BAB 20

"Tehnya terlalu panas, bagaimana mungkin orang bisa langsung minum teh jika sangat panas seperti ini? Bisa-bisa, bibir pasti akan terbakar bukan?" Ucap Edward melirik ke arah Amaya yang berdiri di ujung ruangan tanpa ekspresi.

Mikha juga terlihat tak menyukai teh buatan Amaya sehingga dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya agar Amaya dapat menyembuhkan teh yang sesuai dengan seleranya. Mikha menatap ke arah Amaya berdiri lalu berkata, "Bolehkah buatkan aku teh ulang yang tidak terlalu manis seperti ini? Maafkan aku yang harus merepotkanmu, tapi aku benar-benar tidak minum teh yang sangat manis seperti ini."

Edward menjauhkan cangkir tehnya sembari terus menatap Amaya. Entah kenapa, dia kesal sekali melihat Amaya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Padahal, dia benar-benar ingin melihat Amaya sedih dan merasa tersiksa, tapi itu benar-benar tidak dia lihat sama sekali.

"Cangkir yang kau gunakan juga bukanlah cangkir terbaik yang aku miliki di rumah ini, seharusnya pelayan yang handal sepertimu tahu benar bagaimana cara menyajikan teh yang benar agar orang yang menikmati teh itu tidak tersinggung kan?" Pangkas Edward dengan nada bicaranya yang ketus dan mimik wajahnya yang terlihat begitu dingin.

Amaya terdiam sebentar dengan segala pemikirannya. Tahu, Dia benar-benar sangat tahu tujuan Edward memintanya menjadi seorang pelayan adalah untuk memberikan dirinya sebuah pelajaran dan juga sekaligus untuk menghinanya seolah menjadi pelayan adalah sesuatu yang sangat cocok untuknya. Sungguh, itu sama sekali tidak menjadi masalah, hanya saja, Amaya benar-benar sangat bingung bagaimana seharusnya dia bersikap? Dia sudah berusaha sebaik mungkin, namun nyatanya Edward begitu menginginkan lebih seolah-olah begitu sibuk hanya dengan cangkir teh sampai Edward sendiri tidak menyadari bahwa, sejak tadi dia tidak begitu memperhatikan tamu wanitanya.

"Baik."

Pada akhirnya, hanya itulah yang bisa dikatakan oleh Amaya. Dia akan mencoba sebaik mungkin melakukan apa yang diinginkan oleh Edward dan juga Mikha. Walaupun memang tidak akan pernah ada benarnya di mata Edward, mungkin saja dengan melakukan apa yang ingin dia lakukan terhadap dirinya akan membuat Edward merasa lelah sendiri dan berhenti sendiri.

Amaya tidak akan pernah merasa bersedih hanya karena dia merasa lelah fisik. Tetapi, jika yang diserang oleh Edward adalah sesuatu yang paling sensitif dari dalam diri Amaya, mungkin Amaya tidak akan pernah bisa bertahan dan mereka berkata kepada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

Amaya mengambil kembali dua cangkir teh itu, lalu juga mengambil camilan tersebut. Dengan berhati-hati Amaya melangkahkan kakinya, tapi dengan sengaja Edward meletakkan kakinya dan mengganggu Amaya yang mulai berjalan hingga Amaya terjatuh dan terkena air panas dari dua cangkir teh tersebut. Amaya serasa ingin memutih kesakitan, tangannya merasakan panas yang terasa sedikit nyeri, tapi untunglah bukan air panas yang mendidih sehingga hanya meninggalkan sedikit warna merah dan tidak melepuh sama sekali. Ah, sisi tangan Amaya sedikit berdarah karena tergores pecahan cangkir.

Edward tersenyum tipis dengan tatapan matanya yang terlihat sedikit puas.

Mikha benar-benar terkejut melihat Amaya yang terjatuh seperti itu. Sungguh, ia sama sekali tidak melihat saat Edward lah membuat Amaya terjatuh. Mikha memang merasa kasihan, tapi jelaslah dia tidak memiliki niatan untuk membantu Amaya bangkit mengingat Amaya hanyalah seorang pelayan saja. Sebenarnya, Mikha agak tersentak tak percaya bahwa ada seorang pelayan yang wajahnya benar-benar sangat cantik. Tetapi, melihat cara Edward yang seolah-olah menjelaskan bahwa dia sangat membenci Amaya, Mikha sedikit lega dan tidak begitu khawatir seperti sebelumnya kala pertama kali dia melihat Amaya.

Amaya memejamkan matanya sebentar sebelum dia bangkit dari posisinya terjatuh. Sakit, memanglah dia merasa sakit. Tetapi, dia tidak boleh kalah dan membiarkan Edward menikmati benar penderitaannya.

Tanpa menunjukkan ekspresi kesakitan atau ekspresi apapun, Amaya bangkit dari posisinya. Begitu dia sudah bisa berdiri dengan benar, yang dilakukan oleh Amaya pertama kali adalah, banyak air yang membasahi tangan dan juga kain lap yang menempel di badannya. Barulah setelah itu, Amaya berjongkok untuk memungut satu persatu pecahan cangkir, juga hidangan yang jatuh berantakan tercecer di lantai.

Melihat Amaya melakukan semua itu tanpa ekspresi kesakitan sama sekali, Edward menjadi kembali kesal lalu berkata, "Gunakan matamu dengan benar, harga sepasang cangkir teh itu bahkan adalah upah yang biasa Kau dapatkan dalam waktu 1 tahun!"

Amaya menghentikan kegiatannya sebentar. Dia untuk beberapa detik sebelum dia menjawab ucapan Edward yang begitu tak enak didengar. "Aku sudah menggunakan mataku dengan sangat baik, dan benar. Aku hanya kurang berhati-hati dalam melangkahkan kaki, karena bukan hanya aku yang mempunyai kaki, dan aku juga tidak tahu apakah kaki orang lain bisa berhati-hati atau tidak."

Ucapan Amaya barusan benar-benar membuat Edward mengeraskan rahangnya karena dia kehabisan kata-kata tak bisa lagi membalas ucapan Amaya begitu mengena di hatinya.

Mikha mengeryitkan dahinya, di dalam hati dia benar-benar membatin bingung melihat cara bicara Edward yang sangat ketus kepada Amaya, dan Amaya yang begitu elegan dalam menjawab ucapan Edward dengan gestur yang menjelaskan bahwa, Amaya tidak memiliki rasa takut sama sekali terhadap Edward yang sebenarnya adalah tuan rumah atau bos yang memberikannya upah bulanan.

"Sudahlah, lebih baik cepat cepat kau bereskan semua itu. Nanti, kalau sampai pecahan cangkir teh itu mengenai kaki orang lain, Kau adalah orang yang akan disalahkan bukan?" ujar Mikha mencoba untuk menyudahi Edward dan juga Amaya yang sangat tidak mirip seperti seorang tuan rumah dan juga pelayan rumah.

Amaya tersenyum kepada Mikha, dan jelas saja senyum itu terpaksa hanya saja Mikha sama sekali tidak menyadarinya. "Baik, Nona. Maafkan saya yang membuat ulah dan membuat anda tidak nyaman karena hal ini."

Mikha memaksakan senyumnya lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Tidak, Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Lanjutkan saja pekerjaan mu," Ujar Mikha.

Amaya mengangguk paham. Tak lagi ingin berdebat dengan Edward, Amaya dengan segera membereskan semua pecahan kaca itu. Bahkan, dia sama sekali tidak memperdulikan tangannya yang tergores pecahan cangkir teh hingga mengeluarkan darah.

Edward menatap darah Amaya, dia kesal sekali!

Apakah wanita itu bodoh? Bagaimana bisa dia begitu santai dan mengacuhkan jarinya yang tergores dan berdarah?

"Hei, cepat pergi ke dapur! Lihat darah di jarimu itu, pastikan benar kau mengurus luka mu lebih dulu, aku tidak ingin kau menyuguhkan teh baru kepada kami, di mana teh baru kami terkena darah kotor mu itu!" Ucap Edward dengan mimik wajahnya yang terlihat kesal.

Terpopuler

Comments

Reski Rezki

Reski Rezki

sampai di bab 20 critax msih gitu² aja

2024-05-04

0

Ma Em

Ma Em

Edwar sekarang kau selalu menghina Amaya awas saja nanti kau akan jatuh cinta sama Amaya.

2024-01-18

0

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

like 👍

2023-12-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!