"Bagaimana ini, Bar? Apa yang harus aku lakukan agar Alina percaya kalau aku ini papanya?" sudah lebih dari lima puluh kali Akbar mendengar pertanyaan yang sama dari mulut Yudha, padahal pekerjaannya sedang menumpuk dan jika tidak selesai, pasti dia juga yang Yudha omeli.
"Dasar bos tak tahu diri. Nanti aku jawab salah, tapi kalau aku diam tak menjawab, aku juga salah" gerutu Akbar di dalam hatinya, sambil berfikir keras.
"Jangan menggerutu begitu, Bar" perkataan Yudha membuat Akbar seketika menoleh pada bos nya itu.
"Siapa juga yang menggerutu, pak" kata Akbar yang kembali fokus pada layar monitornya.
"Cepat beritahu aku cara agar Alina bisa percaya bahwa aku ini papanya" bentak Yudha.
"Bapak lebih mementingkan saya untuk mengerjakan laporan ini atau berfikir tentang Alina terlebih dahulu?" tanya Akbar yang sudah tidak tahan dengan kelakuan bosnya yang seperti anak kecil.
"Baiklah, tinggalkan pekerjaanmu dan berfikirlah cara terbaik menurut versimu" tantang Yudha, biasanya saran dari Akbar selalu memuaskan.
"Begini saja pak, bawa pak Jovan ke Jakarta tanpa sepengetahuan bu Vani. Pak Jovan kan sudah tahu tentang siapa ayah kandung Alina, sedangkan Bu Vani masih belum tahu" kata Akbar memulai sarannya.
"Jemput saja pak Jovan dan paksa untuk ikut ke Jakarta. Suruh pak Jovan untuk izin sedang perjalanan dinas dari kantornya kepada bu Vani. Lalu, bawa pak Jovan ke hadapan Alina untuk menjelaskan tentang status mereka".
"Tapi saya tidak yakin kalau Alina masih mau untuk mengakui bapak sebagai papanya karena saya lihat kalau Alina itu punya basic agama yang kuat. Sepertinya bapak akan tetap kesulitan untuk mendekati Alina meski nantinya dia sudah tahu kalau bapak itu papanya" lanjut Akbar.
"Ide kamu bagus sekali, Bar. Kenapa aku tidak berfikir untuk membawa Jovan, ya" kata Yudha yang merasa lega.
"Aku tidak perduli bagaimana reaksi Alina nanti. Yang terpenting adalah, setelah nanti dia yakin kalau aku adalah papanya, aku akan membawa Alina pulang ke rumahku. Aku sangat ingin merawat kedua putriku sejak dahulu. Mungkin sekaranglah waktu yang Tuhan berikan padaku" kata Yudha sudah tidak sabar lagi menunggu saat itu tiba.
"Kapan aku harus menjemput Jovan, Bar?" tanya Yudha.
"Terserah bapak saja" jawab Akbar santai.
"Baiklah, urus semuanya dengan baik dan pastikan kalau lusa Jovan sudah berada di Jakarta" perintah Yudha membuat Akbar semakin merasa stress.
"Selalu aku yang harus mengurus semua masalah hidupnya. Bukan hanya urusan pekerjaan, bahkan urusan rumah tangga tanpa istrinya pun harus aku yang mengurusnya. Dasar bos yang menyebalkan" Akbar hanya bisa menggerutu dalam hatinya, toh nanti mau ataupun tidak mau juga tetap dia yang akan mengurus semuanya.
"Tidak usah menggerutu, Bar" kata Yudha tanpa menoleh pada asistennya.
"Saya tidak menggerutu, pak" jawab Akbar dengan kesalnya.
Sudah seharian ini hidup Alin terasa damai. Dengan tidak adanya Lisa and the gang di sekolah membuat suasana sekolah semakin nyaman.
Dan kini Alin sedang berada di dalam ruang PMR. Ruangan besar dengan banyak peralatan kesehatan yang tertata rapi di dalamnya.
Ruangan yang bersebelahan dengan ruang UKS yang memang petugasnya berasal dari anggota PMR dengan satu orang dokter jaga yang setiap hari stay di dalamnya.
"Selamat ya Alin, mulai hari ini kamu resmi sebagai salah satu anggota PMR" kata Dewi sambil menjabat tangan Alin dan disaksikan oleh dua orang senior dalam keanggotaan PMR.
"Terimakasih, kak. Latihannya hari apa, kak?" tanya Alin.
"Seperti ekskul lainnya, kita juga latihan di hari Sabtu jam delapan pagi. Pastikan kamu selalu hadir dan tidak terlambat. Kamu akan mendapatkan banyak pengalaman menarik disini" kata Dewi.
"Siap kak, terimakasih. Kalau begitu saya permisi pulang dulu" pamit Alin karena hari sudah semakin sore.
"Silahkan" jawab Dewi.
Lain Alin, lain pula kegiatan Lisa and the geng seharian ini.
Menjalani hukuman sebagai relawan di panti jompo membuat ketiga cewek itu merasa sangat tak nyaman dan mengeluh tiada henti.
Petugas panti jadi merasa terbebani karena harus terus mengawasi mereka bahkan tak segan mereka harus memberi ancaman agar Lisa, Via dan Zee mau melakukan tugas yang sudah tertera di dalam daftar keseharian para penghuni di dalam panti tersebut.
"Iyuh... Nenek ini boker lagi kakak" keluh Lisa yang tengah menangani nenek Olivia. Wanita sepuh itu memang kondisi kesehatannya sedang tidak baik hingga membuatnya sering BAB.
"Tolong bantu saya untuk membawanya ke kamar mandi dan kita ganti popoknya" kata petugas panti yang sudah terbiasa menangani hal yang seperti itu.
"Lo saja deh Zee yang bantuin bawa nih nenek sepuh. Tadi gue berasa mau muntah, masak sekarang harus melakukan itu lagi sih" keluh Lisa.
"Lo nggak lihat gue lagi nyisirin nih gadis sampul. Lo sih pilih-pilih jadi orang, sukurin deh tadinya lo yang ngejekin gue" ejek Zee yang tengah menyisir rambut seorang nenek centil, nenek yang masih sangat aktif di usia senjanya.
"Sialan lo. Awas lo ya" ancam Lisa.
"Bodo amat" balas Zee.
Mau tak mau, tetap harus mau. Lisa membantu petugas untuk membawa nenek Olivia ke kamar mandi. Terlebih dahulu Lisa dan petugas yang bernama Irna, harus mengangkat sang nenek ke atas brankar dan mendorongnya hingga ke kamar mandi.
Sesampainya disana, kembali mereka harus mengangkat nenek dari atas brankar ke atas meja 'pembersih'. Seperti itulah nama yang diberikan pada sebuah meja yang dikhususkan untuk membersihkan tubuh para penghuni panti yang bermasalah.
Seperti nenek Olivia contohnya, terhitung sudah empat kali beliau bolak-balik menghampiri meja tersebut untuk dibersihkan dan ganti popok.
Bukan Lisa namanya kalau tidak bekerja sambil merengut dan terus menggerutu. Kak Irna sebenarnya sudah sangat panas telinganya untuk mendengarkan gerutuan Lisa. Tapi kesabarannya yang seluas samudera masih tetap berusaha memberi kesempatan terhadap Lisa untuk saling membantu.
"Lagian nenek habis makan apa sih sampai diare begini?" tanya Lisa yang wajahnya tertutup masker, memakai handscoon dan menguncir rambut panjangnya tinggi-tinggi.
"Semalam ada anggota keluarganya yang datang berkunjung dan memberikan nenek makanan. Sepertinya memberikan bubur. Tapi entah bagaimana ceritanya bubur bisa membuat nenek jadi diare" jawab kak Irna sambil melakukan tugasnya.
"Jadi nenek ini masih punya keluarga, kak?" tanya Lisa.
"Punya. Bahkan keluarga nenek Olivia ini bisa dibilang keluarga yang mampu secara finansial" jawab Irna.
"Tapi kenapa mereka mengirim nenek ke panti Jompo? Kenapa tidak di urus sendiri saja dirumahnya?" heran Lisa, baru kali ini dia mendengar cerita seperti ini.
"Keluarganya adalah orang sibuk. Nenek Olivia punya dua anak lelaki yang keduanya berada di luar negri. Salah satunya bekerja di kedutaan, dan yang satunya bekerja di salah satu kantor yang fokus di bidang teknologi" jawab Irna.
"Dan tidak ada yang berminat untuk mengajak ibunya tinggal bersama mereka? Kasihannya nenek Olivia" kata Lisa, rupanya ada banyak cerita yang bahkan diluar jangkauan pemikiran Lisa.
"Pernah nenek dibawa secara bergantian oleh anak-anaknya, tapi entah bagaimana ceritanya sejak tiga tahun belakangan ini mereka memutuskan untuk menitipkan nenek Olivia disini. Dan sejak itu memang kondisi kesehatannya semakin memburuk" jawab Irna.
"Mungkin nenek rindu pada anaknya, kak. Apa mereka tidak pernah berkunjung?" tanya Lisa.
"Sangat jarang, mungkin hanya ada dua kali kunjungan untuk nenek sejak dia ada disini. Tapi untuk urusan finansial, kedua anaknya mengirim dana untuk nenek dalam jumlah yang lebih dari cukup" jawab Irna.
"Tapi pasti nenek ini rindu pada anaknya, kak. Kasihan sekali. Nanti kalau papaku sudah tua, aku tidak akan pernah mengirimnya ke panti jompo, kak. Jika aku tidak bisa mengurus papa setiap saat, maka aku akan menyewa jasa suster untuk membantu mengurus papa" tekad Lisa yang memang sangat menyayangi papanya meski sikap manjanya tidak ada lawan.
"Bagus, memang seharusnya begitu. Berbakti terhadap orang tua selagi kita mampu. Bagaimanapun mereka adalah ladang pahala bagi anaknya" kata Irna yang masih terlihat jika sedang tersenyum meski dalam balutan masker.
Beda cerita dengan Zee, gadis itu sedang berjoget ria dengan seorang nenek yang sangat enerjik.
Nenek Fai, begitu sang nenek minta dipanggil meski nama aslinya adalah Painem.
"Sebentar, nenek capek banget" ujar nenek Fai yang minta diambilkan minum dan duduk manis setelah mematikan musik dari ponselnya.
"Nih minumnya, nek" kata Zee.
"Terimakasih nak Jee" jawab nenek yang tak bisa berujar Z, malah bertukar J.
"Nenek sudah lama disini?" iseng saja sebenarnya saat Zee bertanya.
"Paling lama malah. Dan teman seangkatan nenek yang masuk kesini bersama dulu sudah meninggal semua" jawab nenek Fai.
"Nenek kuat, dong. Hebat" ujar Zee.
Tapi malah membuat wajah sumringah nenek berubah mendung. Tiba-tiba nenek Fai menangis
"Loh, kenapa nek? Kok nangis?" tanya Zee yang bingung dan takut, bagaimana cara menenangkan seorang nenek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments