"Sebuah kebenaran pasti memiliki bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika om punya bukti yang akurat tentang kami berdua, mungkin saya masih bisa mempertimbangkan langkah apa yang akan saya lakukan nantinya" kata Alin yang sudah tidak tahan dengan kondisi ini.
Bahkan dia dan kedua kakaknya tidak memesan apapun untuk makan malam.
"Tapi jika bukti yang om tunjukkan hanyalah sebuah foto yang mungkin masih bisa diedit, maka saya tidak akan percaya" kata Alin sok bijak, tak apalah demi segera terselesaikannya urusan malam ini.
Berada di dekat Lisa dalam waktu yang lama membuat Alin merasa tak nyaman.
"Baik. Papa akan tunjukkan buktinya untukmu" kata Yudha yang mengingat bahwa dia membawa sebuah surat hasil tes DNA yang sudah dia lakukan sekitar enam belas tahun yang lalu untuk meyakinkan Jovan kala itu. Sekaligus untuk mengancam pria itu agar bersedia membiarkan salah satu putri kembarnya dibawa.
"Ini adalah surah hasil tes DNA yang papa lalukan beberapa tahun yang lalu. Coba kamu baca" kata Yudha sambil menyerahkan sepucuk amplop coklat usang dengan stempel sebuah rumah sakit di kota Malang kepada Alin dan Lisa yang duduk bersebelahan.
"Dengan surat ini kami menyatakan bahwa hasil tes DNA dari saudara Aryudha Astama Putra dengan dua orang bayi kembar yang bernama Alina dan Alisa dinyatakan sama dan keakuratan pemeriksaan kami bisa dipertanggungjawabkan" Lisa dan Alin membaca surat itu dalam hatinya masing-masing.
"Keakuratan pemeriksaan terhadap pemohon dan kedua putrinya adalah 98%. Itu menandakan jika memang saudara Aryudha Astama Putra adalah ayah biologis dari kedua putri kembar tersebut" gumam Alin dan Lisa yang langsung sama-sama menoleh dan membuang muka.
"Tidak mungkin" gumam Alin yang merasa kejatuhan langit. Hatinya kian terasa sempit.
"Lantas kenapa ayah ataupun bunda tidak pernah memberitahu padaku kalau aku punya saudara kembar?" tanya Alin sedikit emosi, rasanya seperti sedang melihat kekasih yang sedang berselingkuh di depan matanya.
Alin sangat kecewa. Tak jauh berbeda juga dengan apa yang Lisa rasakan.
"Kondisi waktu itu sangat mengkhawatirkan, nak" kata Yudha yang ingin bercerita.
"Lisa terlahir dengan kondisi kesehatan yang buruk. Jantungnya tidak sehat, dan untuk merawatnya, Vani dan Jovan terkendala biaya karena Jovan yang waktu itu juga baru saja resign dari pekerjaannya" kata Yudha mulai menceritakan masa lalu kedua putrinya.
"Dengan berat hati, bundamu membiarkan papa membawa Lisa untuk dirawat di rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Dan memang proses penyembuhannya memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar" Yudha masih bercerita.
"Papa juga tak pernah bercerita tentang kalian yang kembar kepada Lisa karena takut jika Lisa akan menganggap jika bundanya tidak menyayanginya sehingga membiarkan papa membawanya. Lagipula papa merasa jika kalian tidak akan pernah bertemu di masa depan karena jarak yang jauh memisahkan" kata Yudha.
"Bohong. Cerita fiktif yang tidak bermutu. Lantas kenapa ayah Jovan juga membiarkan saja saat anaknya dibawa pergi oleh orang lain. Tidak ada orang tua yang rela jika anaknya dibawa pergi dengan alasan apapun. Tapi kenapa ayah Jovan membiarkan om membawa Lisa waktu itu?" pertanyaan yang Alin sampaikan sebenarnya juga ingin Lisa tanyakan, tapi Lisa bingung untuk menyebutkan tentang suami dari ibunya.
"Akulah papamu, di surat itu sudah tertera kalau kalian itu putri kandung papa" kata Yudha.
"Terus ayah Jovan itu siapa? Bukankah waktu itu status bunda juga masih menjadi istri dari ayah Jovan? Atau bagaimana sih? Apa ada versi lain tentang status kalian? Saya jadi bingung" tanya Alin yang pikirannya tak bisa menjangkau masalah orang dewasa.
Yudha terdiam, dia sedikit merasa bingung untuk menjawabnya. Pria itu harus berpikir sedikit lebih keras demi bisa membujuk putrinya yang cerdas ini.
"Bagaimana caranya agar papa bisa meyakinkanmu kalau kamu itu adalah anak kandung papa, Alina?" tanya Yudha yang sudah kehabisan kata-kata.
"Aku masih belum yakin dengan semua ini. Sebuah status terasa begitu aneh antara kalian bertiga. Maksudku antara om, bunda dan ayah. Pikiranku tidak bisa menjangkau untuk mencari sebuah alasan pasti yang bisa membuatku yakin tentang kebenaran bahwa om adalah papaku dan Lisa adalah saudaraku" kata Alin yang memang sangat tajam pemikirannya.
"Begini saja. Aku akan memberikan om waktu sampai satu minggu ke depan untuk mencari sebuah alasan yang bisa meyakinkan aku akan semua ini. Dan untuk sekarang, aku mohon undur diri untuk pulang saja karena besok aku harus sekolah. Ini sudah terlalu malam untuk seorang pelajar pergi tidur" kata Alin yang masih merasakan kekecewaan di hatinya.
Entahlah, Alin merasa tak bisa merasa kebenaran yang pasti. Dia hanya butuh sebuah sebuah alasan selain bukti surat hasil tes DNA yang dirasanya juga masih bisa dikamuflase.
"Saya permisi lulang dulu ya om. Maaf kalau saya tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Hunungi saja saya atau kak Vee jika om sudah yakin dengan alasannya" ucap Alin sambil beranjak pergi menarik lengan kakaknya, Veronica.
"Kami pulang duluan, pa. Maaf dengan semua ini" kata Vee sambil berlalu pergi.
Meninggalkan Yudha yang terlihat sangat terpukul dengan penolakan Alin. Pria itu membiarkan saja Alin pergi darinya kali ini. Dan meyakinkan diri sendiri untuk mencari jalan terbaik agar visa membawa Alin untuk bersama dengannya sebagai ganti dari enam belas tahun perpisahan mereka.
Vee dan Seno tak bisa berkata-kata untuk sekedar menghibur Alin yang diam saja sejak keluar dari restoran tadi.
Vee bahkan membiarkan adiknya itu membuka kaca jendela dan membiarkan angin dari luar memasuki mobilnya. Hal yang biasanya sangat Vee hindari.
"Stop kak, tolong berhenti" tiba-tiba Alin meminta untuk menepi.
"Kenapa Lin? Kamu jangan berpikir untuk kabur, ya. Nggak lucu kalau kami harus mengejarmu malam-malam begini" kata Vee sambil memegang erat tangan Alin yang sudah bersiap membuka pintu mobil saat mobil mereka sudah menepi.
"Siapa juga yang mau kabur. Aku lapar, kak. Setelah mendengar kabar yang membuat hati dan pikiranku menjadi syok begini membuat perutku jadi merasa sangat lapar. Lagipula aku belum makan sejak tadi siang. Rencana makan makanan Jepang jadi rusak dengan perkataan buruk dari papanya Lisa" jawab Alin dengan panjang dan lebarnya.
"Tuh disana ada tukang nasi goreng. Kakak mau beli nasi goreng juga nggak?" tanya Alin.
"Oh kirain mau kabur" ucap Vee lega dan melepaskan genggaman tangannya.
"Dimana tukang nasi gorengnya?" tanya Vee.
"Tuh, dibawah pohon" jawab Alin sambil menuruni mobil, diikuti Vee dan tentunya Seno yang tak akan membiarkan istrinya yang sedang hamil itu pergi sendiri.
"Uwah, menunya banyak sekali pak. Saya jadi bingung" kata Alin sambil membaca deretan menu yang terpampang dikaca gerobak si tukang nasi goreng.
"Iya dong neng, biar pelanggan senang. Cari duit jadi gampang" ucap tukang nasi goreng dengan riangnya, sepertinya dia orang yang humoris.
"Nasi goreng seafood deh pak satu porsi, kakak mau apa?" tanya Alin pada kedua kakaknya.
"Saya sama seperti kamu" jawab Seno.
"Aku nasi goreng sosis campur hati ayam deh, Lin" jawab Vee sambil mengamati daftar menu yang tersedia.
"Oke, nasi goreng seafood nya dua ya pak, nasi goreng sosis rambah hati ayam satu saja. Semua dibungkus ya pak" kata Alin.
"Sudah aku pesankan, kak. Tolong bayarkan ya" kata Alin sambil tersenyum manis. Membuat Seno dan Vee hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Tapi mereka biarkan saja Alin berbuat seperti itu karena mereka yakin jika Alin masih memendam perasaan tak suka dengan kejadian di restoran tadi. Dan gadis itu masih berusaha bersikap menyenangkan demi menjaga perasaan kakaknya.
Seno dan Vee memaklumi hal itu, mereka menyadari jika Alin sedang mengalihkan kekecewaannya dan sedikit menyayangkan sikap Yudha yang tak sabar untuk menunggu dan mencari waktu yang tepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments