Rencana

Malam ini Benny kembali tidak pulang ke rumah dan menghabiskan malamnya bersama teman-temannya dan wanita malam. Ia bahkan pulang saat matahari sudah tinggi. Untung saja kedua orangtuanya sedang tidak berada di rumah. Hingga perbuatannya itu tidak diketahui oleh mereka. Sebab jika mereka tahu maka ayahnya pasti akan murka. Apa lagi jika pak Handi tahu jika Benny kembali menggunakan jasa wanita malam. Sebab hal ini bisa mencoreng nama baiknya yang baru saja menjadi wakil rakyat. Saat sampai di rumah, Benny tidak menemukan istrinya yang membuat Benny kembali naik darah. Ia menduga jika Nami pergi untuk mengurus perceraian keduanya. Hal ini tentu saja tidak akan ia biarkan.

Saat Nami pulang, Benny sudah menunggu wanita itu di dalam kamar. Nami yang tidak memiliki firasat apa pun langsung kaget dan ketakutan saat tiba-tiba saja Benny sudah berada di dalam kamarnya. Ya... meski Nami sudah tinggal lagi di rumah orangtua Benny, tapi ia dan Benny tidak satu kamar. Saat ini melihat Benny yang sudah menunggunya di dalam kamar membuat Nami merasakan firasat buruk.

"Dari mana saja kamu?" tanya Benny ketus.

"Bukan urusan kamu mas..." sahut Nami berani.

"Apa kamu pergi ke untuk mendaftarkan perceraian kita hah?"

"Itu kamu tahu mas... jadi untuk apa bertanya lagi" tanya Nami berani.

"Kamu sudah makin berani ya!" seru Benny yang emosi.

Ia langsung mendekati Nami dan menarik rambut wanita itu dengan keras.

"Arrggh!" seru Nami kesakitan.

Namun begitu wanita itu sama sekali tidak meminta Benny untuk menghentikan perbuatannya. Ia hanya menahan tangan Benny agar tidak terus menarik rambutnya. Ia juga berusaha untuk menahan rasa sakit dikepalanya dan tidak lagi mengeluarkan suara kesakitan yang membuat Benny semakin marah. Padahal di dalam hatinya Benny berharap jika Nami akan berteriak mohon ampun padanya saat ia kembali berlaku kasar pada wanita itu. Tapi apa yang ia lihat adalah betapa Nami berusaha untuk kuat dan tidak menunjukkan rasa sakit dan lemahnya dihadapan Benny. Hal ini membuat Benny yang rasa mabuknya masih belum hilang sepenuhnya menjadi semakin emosi. Pria itu semakin mengeraskan tarikannya pada rambut Nami membuat wanita itu sampai meneteskan air matanya karena menahan kesakitannya.

Nami merasakan kulit kepalanya seakan akan terlepas dari kepalanya. Tapi wanita itu tetap bungkam dan tetap tidak mengeluarkan suara meski rasa sakit yang dirasakannya teramat sangat.

Sreet!

Braak!

Benny yang semakin marah akhirnya melepaskan tarikannya pada rambut Nami lalu mendorong tubuh wanita itu ke arah belakang. Hal itu mengakibatkan tubuh Nami langsung membentur meja rias yang ada di samping tempat tidur Nami. Wanita itu meringis menahan rasa sakit yang ia rasa akibat benturan yang menimpanya. Sepertinya pungungnya terluka akibat terbentur meja rias yang terbuat dari kayu jati kuno. Namun Nami sama sekali tidak mengeluarkan suaranya meski hanya erangan kecil.

"Jangan fikir kamu akan bisa lepas dariku... camkan itu!" seru Benny tanpa rasa iba saat melihat Nami yang tergeletak di lantai samping tempat tidur.

Lalu Benny langsung pergi meninggalkan Nami di dalam kamar tanpa berniat membantu wanita itu terlebih dahulu. Setelah kepergian Benny, Nami tidak segera beranjak dari tempatnya akibat rasa sakit di punggungnya. Sepertinya punggungnya memar, dan ada kemungkinan jika ia menderita luka dalam akibat kerasnya benturan tadi. Walau begitu Nami dalam keadaan sadar. Setelah beberapa menit kemudian, Nami mencoba untuk bangkit dan naik ke atas tempat tidur lalu membaringkan dirinya disana. Nami mengerjapkan matanya perlahan untuk menghalau air mata yang kini berada di sudut kelopak matanya. Meski berusaha kuat namun Nami ternyata tidak sekuat itu untuk tidak menangis saat mengalami kekerasan pada dirinya.

Nami sedikit menyesali sikap bodohnya tadi yang melawan Benny sehingga membuat suaminya itu menjadi kalap. Namun ia juga tidak menyesal karena sudah berani melawan pria itu meski akhirnya ia tetap mendapatkan kekerasan dari Benny. Tak ingin apa yang terjadi padanya saat ini sia-sia, Nami kembali bangkit dari tempat tidur untuk mencari ponselnya. Ya... ia berniat memfoto luka pada dirinya untuk dijadikan alat bukti saat sidang perceraiannya nanti. Nami bukan wanita bodoh, ia tahu hal-hal seperti ini karena ia sebenarnya adalah wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas meski tidak memiliki pendidikan tinggi. Nami menemukan tas berisi dompet dan ponselnya yang tadi dibawanya tergeletak di kaki tempat tidur.

Dengan sekuat tenaga Nami mengambil ponselnya dan mencoba memfoto luka yang terlihat jelas pada kamera ponselnya. Ternyata bukan hanya dilehernya yang terdapat bekas cekikan. Bibirnya pun terluka dan mengeluarkan darah karena tadi Benny juga sempat menamparnya. Nami meraba punggung bagian kanannya dan merasakan nyeri. Ia dapat menduga jika disana pasti juga terdapat lebam. Perlahan Nami membuka pakaian bagian atasnya dan berdiri didepan cermin kamarnya. Sambil membelakangi kaca ia mencoba memfoto bagian punggungnya. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya ia pun mendapatkan hasil jepretan yang memuaskan. Lebam di punggungnya tampak jelas dan lebar.

Sebenarnya Nami ingin memeriksakan lebam itu di rumah sakit. Namun ia sadar ia tidak akan mungkin bisa keluar dari rumah mertuanya itu setelah kemarahan Benny tadi. Untuk kali ini cukup bukti fotonya saja. Jika ada kesempatan ia akan mencoba pergi ke rumah sakit untuk melakukan visum. Nami bertekad akan meninggalkan Benny dan memulai hidup baru demi almarhum kedua orangtua dan juga putrinya Rani. Demi mereka yang ia sayangi ia akan berusaha untuk hidup bahagia agar kematian mereka tidak sia-sia.

Sementara di kediaman David saat ini kehidupan mereka berangsur normal meski rasa sedih karena kehilangan Hana masih terasa. Apa lagi sikap kedua anak almarhumah terlihat biasa dan tidak terpengaruh membuat para orang dewasa semakin cepat berusaha untuk bangkit setelah kematian Hana. Mereka tidak tahu saja jika setiap malam Hana selalu datang menemui kedua buah hatinya. Ia sengaja menampakkan diri saat malam agar kedua buah hatinya belajar untuk mandiri tanpa kehadirannya setiap saat. Meski begitu ia tetap masih mengawasi keduanya meski tak kasat mata.

Hari ini mama Alin sudah mendapatkan pengasuh untuk Raven. Meski mama Alin mengurusi cucunya itu sendiri setelah kematian Hana, namun ia sadar jika ia membutuhkan seorang pengasuh untuk membantunya. Apa lagi Raven yang sangat aktif menyulitkan mama Alin jika harus menjaga bocah itu di saat bermain.

"Raven sayang... kenalkan ini mbak yang akan menjaga dan bermain sama Raven" kata mama Alin memperkenalkan pengasuh baru pada Revan.

Raven yang tengah asyik bermain dengan mainan favoritnya pun menoleh dan melihat ke arah orang yang disebutkan oleh omanya itu.

"Perkenalkan... nama saya Silvi... kamu boleh memanggil saya mbak Vivi..." ucap pengasuh itu memperkenalkan diri dengan ramah.

Raven memandangi wanita dewasa yang ada dihadapannya dengan penuh selidik. Bocah yang belum genap dua tahun itu tampak tidak begitu menyukai wanita pengasuhnya itu. Meski begitu Raven tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Bocah itu hanya bersikap acuh dan kembali fokus pada mainannya tanpa membalas salam perkenalan dari pengasuh barunya itu. Hal itu membuat sang pengasuh hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan. Ia sadar jika anak asuhnya ini akan sulit untuk didekati. Namun begitu ia masih menampilkan senyuman manisnya membuat mama Alin yakin jika pengasuh baru itu cukup kompeten.

"Maafkan cucu saya ya Vi... dia memang kurang bisa akrab dengan orang yang baru pertama kali ditemuinya..." ucap mama Alin mencoba menghibur pengasuh baru cucunya itu.

"Tidak apa-apa nyonya... wajar jika den Raven bersikap seperti itu... nanti pelan-pelan saya akan mencoba untuk mendekatinya..." sahut Vivi masih dengan senyum manisnya.

"Syukurlah... saya harap kamu bisa sabar mengurus cucu saya itu..."

"Tentu saja nyonya... itu sudah tugas saya..."

"Baiklah... kalau begitu saya tinggalkan kalian berdua, semoga kalian cepat akrab"

"Iya nyonya..."

Mama Alin pun pergi meninggalkan Revan dengan pengasuh barunya itu. Sepeninggal mama Alin, Vivi pun mulai mendekati Raven.

"Sedang main apa sayang?" tanyanya lembut.

Raven menoleh ke arah pengasuhnya itu dan mengernyitkan dahinya seolah tak suka jika Vivi memanggilnya sayang. Tapi Vivi tidak menyerah... ia harus bisa menaklukkan bocah itu demi menjalankan misinya. Jadilah ia sepanjang hari mengoceh dan sesekali menawarkan bantuannya meski Raven selalu mengacuhkannya. Setelah seharian bekerja akhirnya ia bisa kembali ke kamar yang disediakan untuknya untuk beristirahat.

"Hah lelahnya..." gumam Vivi saat merebahkan dirinya di tempat tidur setelah membersihkan diri dan makan malam.

"Bocah itu ternyata sulit juga... tapi aktingku tidak akan kalah... lihat saja... dalam waktu singkat aku pasti akan membuat bocah itu luluh... setelah itu giliran ayahnya... ha... ha... ha..." batin Vivi sambil memejamkan matanya.

Seharian menjaga dan mengikuti Revan membuat tubuhnya yang tidak pernah bekerja serasa remuk redam. Hingga tidak butuh waktu lama Vivi pun tertidur. Ia bahkan lupa untuk menelfon tantenya untuk melaporkan kegiatannya di hari pertamanya bekerja. Keesokan harinya Vivi terbangun saat alarm ponselnya berdering menghentikan mimpi indahnya. Dengan mata yang masih tertutup ia mencoba untuk mencari keberadaan ponselnya. Merasa tidak bisa menemukan ponselnya yang terus berdering memaksa Vivi untuk membuka matanya yang masih terasa berat. Untuk sesaat ia terkejut saat menyadari jika saat ini ia terbangun bukan berada di dalam kamar pribadinya yang mewah.

Namun itu tidak lama saat alarm ponselnya kembali berbunyi dan menyadarkan Vivi jika saat ini ia tengah berada di kamar pegawai di kediaman mama Alin. Ia pun terdasar dengan misinya. Oleh karena itu meski masih terkantuk ia berusaha untuk membuka matanya lebar dan bergegas turun dari tempat tidur. Setelah bersiap selama 30 menit ia pun keluar dari dalam kamar. Ia pun merasa lega karena ia tidak terlambat bangun meski kemarin ia kelelahan mengasuh Raven. Dengan ramah Vivi menyapa rekan sejawatnya demi mendapatkan kesan baik dari mereka. Walau di dalam hatinya ia merasa tidak selevel namun ia harus profesional. Perannya saat ini adalah gadis lugu dan baik hati jadi ia harus menekan egonya dan berusaha mendalami perannya.

Tak lama setelah ia bergabung dengan para pegawai lainnya, mama Alin menghampirinya untuk menyuruh Vivi untuk ikut bersamanya untuk membangunkan cucu pertamanya. Kemarin ia memang tidak sempat bertemu Vina cucu pertama mama Alin alias kakak dari Raven karena gadis kecil itu kemarin menginap di rumah teman sekelasnya. Namun entah mengapa saat pukul 10 malam gadis kecil itu tiba-tiba saja merengek untuk pulang ke rumah. Memang tugas Vivi bukan hanya mengurus Raven tapi juga Vina. Sebab mama Alin masih yang utama untuk mengurus keduanya. Pagi ini Vivi menyadari jika sifat Vina tidak berbeda dengan sang adik. Sebab Vina juga tampak tidak begitu menyukainya. Meski pada pegawai rumah yang lain gadis itu terlihat sangat ramah.

"Sial! sepertinya cukup sulit untuk menaklukkan dua bocah itu... lihat saja meski kalian berdua menentang aku akan membuat ayah kalian menikahiku pada akhirnya..." batin Vivi dengan wajah penuh senyum meski menahan amarah di hatinya.

Vivi cukup yakin jika rencananya mendekati David akan tetap berjalan lancar meski kedua anak pria itu tampak tidak menyukainya. Dalam fikirannya bisa mengambil hati ibu David sudah bisa memuluskan jalannya. Asalkan ia tetap bisa menampilkan sosok penyabar dan lemah lembutnya. Ya... Vivi yakin itu...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!