The Death Blossom
Arsyelin menatap tajam penuh ketelitian pada selembar kertas usang yang sudah tampak menguning pada bagian sudut-sudutnya dengan dahi
mengerut dalam.
Seolah masih belum cukup, gadis itu bahkan merasa perlu mengangkat kertas itu dan mendekatkan pada kedua matanya yang melebar.
Sudah berhari-hari ia melaksanakan tugas yang
diberikan kliennya. Mencari jejak kematian anak semata wayang mereka yang tiba-tiba lenyap seolah ditelan bumi. Seluruh sumber daya telah dikerahkan oleh kliennya tersebut sehari setelah menghilangnya putri mereka. Namun rupanya, usaha mereka sama sekali tidak menemui hasil. Pihak berwajib bahkan telah menyerah dan menutup kasus tersebut.
Meskipun demikian, pihak keluarga masih tidak ingin
melepaskan kasus itu begitu saja. Setahun telah berlalu sejak kehilangan yang begitu menyesakkan, namun mereka tak juga menyerah untuk menemukan putri mereka. Tidak peduli hidup atau mati. Membuat mereka akhirnya memutuskan menyewa jasa detektif independen. Harapan terakhir yang mereka miliki.
Jika dengan usaha ini pun tak jua menemukan misteri hilangnya putri mereka, mungkin saat itulah mereka harus merelakan diri memeluk keikhlasan.
Dan di sinilah kasus mereka berakhir. Di tangan
seorang gadis remaja yang seusia putri mereka. Di tangan Arsyelin Wangsaguna. Seorang detektif muda yang tampak menjanjikan harapan.
Meskipun usianya terbilang masih sangat muda, namun gadis itu telah memegang sertifikat dari sekolah detektif paling bergengsi di dunia. Tak seorang pun dalam dunia intelijen yang meragukan murid lulusan akademi tersebut. Membuat mereka dengan begitu mudah mendapatkan kepercayaan ketika mendirikan jasa pelayanan selepas lulus dari akademi. Tidak peduli di negara mana pun mereka tinggal. Kemampuan dan keberadaan mereka akan selalu diakui dan disegani. Tanpa terkecuali Arsyelin.
Gadis itu asli warga Indonesia. Ayahnya memiliki garis
keturunan Raja Brawijaya. Sementara ibunya berdarah Minang. Namun ia memilih tinggal di Redmond, Washington DC. Yang menurutnya menjadi tempat paling potensial sebagai tempat pertama yang harus ia tinggali untuk mengasah kemampuannya.
Apakah ia akan tinggal di sana selamanya? Tentu saja tidak. Gadis itu sudah menuliskan road map hidupnya. Ia ingin menjalajah ke seluruh dunia. Mempelajari kehidupan manusia yang berbeda di setiap sudut bumi berbekal keahlian yang ia miliki.
Namun, sebelum mimpi itu terwujud, ia harus menyelesaikan kasus kesebelas yang harus ia tangani dalam kiprahnya menjadi detektif independen selama tiga bulan tinggal di Washington.
Sebuah kasus yang sungguh menguras energi fisik dan pikirannya. Ia bahkan sudah mengerahkan semua jaringan yang mungkin bisa membantunya,
namun, sudah seminggu berlalu dan ia hanya menemukan selembar kertas usang dengan bercak darah dengan garis-garis samar yang menyerupai sidik jari.
Dan yang lebih membuatnya frustrasi lagi adalah, tulisan yang ada pada selembar kertas tersebut. Tulisan kuno zaman pra sejarah yang tak terdeteksi mesin tercanggih sekalipun.
Di mana kertas itu adalah satu-satunya petunjuk yang dengan begitu susah payah ia temukan setelah menggali saluran pembuangan di rumah sang gadis remaja yang menghilang. Ia sudah menyerahkan kertas usang itu pada bagian otoritas sidik jari. Hasilnya seratus persen tepat, milik sang gadis.
Lalu apa? Tulisan aneh yang menggurat dengan begitu kuat pada kertas tersebut tak memberikan petunjuk apa pun selain membuatnya semakin frustrasi.
Tiba-tiba, gadis itu merasakan kepalanya berdenyut. Ia
menghela napas panjang sebelum akhirnya melirik jam weker yang ada di meja kerjanya. Pandangannya hanya menatap datar jarum jam yang menunjukkan angka 01.00 dini hari itu. Seketika ia teringat, ia belum makan sejak siang. Pantas saja otak dan perutnya sudah berteriak keras menuntut hak mereka.
Sebagai manusia beradab yang menghargai kehidupan, Arsyelin tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan gejolak kebutuhan fisiknya tersebut.
Akhirnya, dengan kengganan yang terlihat begitu jelas
dari gestur tubuhnya yang tampak lunglai, gadis itu menyambar mantel coklat panjang yang tergantung pada tiang gantungan pakaian di sudut ruangan.
Jika bukan karena hari-harinya yang terlampau begitu
sibuk, ia pasti pergi berbelanja dan memenuhi lemari pendinginnya dengan banyak makanan.
Sayangnya, ia sungguh tak memiliki waktu seluang itu. Dan lebih sialnya lagi, selembar kertas usang yang baru saja dikembalikan otoritas sidik jari itu telah menyedot perhatiannya hingga membuatnya lupa membeli makanan ketika perjalanan pulang ke rumahnya. Membuatnya terpaksa kelayapan tengah malam mencari makanan.
Beruntungnya, tidak jauh dari tempatnya tinggal ada gerai makanan yang buka 24 jam.
Ini memang sudah memasuki musim semi. Namun tetap saja, udara malam terasa seperti musim dingin baginya yang ditakdirkan lahir di iklim tropis. Membuatnya semakin enggan keluar rumah.
Tapi sungguh, dirinya benar-benar tak memiliki pilihan lain, bukan? Kecuali jika ia ingin mati kelaparan. Dan sayangnya, Arsyelin tidak akan memilih cara mati seperti itu.
Gadis itu merapatkan mantelnya begitu ia menuruni anak tangga luar rumahnya yang diapit oleh pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang. Berjajar rapi sepanjang jalan di halaman. Terus tersambung dengan jarak yang sama hingga sampai pada pintu gerbang yang memiliki tinggi sepinggang.
Pintu gerbang yang terlihat seperti gerbang tua itu terbuat dari kayu ek yang tampak kokoh. Memagari seluruh halaman rumah tua itu. Rumah yang Arsyelin sewa dari sepasang manula yang kini memilih tinggal bersama anak-anaknya.
Beruntung bagi Arsyelin, meskipun bangunan rumah itu terlihat begitu klasik dengan model yang jauh tertinggal ditelan bangunan sekitar yang tampak begitu modern, tetapi rumah itu terawat dengan sangat baik. Seluruh lantai terbuat dari kayu. Sekitar rumah penuh dengan tumbuhan yang tampak terawat dengan pola tanaman yang begitu menyejukkan pandangan.
Rumah tua itu baru ditempati Arsyelin selama tiga bulan. Dan ia sungguh tak memiliki waktu untuk merawat taman yang luasnya bisa dipakai untuk kembali mendirikan satu bangunan lagi itu.
Gadis itu menolehkan kepalanya ke samping sebelum
sebelah tangannya membuka gerendel yang hanya digantungnya sembarang. Pandangannya menatap penuh prihatin bercampur penyesalan pada tanaman sulur yang mulai menjalar ke mana-mana. Lantas bergumam pelan.
“Jangan khawatir, besok pagi-pagi sekali akan kupanggilkan tukang kebun untuk merapikan sulur liarmu itu,” lirihnya seraya menyeringai lelah. Sebelum akhirnya dengan gerakan cepat, menutup pintu gerbang dan berjalan dengan langkah lebar di sepanjang trotoar.
Kedua bola mata besarnya tampak menyipit begitu
melihat kabut yang turun semakin tebal. Hal yang tidak terlalu mengherankan sebetulnya. Karena tempat tinggalnya berada di kawasan yang tidak jauh dari
hutan.
Pohon-pohon cemara tinggi menjulang di sepanjang jalan. Diselingi oleh pohon-pohon sakura yang tampak meranggas karena telah menggugurkan daun-daunnya. Bersiap menumbuhkan tunas-tunas baru.
Selain itu, tidak jarang binatang liar berseliweran turut melintasi jalan raya di sana. Membuat pemerintah daerah menetapkan peraturan ketat terhadap kecepatan kendaraan yang melintas. Khawatir jika menabrak rusa atau kelinci liar yang kebetulan tengah menyeberang jalan.
Arsyelin bukanlah gadis penakut. Sama sekali bukan. Ia cukup percaya diri melintasi jalanan sepi tengah malam. Selain karena ia selalu memohon perlindungan Tuhan, ia juga menguasai berbagai teknik ilmu bela diri. Menghadapi lima pemuda liar dalam kondisi mabuk yang mengganggunya bukanlah masalah baginya. Ia bisa dengan mudah menjatuhkan mereka semua hanya dalam hitungan detik. Seperti yang ia lakukan beberapa waktu lalu ketika penyelidikannya menuntutnya melakukan pengintaian hingga tengah malam.
Tetapi sekarang, entah kenapa tiba-tiba ia merasakan
firasat buruk menghantam benaknya. Jantungnya berdegup kencang penuh kewaspadaan.
Seketika, pandangannya yang telah terlatih tampak begitu awas menatap sekitar. Memindai setiap gerak sekecil apa pun yang tampak mencurigakan. Langkah kakinya bahkan turut melambat. Melangkah tanpa suara penuh kehati-hatian.
Hening. Tak ada gerakan apa pun yang bisa menjadi
alasannya untuk khawatir.
Ini sungguh aneh, tak ada apa pun yang mencurigakan. Tetapi kenapa bulu kuduknya tiba-tiba meremang? Mungkinkah di Washington juga ada
hantu kuntilanak seperti di desanya yang begitu populer?
Ketika pikiran gadis itu dipenuhi dengan berbagai
dugaan yang mungkin bisa menjawab kegelisahannya, sesosok pemuda tiba-tiba muncul di hadapannya entah dari mana. Membuatnya jatuh terjengkang dengan kedua mata melotot saking terkejutnya.
“Siapa kau?”desis gadis itu penuh kewaspadaan. Dahinya berkerut semakin dalam ketika dilihatnya pemuda dengan pakaian aneh ala pendekar zaman
pra sejarah itu menatapnya kebingungan. Sorot matanya yang sebening kristal menatap Arsyelin penuh penilaian. Seolah tidak mempercayai penglihatannya.
“Apa kau bisa melihatku?” tanya pemuda itu seraya
menyipitkan mata, tampak tak percaya ketika melihat reaksi Arsyelin yang sepertinya mampu melihat eksistensinya. Membuat Arsyelin seketika tertawa mencemooh. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa begitu kesal dengan makhluk di hadapannya itu. Mungkin karena efek dari rasa lapar yang menderanya.
Uap hangat mengepul dari mulutnya ketika ia membuka bibir untuk berbicara. “Tentu saja aku bisa melihatmu. Jika tidak, tidak mungkin kau bisa membuatku terjengkang, bukan?” dengus Arsyelin sedikit geram. Segera berdiri dan mengibas-ngibaskan pakaiannya dengan gaya yang berlebihan sebagai pelampiasan rasa jengkel.
Sepertinya hari ini adalah hari paling sial yang ia
jalani, sudah didera kelaparan, ditambah lagi dengan masalah baru di mana pemuda di hadapannya kini tampak menyeringai dengan sangat menjengkelkan.
Merasa ada yang tidak beres, gadis itu bergegas memasang kuda-kuda dengan tatapan awas. Bersiap jika keadaan memaksanya untuk berkelahi.
“Bagus sekali. Aku sudah lelah meneriaki orang-orang
yang lewat sejak sore. Tapi mereka semua tuli dan buta. Tak satu pun yang bisa melihat apalagi mendengarku. Sekarang ke marilah. Kau harus membantuku,” ucap pemuda itu ringan. Tangannya bahkan dengan begitu santai menarik pergelangan
Arsyelin, menyeret paksa gadis itu supaya mengikutinya.
Mendapati dirinya ditarik begitu saja seperti hewan
ternak, jelas membuatnya melotot tak percaya. Baru saja mulut Arsyelin membuka lebar hendak menyerukan protes setelah susah payah mengendalikan keterkejutannya, pemuda itu menghentikan langkah mereka tepat di bawah pohon sakura besar yang di bawahnya ditumbuhi semak belukar yang begitu lebat.
Pemandangan yang tersaji di hadapannya benar-benar
membuatnya kehabisan kata. Sesosok tubuh manusia tengah terbujur kaku dengan darah kering yang melumuri keningnya.
Arsyelin yang sudah terlatih menghadapi hal-hal
seperti ini langsung menganalisa segala sesuatu yang mungkin saja terjadi.
Ia terdiam, mengubah ekspresi keterkejutannya menjadi ketenangan secepat kilat. Bahkan sebelum pemuda aneh yang menyeretnya menyadari keterkejutan yang sesaat lalu ia
tunjukkan secara alami sebagai manusia.
Gadis itu berpikir cepat. Melirik ekspresi si pemuda
yang tampak muram melalui sudut matanya.
Pemuda ini menampakkan kesedihan yang jujur. Tidak mungkin dia pelakunya, bukan? Tetapi, pintu kemungkinan itu akan selalu terbuka. Bukankah seorang psikopat juga sangat mahir memanipulasi lawan dengan ekspresi mereka?
Arsyelin menelan ludah. Kabut turun semakin tebal. Jalanan tampak begitu lenggang. Bahkan sedari tadi ia tak melihat seorang pun yang melintas. Pepohonan yang begitu rimbun menambah sensasi mengerikan yang kini mulai menjalari sekujur tubuhnya. Terlebih lagi, pemuda yang tiba-tiba muncul entah dari mana itu memiliki tenaga yang begitu besar. Ia bisa merasakan
kekuatan si pemuda ketika pergelangan tangannya ditarik paksa. Kekuatan seseorang yang terlatih.
Dengan berbagai pertimbangan yang melintas cepat di
kepalanya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk segara bertanya.
Jika memang pemuda ini berbahaya dan ia harus melawannya, maka lakukan itu dengan cepat selagi energinya masih cukup kuat. Setidaknya, ia bisa melawan dan segera lari ketika terdesak.
Dengan nada tenang penuh kehati-hatian, ia akhirnya
bersuara. “Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kau sudah menyeretku paksa ke tempat ini, sebaiknya kau memiliki penjelasan yang bagus agar aku tidak salah
sangka dan bersikap tak adil terhadapmu,” tutur Arsyelin tenang.
Sorot matanya menatap lurus ke arah manik sewarna emas yang tampak begitu indah yang kini juga menatapnya dalam. Seolah pemuda itu ingin memastikan pendengarannya tidak keliru. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai takjub. Ia sungguh tak menyangka gadis yang terlihat begitu berantakan di hadapannya ini bisa dengan begitu tenang ketika melihat mayat dengan luka senjata api yang mengerikan. Melubangi dahi temannya dan menghancurkan isi kepalanya.
“Apakah kau tidak takut?” tanya si pemuda penuh
penilaian, bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat menawan.
Sayangnya, Arsyelin sama sekali tidak tertarik dengan pesona yang terang-terangan ditunjukkan si pemuda di hadapannya. Perasaan waspada mengusai akal sehatnya jauh lebih kuat daripada imajinasi liar yang di dapat pandangannya yang bisa saja mengelabuhi akalnya.
Dengan dagu terangkat, Arsyelin balas menyeringai. Jelas sekali bukan, dalam kondisi seperti sekarang ini, ia tidak mungkin menunjukkan kelemahannya.
“Jika aku takut, aku tidak mungkin keluar rumah malam-malam hanya untuk mencari makanan. Sudah cukup basa-basinya. Kau tidak mungkin menyeretku
ke mari hanya untuk mengobrol, bukan?” tanya Arsyelin santai. Sempurna menyembunyikan
kegelisahan hatinya.
Sungguh di luar dugaan, pemuda itu langsung terkekeh mendengar jawaban arogan Arsyelin. “Kau benar. Aku hanya ingin kau melapor pada polisi. Seseorang telah membunuh temanku. Apa kau bersedia melakukannya untukku?” tanya si pemuda seraya menatap penuh prihatin pada sesosok mayat yang baru Arsyelin sadari adalah seorang pemuda yang terlihat seumuran dengannya.
Wajahnya berlumuran darah kering. Dalam keremangan dan bayang-bayang gelap dedaunan, jelas sedikit sulit mengenali wajah itu jika hanya menatap selintas lalu.
Demi mendengar permintaan yang terdengar cukup janggal di telinga Arsyelin, gadis itu pun bertanya spontan. “Kenapa kau tidak pergi ke kantor polisi sendiri? Kenapa harus menyuruhku? Apa kau takut kau akan dituduh sebagai pelakunya?” tanya Arsyelin tanpa keraguan.
Pemuda itu terkekeh ironi mendengar pertanyaan Arsyelin. “Jika aku bisa melakukannya sendiri, aku pasti sudah melakukannya sejak empat jam yang lalu. Buat apa aku harus repot-repot meneriaki orang-orang dan berharap keberuntungan mereka bisa mendengarku?”
Jawaban santai pemuda itu seketika membuat Arsyelin yang tengah mempelajari sekitar langsung menoleh dan memfokuskan perhatian padanya.
“Apa maksudmu?” tanya Arsyelin dengan kening berkerut dalam dan mata menyipit menuntut penjelasan.
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang ketika teringat ucapan si pemuda ketika mengejutkannya di trotoar. Mungkinkah?
Si pemuda tampak terdiam sejenak. Seolah tengah
menimbang sesuatu sebelum membuka mulutnya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan gadis di hadapannya. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk berkata jujur.
“Aku adalah bangsa jin. Tak satu pun manusia biasa yang mampu melihatku. Saat ini, aku berada pada titik terlemah, aku tak mampu menampakkan diri di hadapan bangsa manusia. Jika tidak, intisariku akan hancur dan aku akan mati. Karena itulah, aku hanya bisa berharap ada seseorang yang bisa melihatku secara alami. Dan ternyata, kau orangnya,” jelas si pemuda dengan seringai lebar.
Arsyelin membeku. Berusaha keras mencerna informasi yang baru saja diterima akalnya. Perlahan, pandangannya beralih pada sosok manusia yang kini terbujur kaku di hadapannya. Dilihat dari sisi mana pun, sosok yang terbujur kaku itu adalah manusia. Tapi ....
“Dia temanmu? Kau bisa berteman dengan manusia?” tanya Arsyelin dengan getar keraguan yang tampak begitu nyata.
“Ya, dia temanku. Dia bisa melihatku sama seperti kau
bisa melihatku. Aku sudah bersamanya sejak ia kecil. Kami─”
“Lalu, kenapa kau membiarkan temanmu terbunuh?” tanya Arsyelin memotong kalimat si pemuda. Merasa tidak sabar ingin mendengarkan penjelasan atas rasa ingin tahu yang tiba-tiba membuncah memenuhi pikirannya. Perlahan menggeser rasa kewaspadaannya. Berubah menjadi rasa jengkel dengan alasan yang ia sendiri tak memahaminya.
“Aku tidak sedang bersamanya ketika kejadian tragis itu berlangsung. Aku sedang─”
“Bagaimana kau akan meyakinkanku bahwa bukan kau pelakunya?” tanya Arsyelin penuh selidik. Sorot matanya memancarkan kecurigaan yang begitu pekat.
Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang mempercayai keberadaan bangsa jin. Ia sangat ingat betapa sering ayahnya menasihatinya agar tidak terjerat dengan tipu daya jin yang bisa menyesatkan pikirannya. Meskipun ayahnya juga mengatakan bahwa bangsa jin sama seperti bangsa manusia. Ada yang baik dan ada yang jahat. Tetapi, tetap saja. Sesama makhluk yang terlihat saja ia harus menjaga kewaspadaan, apalagi jika makhluk itu tak terlihat.
Lokasi di mana Arsyelin bertemu dengan Isaac. Credit photo @thamychan, my halu bestie yang sekarang tinggal di Washington.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Evelyne
gw lagi bosen baca novel halu bos dapet sekertaris nya... atau anak buah dapet bos nya... gw mau coba baca yang ini... semoga beda...cuuuusss ayo lanjut baca guys...
2022-08-03
0
marigold
Semangat terus penulis kesayangaaan🥰🥰
2022-04-14
0
taetae🐯
nyoba" buka kayanya seru tp blm menemukan titik "seru" jd masih penasaran ,penataan katanya bagus dan jelas jd ga membingung kan ,tp blm tau maksud cerita ini ,yaa lanjut dlu deh mudah"Han seru cape bngt buka" cerita gada yg seru
2022-01-22
0