Berita perlakuan Alin terhadap Rifat pagi ini sudah menggema seantero sekolah.
Ya, Rifat memang sepopuler itu. Wajah tampan khas anak bad boy dengan kelakuan sombong dan seolah tak suka didekati cewek membuat banyak siswi merasa tertantang untuk mendekatinya.
Dan mendengar Alin yang bisa-bisanya mencubit pinggang Rifat secara bertubi-tubi tanpa ada kemarahan darinya membuat banyak rumor beredar.
Alin jadi ikut tenar dibuatnya.
Dan saat jam istirahat tiba, Alin yang sudah berteman dengan Clara tentu ingin mengunjungi kantin untuk jajan.
"Hei, tunggu!" sapaan yang tak Alin kenali tak membuat langkah kakinya terhenti, karena dia tak menyangka jika orang di belakangnya tengah menyapanya.
"Lo budek apa sok budek sih, gue bilang berhenti" setelah Alin yakin jika suara itu untuknya, dia segera berbalik dan mendapati tiga orang siswi di hadapannya.
"Eh, bentar deh. Mukanya mirip sama lo deh, Lis" ucap salah satu dari mereka lirih.
Membuat Clara ikut memperhatikan keduanya.
"Apa sih. Nggak ada yang lebih cantik daripada gue, titik!" bentak Lisa, tapi rupanya diapun memandangi Alin juga.
"Heh, lo kan yang kapan hari nabrak gue di mall. Ngapain lo disini?" tanya Lisa.
"Oh iya, kamu. Kita bertemu lagi. Aku sekolah dong disini, masak iya ngamen?" jawab Alin sedikit bercanda.
"Garing! Nggak lucu. Lo jangan berani-beraninya deketin kak Rifat, ya! Dia itu milik gue! Awas saja kalau sampai lo ganjen sama dia!" tanpa basa-basi Lisa langsung saja melabrak Alin.
"Nggak kamu suruh, aku sama gue Rifat itu memang sudah sangat dekat. Ah, malas deh ngobrol sama orang emosian. Yuk Clar, ke kantin" dengan tampang polosnya, Alin menarik tangan Clara yang sejak tadi hanya diam.
"Awas ya lo cewek ganjen" geram Lisa dalam teriakannya karena Alin yang cuek padanya.
Tak ada satupun murid yang berani padanya, atas nama orang tua, Lisa berani berbuat seenaknya karena papanya adalah salah satu dari lima donatur terbesar di sekolah ini.
"Tangan kamu kenapa dingin begini, Clar?" tanya Alin yang menggenggam tangan Clara.
"Gue takut sama gengnya Lisa. Lo kenapa sampai punya masalah sama dia sih? Dia kan anak emas di sekolah ini, Lin" kata Clara khawatir, takut kalau dirinya ikut terseret masalah Alin dan Lisa.
"Kamu pikir aku takut? Selama aku benar, kepala sekolahpun berani aku lawan" Alin bersesumbar, sambil celingukan semoga tak ada guru yang mendengar ucapannya.
Sampai di kantin, lagi-lagi Alin tak menyangka jika harus kembali berurusan dengan Lisa and the geng.
Bruk!
Alin tak sengaja menabrak Lisa yang membuat semangkuk bakso di tangan gadis itu tumpah dan mengenai sepatunya.
"Aduh, lo lagi lo lagi. Kenapa sih hidup gue jadi ribet karena lo" teriak Lisa histeris.
Sepatu putih kesayangannya ternodai saus, kecap dan sambal dari baksonya.
"Ups, sorry. Aku nggak sengaja" jawab Alin merasa bersalah kali ini.
"Bersihin nggak?" bentak Lisa sambil menaikkan kakinya ke atas sebuah bangku.
Tak mau semakin memperpanjang urusan, Alin segera mengambil tisu gulung diatas meja untuk digunakan sebagai lap sepatu Lisa.
Belum lagi tangannya yang terulur sampai di sepatu Lisa, sebuah tangan kasar menariknya hingga Alin terkejut.
"Ngapain?" tanya Rifat yang sudah berdiri di samping Alin.
"Eh, gus Rifat. Nggak ngapa-ngapain" jawab Alin.
"Ikut gue" perkataan mutlak Rifat membuat semuanya hanya menatap bego.
Tak ada yang berani berkata-kata saat tangan Rifat membawa Alin ikut dengannya meninggalkan Clara dan Lisa.
Berhenti di sebuah lorong, Rifat sudah menarik nafas panjang agar bisa kuat untuk berbicara pada Alin.
"Lo itu bego apa tolol sih? Kalau dijahatin orang itu lawan dong. Jangan diam saja seperti monyet dilempar kerikil. Dasar bodoh!" umpar Rifat dengan geram saat mengingat Alin yang tadi sepertinya mau-mau saja disuruh mengelap sepatu Lisa.
"Tapi gus..." belum selesai Alin bicara Rifat meletakkan telunjuk di bibirnya supaya Alin diam, dan hebatnya Alin menurut.
"Apa gunanya lo belajar ilmu bela diri kalau hal seremeh itu doang nggak bisa lo atasi? Jangan mau dong kalau harga diri lo diinjak. Lawan selagi mampu! Nggak musim pembullyan. Dan nggak akan ada pembullyan selama orang yang dibully itu melawan" masih berapi-api, Rifat memberikan wejangan khas anak muda pada Alin.
"Ya nggak gitu juga gus. Bela diri itu kan digunakan saat keadaan terlalu genting. Tadi kan cuma ngelap sepatu, nggak ada pentingnya sama sekali" sanggah Alin.
"Keadaannya nggak genting, tapi harga diri lo yang genting. Hidup di ibu kota itu keras Lin, kalau lo nggak berusaha jaga diri lo sendiri, nggak akan ada orang yang mau jagain Lo" kesal Rifat.
"Ada gus Rifat kok" kata Alin dengan senyuman manisnya, dan tangan yang diangkat mendekati wajah Rifat dengan jari jempol yang disatukan dengan jari telunjuk untuk membentuk hati ala anak jaman sekarang.
"Lo ngeselin banget sih. Bodo amat lah kalau sampai lo di bully lagi sama gerombolan si Lisa tengil itu. Bahkan di pendaftaran kemarin, dia dan gengnya sudah sok beken. Geli banget gue lihatnya" ucap Rifat melunak.
Sebenarnya dia hanya tak mau jika Alin dipermalukan. Rifat merasa jika ada yang tidak beres antara Alina dan Lisa, apalagi wajah keduanya yang sama persis. Tapi akhlak mereka yang berseberangan.
"Jangan dong, gus. Kita kan best friend forever" ucapan Alin membuat kedua teman Rifat tertawa terbahak-bahak.
"Diam lo berdua" bentak Rifat.
"Heh, mau kemana lo?" lagi-lagi Rifat membentak pada Alin yang bersiap pergi.
"Mau beli makanan, gus. Aku lapar, sebentar lagi jam istirahatnya sudah selesai" ucap Alin sambil melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Sial, gue juga jadi lapar. Ayo gue anterin, awas saja kalau sampai ada yang macam-macam sama lo" kata Rifat masih emosi, entah emosi pada Alin yang terlaku baik atau pada Lisa yang sok artis.
Memasuki kawasan kantin, Alin yang datang dengan geng Rifat menjadi pusat perhatian. Tapi Alin tak pernah menggubris hal seperti itu. Langkahnya tetap santai menuju penjual bakso.
"Gus Rifat mau bakso juga?" tanya Alin.
Rifat hanya mengangguk dan kedua temannya juga sama.
"Ok" kata Alin.
"Bakso empat porsi ya, pak. Sama teh hangatnya juga empat deh" pesan Alin yang saat menoleh sudah ditinggal duduk oleh Rifat, tapi menyisakan satu temannya untuk menemaninya.
"Siap neng. Tunggu di mejanya ya" jawab pak penjual.
Alin mengangguk, "Ayo kak" ajak Alin yang belum tahu nama teman Rifat ini.
"Ayo. By the way nama gue Axel" kata teman Rifat yang berpenampilan sedikit acak khas anak SMA yang nakal.
"Aku Alin. Salam kenal kak Axel" kata Alin yang hanya menangkupkan kedua tangannya di dada saat Axel berniat untuk berjabat tangan dengannya, tak lupa senyum manis yang membuat Axel ingin mencubit lesung pipi di kedua pipi Alin.
"Oh sorry" ucap Axel lirih.
Alin tersenyum manis, hari Axel jadi berdesir tipis. Alin memang semendebarkan itu, dan tak akan bisa beres urusan hatinya jika tidak segera bergabung dengan Rifat.
"Si kadal ini namanya Axel, dan yang satunya itu namanya Tora. Lo jangan sampai tertipu sama dua kadal burik ini, Lin" kata Rifat memperkenalkan kedua temannya, dia melihat saat tadi Axel ingin menyalami Alin.
"Hai kak Tora. Kalau kak Axel aku sudah kenal, gus" kata Alin.
"Nama lo ganti Agus ya, Fat?" ejek Tora. Memang kedua temannya itu tak ada yang tahu tentang identitas Rifat yang sebenarnya.
"Lo panggil gue biasa saja bisa nggak sih, Lin? Risih gue kalau lo panggil Agus" keluh Rifat.
"No, I can't" jawab Alin dengan mata berbinar saat empat mangkuk bakso beserta empat gelas teh hangat mendarat di mejanya.
"Makan dulu buruan, kak. Sebentar lagi bel. Takut nggak keburu" ucap Alin yang langsung menyambar baksonya setelah merapal doa hendak makan.
Rifat hanya bisa saling lirik dengan kedua temannya karena melihat cewek yang tak malu-malu kucing saat menjadi satu-satunya cewek diantara tiga cowok.
Alin memang sehumble itu, dia tak pernah membeda-bedakan suku, ras, agama maupun status sosial untuk berteman.
"Yah, sudah bel kak" ucap Alin sambil tergesa untuk menghabiskan baksonya dan segera menyambar tehnya.
"Duluan kak" kata Alin sambil berdiri dan bersiap pergi.
"Bayar Lin!" teriak Rifat yang melihat Alin dengan santainya berlari meninggalkan mejanya.
"Ngutang dulu ya gus, nanti pulang sekolah aku pasti bayar" balas Alin berteriak juga.
Axel dan Tora hanya bisa tertawa melihatnya. Rifatpun hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Dasar lo, Lin. Baru juga di hari pertama jadi teman gue sudah beraninya ngutang sama gue" kata Rifat yang kembali sibuk dengan baksonya dan makan dengan santai meski bel sudah berdering dan semua murid sudah berhamburan untuk kembali ke kelasnya masing-masing.
"Untung cantik" sahut Tora.
"Dan juga baik" sambung Axel.
"Lucu lagi" masih Tora yang menimpali.
"Lo berdua belum tahu aslinya dia yang keras kepala dan suka ngambek" kata Rifat meneruskan pujian terhadap Alin.
"Tahu banget tentang doi" kata Tora dengan senyum smirknya.
"Dia memang lebih daripada teman buat gue, dia sudah seperti adik gue sendiri" kata Rifat yang mengharuskannya untuk menerima Alin sebagai saudaranya agar diapun bisa tetap dekat dengan om Alin yang sudah seperti ayah bagi Rifat.
"Adik apa adik. Gaskan saja kalau memang suka. Dia sempurna" kata Tora.
"Bacot" jawab Rifat cuek.
"Ngapain bego?" tanya Rifat pada Alin yang berdiri di dekat parkiran sekolah sambil celingukan.
"Nungguin gus Rifat dong. Aku mau bayar hutang" jawab Alin yang terlihat sumringah saat Rifat datang dengan kedua temannya.
"Buat lo saja. Ikhlas gue bayarin lo" balas Rifat yang terus berjalan diiringi kedua temannya.
"Ok. Thank you" jawab Alin sambil mengantongi lagi uangnya dan menaiki motornya yang berjejer tak jauh dari motor keren Rifat dan kedua temannya.
"Lo naik motor? Tahu jalan pulang? Entar nyasar lagi" ucapan Rifat membuat Tora dan Axel tertawa renyah.
"Lo nyasar?" tanya Tora di sela tawanya.
"Oh iya, aku mau ke dokter hewan, gus. Ada kucing yang harus aku selamatkan" ucap Alin yang melupakan kucingnya.
"Gue anterin, tapi pulang sendiri nanti. Gue ada perlu" kata Rifat.
"Siap. Terimakasih ya gus" kata Alin yang sudah sempurna mengenakan helmnya.
Lantas Alin segera menuju dokter hewan untuk mengambil kucing yang tadi pagi kecelakaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Nofi Otafia
lanjut kak
2023-10-04
1