar mayat-mayat di lantai, terus ke tempat Nirya duduk di sebelah jenazah gurunya. Teriakan-teriakan minta tolong seketika berubah menjadi lolongan putus asa. Nirya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, namun ikatannya tak kunjung kendur.
Akhirnya, Nirya berhenti berteriak, napasnya makin sesak kekurangan udara. Mata jeli gadis itu makin sayu, dengan pandangan mulai kabur ia menatap sang guru.
“Maafkan aku, Guru Panigara,” ujar Nirya dengan suara amat serak dan air mata bercucuran. “Aku terlalu gegabah. Seharusnya aku lari saja, bukan menantang murid-murid murtad itu.”
Tentu saja sang mendiang tak menjawab. Namun anehnya, tubuh jenazah pria beruban dan penuh darah itu condong ke samping dan jatuh tepat di antara muridnya dan jilatan lidah-lidah api membara, seakan menjadi dinding pelindung. Api lantas menjalari tubuh sang guru yang masih basah oleh darah itu.
Tapi ini hanya penundaan saja, karena kira-kira semenit kemudian punggung Nirya mulai kepanasan dan nyeri, tersentuh api dari dinding.
“Sang Mahesa, bila ini kehendakmu, aku siap menghadapmu.”
Di mata Nirya, kobaran api, dinding, segala sesuatunya tak jelas bentuknya lagi. Segala warna bercampur, hingga menyatu menjadi putih.
Namun, sebelum segala yang putih menjadi hitam, sebentuk kekuatan menarik tangan dan tubuh Nirya dengan satu entakan keras. Lalu tubuh gadis itu seakan terbawa angin badai.
Lalu, Nirya tak merasakan apa-apa lagi.
Keterangan Gambar: Kota Seribu Rumah Gadang - referensi kota ala Padang untuk Ibukota Swarnara, Ringidatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Indraqilasyamil
keren banget kak lanjut
2020-12-08
1
chrysander
keren..
2020-12-08
1
chrysander
bagus kak.. penjabaran yang nyaris sempurna..
2020-12-08
1