Sebagai warga Ringidatu dan seorang pendekar, wajar saja bila Nirya sering bepergian ke Gunung Barkajang untuk latihan, menempa fisik dan daya juangnya. Ia bahkan adalah salah satu dari sedikit sekali orang yang pernah mendaki gunung berapi itu, bahkan sampai ke puncaknya.
Bahkan bisa dikata, seringnya Nirya mendaki Barkajang membuat dia mengenal gunung itu seperti rumahnya sendiri. Karena itulah Nirya berhak mewarisi kerambit kembar berantai, alat pendaki gunung yang sangat berguna dan sangat cocok bagi sosok selincah dirinya. Karena itu pulalah Nirya menjadi pemandu dalam perjalanannya kali ini, di pagi nan cerah ini.
Namun, sepanjang jalan jantung gadis berambut jingga itu tak hentinya berdegup. Mungkin itu karena rekan seperjalanannya, Sthira sungguh gagah, rupawan dan menawan. Mungkin karena orang yang dipandunya bakal membawa bencana di Swarnara, namun Nirya percaya Sthira akan jadi juru selamat seluruh Antapada lewat “pengorbanan” ini. Mungkin pula karena kedua sebab di atas.
“Nirya, apa kau yakin ini jalur yang benar ke kediaman juru kunci Gunung Barkajang?” tanya Sthira tiba-tiba, membuyarkan lamunan Nirya.
Tersenyum lugu, Nirya menjawab, “Eeh, ya, aku tahu persis, Sthira. Tenang saja, Tetua Rahli Marus adalah orang yang ramah dan pengertian, walau pemikirannya masih kolot. Siapa tahu, bila kita berhasil membujuknya, beliau akan menyerahkan Kunci Gunung Barkajang dengan suka rela.”
“Kalau beliau menolak?”
“Ngg, kurasa banyak cara yang bisa kita coba. Ia seorang petapa yang tak berkeluarga, sebatang kara. Karena aku sering mengunjungi beliau, beliau menganggapku putrinya sendiri.”
Sthira mengerutkan dahi. “Ya, kuharap kau benar, Nirya.”
Langkah-langkah kaki Sthira dan Nirya terus menapaki jalan melintasi hutan lebat. Lereng Gunung Barkajang telah tampak di kejauhan, di sela-sela rerimbunan. Pastinya mereka sudah makin dekat ke tempat tujuan.
Tiba-tiba Nirya berbisik ke Sthira, “Hati-hati, kurasa kita tengah diawasi.” Sang rekan menurut, dan langkah kaki mereka berdua melambat.
Nirya menegadah, melayangkan pandangan ke kiri-kanan. Tampak beberapa makhluk bermunculan dari tempat-tempat persembunyian mereka di cabang-cabang pohon.
Mengenali sosok-sosok kecil itu, Nirya kembali berbisik, “Rupanya mereka kerlawar, kera-kera bersayap kelelawar yang tinggal di hutan ini. Aneh, banyak sekali kerlawar yang muncul, padahal biasanya mereka hanya bergerak dalam kelompok-kelompok kecil.”
Sthira menanggapi kata-kata Nirya itu dengan menghunus golok besarnya. “Itu berarti mereka sedang tak bersahabat dan akan menyerang kita kapan saja. Siapkan senjatamu, Nirya.”
“T-tapi semua kerlawar di hutan ini adalah temanku, mustahil mereka...!”
“Kau masih menganggap mereka teman, tapi mereka tidak!” Sthira menegaskan maksudnya. “Hunus kerambitmu, atau kau pasti mati!”
Haruskah? Nirya memegang gagang sepasang kerambitnya erat-erat, berharap ia tak perlu menggunakannya pada “teman-teman”-nya ini. Mungkinkah naluri para kerlawar itu merasakan niat yang terkandung dalam pikiran Nirya dan Sthira? Bagaimanapun juga, Gunung Barkajang adalah habitat kerlawar, dan ancaman apapun terhadap habitat itu pasti memicu perlawanan dalam benak hewani mereka.
Maka Nirya membatin, Maafkan aku, teman-teman. Demi kebaikan seluruh Antapada, terpaksa kalian harus berkorban. Benar saja, para kerlawar berteriak-teriak ribut sambil memukul-mukul dada dan melompat-lompat, penuh ancaman.
Terbit dorongan amat kuat dari dalam diri Nirya untuk menahan langkah Sthira, membujuknya agar membatalkan saja seluruh misi nekad ini. Namun sang rekan malah maju, mengayun-ayunkan goloknya dan memancarkan prana petir sebagai ancaman balik. Apapun tujuan misi Sthira, siapapun yang berani menghalanginya pasti akan ia terabas.
Reaksi para hewan jelas sudah. Ditantang seperti itu, mereka mengepakkan sayap-sayap kelelawar, lalu berlompatan dan beterbangan dari pohon, mengepung kedua manusia di tanah.
“Sthira, hindari saja, jangan bunuh mereka!” Menepati kata-katanya, Nirya berlompatan amat lincah dari pohon ke pohon, tiap gerakan gadis itu amat mirip dengan para kerlawar yang secara tak langsung adalah gurunya.
Sebaliknya, gerakan Sthira walaupun cepat namun tak terlalu gesit. “Kuusahakan, tapi aku tak berani jamin!” Ia berkelit dari terjangan rahang penuh deretan taring tajam seekor kerlawar. Namun sambaran cakar kerlawar kedua menggores pipinya, nyaris menambahkan bekas luka baru di samping tato loreng harimaunya.
Sthira bereaksi dengan memutar tubuh, tak sengaja mengayunkan goloknya. Bilah golok yang mengenai perut kerlawar yang mencakar Sthira tadi terus melesat tanpa ampun. Si hewan malang jatuh ke tanah dengan tubuh koyak, hampir terpisah dua.
Mendengar raungan-raungan buas para kerlawar lain, Nirya berdecak kesal. Terpaksa, ia berayun ke satu pohon sambil menebas dua penyerang sekaligus, mengaitkan ujung kerambit ke cabang salah satu pohon lalu berayun ke atas cabang pohon itu sambil menendang satu kerlawar lain sampai terpental.
Para kerlawar jelas tak memberi musuh mereka kesempatan mengatur napas. Baru saja kaki-kaki Nirya menjejak cabang, sedikitnya tiga kerlawar datang menyambar dari tiga arah. Geligi Nirya gemertak sarat sesal, teriring kedua lengannya yang memainkan rantai kerambit hingga berputar seperti sepasang roda. Tak hanya mematahkan serangan langsung lawan, bilah kerambit membuat tubuh dan darah ketiga kerlawar berjatuhan dan menetes ke arah tanah bagai hujan.
Bermandikan tetes-tetes merah darah “mantan kawan-kawan”-nya, Nirya terpaksa terus maju. Para kerlawar terus mengincar dan menerjangnya, dan Nirya tak terlalu kesulitan menghindari mereka.
Saat pandangan mata Nirya tertuju ke bawah, ia terkesiap melihat Sthira sedang kewalahan, dikepung sedikitnya lima kerlawar yang menghalangi lari dan pandangan matanya. Ayunan golok besarnya yang berat jadi tampak lebih lamban, sulit sekali mengenai satupun hewan penerbang itu, seperti berusaha menepuk lalat dengan tangan kosong. Sebaliknya, sambaran demi sambaran musuh tak menorehkan luka berarti berkat tubuh si pendekar yang terlindung prana, namun bisa jadi akan datang satu serangan telak mengancam jiwa kapan saja.
Sambil meraung, seekor kerlawar berhasil menggigit bahu Sthira dengan taring-taringnya yang sepanjang dan setajam belati. Walau tak menembus sampai ke daging, luka akibat gigitan itu cukup membuat Sthira berteriak kesakitan.
Memanfaatkan kesempatan emas, si kerlawar menggigit lebih kuat, membenamkan taringnya sedalam-dalamnya untuk menghabisi si manusia. Tiba-tiba aksinya terhenti, seiring tertancapnya bilah kerambit di punggung kerlawar itu.
Sthira menoleh ke belakang dan melihat Nirya di ujung rantai terjauh. Dengan dua tangan pria itu membuka gigitan di bahunya, lantas merobek rahang si kerlawar hingga ke tenggorokan dan melontarkan bangkai itu ke satu arah. Ia lantas lari ke arah Nirya, lalu tersenyum penuh rasa terima kasih pada pemandu sekaligus penolongnya itu. Namun wajah Nirya tetap muram, tak membalasnya sama sekali. Wajar saja, masih banyak kerlawar pengepung yang amat merepotkan ini.
Nirya sendiri kini bergerak di tanah, sibuk membuka jalan bagi rekannya. Lima kerlawar yang jadi korban serangan dua manusia itu sudah cukup membuat semua kera bersayap lain yang masih hidup beterbangan pergi.
“Haha, kekuatan kita berdua membuat mereka ketakutan!” seru Sthira sambil tersenyum puas. “Tak salah aku mengajakmu, Nirya! Kau memang petarung yang handal!”
Sebaliknya, Nirya terus berlari sambil berteriak, “Salah! Mereka berkumpul untuk melakukan serangan akhir! Lihat!”
Tiba-tiba, puluhan kerlawar terbang bergerombol seakan menyatu, menyerbu ke arah Sthira dan Nirya bagai angin badai. Wajah Nirya pucat-pasi merasakan tekanan yang lebih dahsyat dari para murid pengkhianat Perguruan Bayunara ini.
Seketika itu pula, Nirya mendengar seruan Sthira, “Tiarap, Niryaa!”
Tanpa pikir panjang, si gadis berambut jingga bertiarap dan berguling ke samping. Yang ia lihat selanjutnya adalah Sthira yang menerjang maju bagai terbang dengan pedang teracung lurus, condong ke arah atas. Seluruh tubuh dan pedangnya seakan terbungkus prana petir yang berbentuk seperti ular naga putih-kebiruan yang berkilat-kilat menyilaukan.
Kedua kekuatan dahsyat lantas bertumbukan, menebar dentuman yang memekakkan telinga. Ketika segala kelebatan aksi dan imbasnya itu reda dan buyar, tampak hanya Sthira yang masih berdiri tegak, kedua tangannya masih terulur lurus menggenggam pedang. Tubuhnya tampak berasap, rupanya itu sisa prana dan daya serangan lawan, serta darah yang menguap. Tak tahan lagi, Sthira jatuh terduduk.
Nirya berdiri dan menghampiri rekannya. Tampak sekujur tubuh Sthira penuh luka-luka sayatan, pakaiannya robek-robek. Dengan sigap Nirya mengeluarkan salep penyembuh luka dan mengoleskannya pada luka-luka rekannya itu.
“Terima kasih, Nirya,” kata Sthira setelah Nirya tuntas mengobatinya. Pemuda itu sempat memulihkan diri sebentar dengan prana dari dalam tubuhnya.
Lantas si pemuda perkasa berdiri, “Ayo, kita jalan terus.”
“Tapi kita harus memulihkan diri setelah pertarungan tadi...!”
Protes Nirya itu ditanggapi Sthira dengan gelengan kepala. “Aku masih merasa ada kekuatan besar tengah mengawasi kita. Dan kurasa ia akan menyerang saat kita lengah. Ayo!”
Sthira lantas berjalan sambil menggandeng pergelangan tangan Nirya. Pipi si gadis polos itu sempat bersemu merah saat ia saling bersentuhan tangan dengan pemuda gagah itu. Namun saat melayangkan pandangan sekeliling, seluruh tubuh Nirya terasa ngilu.
Betapa tidak, bangkai-bangkai kerlawar remuk tampak bertebaran di tanah. Mereka hewan-hewan yang pernah menjadi teman lalu tiba-tiba berubah menjadi musuh, bahkan mati demi membunuh kedua “perusak” itu. Makin dipikirkan, hati Nirya makin terasuki rasa ragu yang menyesakkan nurani.
Berapa banyak lagi nyawa dan hayat yang harus dikorbankan demi terwujudnya satu kata, perdamaian?
Apalagi ketika tiba di lereng Gunung Barkajang, kedatangan Nirya dan Sthira disambut si pria tua berambut dan berjanggut putih. Rahli Marus si pertapa menatap nyalang kedua anak muda itu bagai serigala mengancam mangsanya.
“Tak usah basa-basi, Nirya. Aku tahu kau dan rekanmu itu kemari membawa niat yang sangat buruk,” sergah Rahli dengan suara serak namun cukup keras.
Nirya menyanggah, “Tetua tak mengerti, dengarkanlah dulu penjelasan kami...”
“Percuma! Semulia apapun tujuan kalian, pantang membawa bencana dan menghilangkan banyak nyawa! Para sobat kerlawar telah mencoba mengusir dan mengancam kalian, tapi kalian malah terus maju, bahkan membunuh mereka! Coba pikir, para satwa dan siluman saja tak setuju dengan rencana kalian yang salah kaprah itu. Jadi karena kalian sudah menemuiku, jawabanku sudah pasti kalian harus mati!”
Sambil mengatakan itu, tubuh kurus Rahli Marus perlahan membesar dan berubah bentuk... ke wujud sang monster pelindung Gunung Barkajang yaitu Gajahmina.
“Jangan melamun, Nirya! Kita terpaksa harus melumpuhkan ‘temanmu’ itu dan merebut Kunci Gunung Barkajang darinya!” seru Sthira sambil pasang kuda-kuda.
“Maafkan aku, tetua!” Akhirnya Nirya membulatkan tekad, menggenggam kerambit kembar berantainya erat-erat.
Keterangan gambar: Gajah Mina
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Indraqilasyamil
semangat kak masit stay aku
2020-12-08
1
yamyam thefat
10k lagi ke titik 100k
2020-05-05
3