"Hei tunggu, kamu telat ya?" sebuah suara membuat Alin menoleh saat langkah mantapnya hendak ke ruang guru.
"Eh, iya. Maaf bu, tadi saya nyasar sedikit. Masih belum hafal jalan" jawaban Alin memanglah sebuah kenyataan.
"Alasan saja! Kalau telat ya telat" balas guru itu.
"Iya bu, maaf" ucap Alin.
"Kamu murid baru? Sepertinya saya belum pernah melihat wajah kamu. Eh, tapi sepertinya pernah" kata bu guru yang intonasi suaranya melemah di akhir perkataanya.
"Saya murid baru, bu. Pindahan dari Malang. Baru hari ini masuk sekolah. Jadi memang masih sedikit bingung dengan jalanannya. Ehm, tadi saya salah belok bu, jadinya nyasar deh" kata Alin.
"Oh, kamu yang adiknya Senopati ya?" tanya guru itu mulai faham.
"Betul bu. Itu kakak saya" jawab Alin riang, senang juga punya kakak terkenal.
"Baiklah, tapi telat tetap saja telat dan kamu harus dihukum juga. Sebelum kamu masuk ke kelas, kamu harus lari keliling lapangan sebanyak tiga kali. Setelah hukuman kamu selesai, nanti saya yang akan mengantarkan kamu ke kelas" kata Bu guru.
"Huft, baiklah bu" jawab Alin yang sebelumnya berfikir akan mendapatkan dispensasi di hari pertamanya.
Bu guru mengantar Alin ke lapangan untuk melakukan hukumannya, dan ternyata sudah ada cowok yang tadi juga datang telat dengannya.
Alin melihat cowok itu sudah berlari di posisi memunggunginya, membuatnya belum bisa melihat wajah cowok itu.
"Tenang, kamu nggak lari sendirian. Ada kakak kelas kamu yang juga kena hukuman" kata bu guru.
Cowok yang tengah memutari lapangan itu tahu jika adik kelasnya ikut berlari, dia jadi gelagapan.
Ingat jika helmnya ada di pinggir lapangan beserta tasnya, cowok itu segera menepi dan mengambil helmnya untuk dikenakan.
Jadilah dia berlari sambil memakai helm full face nya. Cuaca yang agak panas tak dia hiraukan entah karena apa hingga dia memutuskan untuk berlari sambil memakai helm.
"Hei kak, tunggu" seru Alin nampak heran, sepertinya tadi cowok itu berpeluh karena berlari. Tapi sekarang malah memakai helm.
Cowok itu tak menggubris, tetap berlari meski Alin terus saja berusaha mengimbangi langkahnya.
"Kak. Aneh banget sih. Kenapa lari pakai helm?" setengah berteriak saat Alin sudah bisa mensejajari langkah cowok itu.
"Bukan urusan lo" balas si cowok.
"Tapi terimakasih sudah mau menunjukkan jalan ya kak. Kalau nggak ada kakak, pasti aku datangnya lebih siang" kata Alin masih berusaha untuk mengobrol dengan kakak tingkatnya yang jual mahal itu.
"Sama-sama" jawab cowok itu singkat.
"Jangan kenceng-kenceng dong larinya, kak" keluh Alin sedikit lelah.
Tapi cowok itu hanya menoleh singkat tanpa mau memperlambat langkahnya hingga membuat Alin tertinggal jauh.
Hukuman Alin hanya tiga putaran, sementara cowok itu lima putaran dan mereka berdua menyelesaikan hukumannya hampir bersamaan dan menghadap bu guru yang masih saja menunggui mereka di tepi lapangan.
"Saya sudah lari tiga putaran, Bu" kata Alin melapor dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
"Bagus, istirahat sebentar lalu ibu akan mengantarmu ke kelas" kata bu guru.
"Hei, Rifat. Kamu juga sudah kan? Kemari dulu!" perintah bu guru sembari melambaikan tangan agar cowok yang ternyata bernama Rifat itu mendekatinya.
Alin sedikit terpaku mendengar nama Rifat disebut. Selalu teringat akan gus Rifat yang telah meninggalkannya hingga membuat Alin harus pindah sekolah demi bisa melupakan pria yang dianggapnya kakak terbaik.
"Ya bu Kris" jawab cowok itu masih tak mau menanggalkan helmnya.
"Yang sopan ya, buka helm kamu atau hukuman kamu akan ibu tambah!" perintah bu guru yang ternyata bernama bu Kris itu tak diindahkan oleh si cowok. Membuat Alin semakin penasaran dengan wajahnya.
"Jangan bu" sepatah-sepatah kata yang keluar dari mulut cowok itu semakin Alin resapi nada dan intonasinya.
Mencocokkan dengan memori di otaknya akan suara dari Rifat yang dia kenal.
"Baiklah, push up dua ratus kali, menyikat toilet cowok, atau buka helm kamu!" pilihan yang sulit, sebenarnya cowok itu tak mau ketiganya.
Tapi cuaca yang panas, pasti membuat toilet menjadi jorok. Dan untuk push up dua ratus kali pasti akan membuat perut cowok itu kembali lapar.
Akhirnya, mau tak mau dia membuka helm full face nya secara perlahan. Gerakan yang semakin terasa lambat bagi Alin yang sangat penasaran terhadapnya.
Hampir satu menit hanya untuk membuka helm, tapi itu berhasil membuat Alin melotot tajam saat mendapati wajah cowok dihadapannya.
"Gus Rifat? Benar ini gus Rifat?" tanya Alin sedikit berteriak. Entah harus bagaimana dia bereaksi, antara senang karena bertemu teman terdekatnya atau harus marah karena telah dibohongi olehnya.
Cowok itu hanya terdiam, belum ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Gus? Namanya Rifat, bukan Agus" kata bu Kris.
"Dia ini Gus Rifat, bu. Iya kan? Benar kan, gus?" tanya Alin semakin tak tenang, tangannya sampai berani mengguncang seragam putih yang Rifat pakai karena tak berani memegang tangannya.
"Gus, jawab dong. Kenapa diam saja sih?" Alin telah menangis karena tak juga mendapat jawaban darinya.
*gus adalah panggilan untuk keturunan laki-laki yang masih muda dari seorang kyai / ulama besar. Panggilan ini biasanya kerap dipakai di daerah Jawa Timur.
"Rifat, kenapa diam? Sampai nangis anak orang karena kamu" kata Bu Kris semakin bingung.
"Iya Lin, gue Rifat" pada akhirnya Rifat tak bisa mengelak.
"Kenapa bohong katanya pergi ke Papua? Ini kan di Jakarta, gus" kata Alin geram, dia bahkan sudah mencubit pinggang Rifat dengan gemasnya.
"Sakit, Lin. Maaf! Nanti gue jelasin" jawab Rifat yang tak mau identitasnya terbuka di hadapan sang guru.
Alin mengerti, dia berhenti menangis dan juga berhenti mencubiti Rifat.
"Kalian kenal? Bagaimana bisa?" tanya bu Kris.
"Kenal bu" jawab mereka berbarengan.
"Ah sudahlah, teruskan nanti saja. Sekarang kalian masuk kembali ke kelas. Alina, biar ibu antar kamu ke kelas ya" ucap bu Kris yang hanya diangguki oleh Alin.
Segera Rifat pergi dengan terburu-buru selagi ada kesempatan. Dia masih belum bisa untuk menjelaskan apapun pada Alin.
Sedangkan Alin juga tak bisa membuat Rifat bersuara karena diapun harus masuk kelasnya sendiri.
"Ehm, bu guru. Gus Rifat, eh maksud saya, kak Rifat kelasnya dimana?" tanya Alin sembari berjalan menyusuri koridor sekolah bersama bu Kris.
"Rifat si anak nakal itu? Dia masuk kelas XI IPS-2" jawab Bu Kris.
"Dia nakal ya bu?" tanya Alin lagi.
"Sangat. Hampir tiap hari terlambat, suka berbuat onar di sekolah, dan masih banyak lagi. Ibu sampai pusing dibuatnya. Tapi entah bagaimana dia bisa secerdas itu" kata bu Kris.
Alin tersenyum kecil, Rifat memang cowok yang pandai. Tapi untuk menjadi nakal, bagaimana bisa?
Heran Alin dibuatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments