Kewaspadaan Arsyelin meningkat begitu mendengar
penawaran Isaac yang tampak menjanjikan. Makhluk itu terlihat mampu melakukan apa saja seorang diri, kenapa ia begitu berusaha keras mengajak dirinya untuk menjalin kerja sama? Pasti ada sesuatu yang tidak benar.
Gadis itu menatap Isaac yang tampak bersungguh-sungguh di hadapannya dengan dahi mengerut dalam. “Bantuan seperti apa yang kau harapkan dariku? Bukankah kau memiliki kemampuan yang bisa dengan mudah memecahkan suatu masalah?” tanya Arsyelin penuh selidik. Yang sungguh tak pernah disangkanya, pemuda itu justru tertawa bangga mendengar
sindirannya.
Sepertinya makhluk astral ini sungguh tak mengerti bahasa manusia.
“Oh, kau sungguh membuatku tersanjung. Aku memang bisa melakukan apa pun tanpa harus mengandalkan siapa pun jika aku berada di alamku. Tapi tidak ketika aku berada di alam manusia. Ada batasan-batasan yang tak mampu kulalui. Karena itulah aku membutuhkanmu untuk melakukannya,” jelas Isaac terus terang.
Arsyelin mengerutkan dahi semakin dalam. “Batasan? Batasan seperti apa yang kau maksud?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Ia sungguh tidak tahu ada hal semacam itu.
Isaac menyangga dagunya dengan sebelah tangan yang bertumpu di atas meja. Menatap kejauhan, menembus dinding yang berada di belakang punggung Arsyelin. Seolah tengah menatap sesuatu yang jauh di masa lampau.
“Kau tahu, sebagian manusia ada yang berhasil menyelami kehidupan kami. Entah bagaimana, mereka tahu apa saja yang menjadi kelemahan kami. Seperti dirimu yang mengancam akan menghancurkan intisariku kala itu, apa kau ingat?" Saat berkata demikian, pandangan Isaac beralih pada gadis yang tampaknya tengah menunggu penjelasannya dengan takzim. Isaac menatap gadis itu dengan sorot mata meredup yang mengundang belas kasihan.
Arsyelin langsung berdeham salah tingkah. Merasa sedikit bersalah. Ia tak pernah terpikirkan bahwa makhluk selain manusia juga memiliki perasaan semacam itu. Yang ia tahu hanya bagaimana melindungi dirinya dari gangguan makhluk jenis ini. Bagaimana mungkin ia memikirkan perasaan lawan di saat ia sendiri tengah dilanda perasaan terancam?
Respon yang ditunjukkan Arsyelin membuat Isaac menatapnya dalam sebelum akhirnya menyeringai ironi. “Ya, seperti itulah. Karena aku bisa melihat ucapanmu kala itu tidak bisa dianggap hanya bualan, maka kuasumsikan kau mengerti batasan apa yang kumaksud,” lanjut Isaac telak. Membuat Arsyelin menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tersenyum lebar dengan sedikit gurat penyesalan. Karena ia telah melupakan satu fakta penting; setiap tindakan, pasti memiliki sisi emosional sebagai alasan. Tidak seharusnya ia berbuat kasar pada makhluk ini, bukan?
“Bagaimana, apa kau menerima tawaran kerja sama yang kuajukan padamu?” lanjut Isaac, bahkan sebelum gadis di hadapannya sempat mengeluarkan sepatah kata. Karena ia yakin, gadis seperti ini tidak akan dengan mudah mengungkapkan permohonan maaf, meskipun dirinya telah berhasil memancing perasaan bersalah gadis itu. Yang memang menjadi tujuannya. Karena ia tahu, sisi emosional itu akan menjadi kunci kelengahan si gadis keras kepala ini.
Di sisi lain, Arsyelin tampak bimbang. Jika tawaran itu berasal dari manusia, gadis itu tak akan ragu sedikit pun untuk mengiyakan. Sayangnya, tawaran itu berasal dari makhluk astral yang kadar bisa dipercayanya masih dalam tanda tanya. Meskipun ia bisa melihat kesungguhan dari diri Isaac, tetap saja, kewaspadaannya jauh lebih besar. Makhluk ini memang terlihat sangat kompeten dalam menguraikan benang kusut yang nyaris saja menjerat lehernya, tetapi itu baru dugaan sementara
berdasarkan instingnya. Belum tentu benar. Atau jangan-jangan, penjelasannya itu, yang tampak begitu masuk akal dan meyakinkan hanyalah bualannya saja?
Hanya omong kosong untuk membuat dirinya tampak begitu bodoh dan mengikuti kehendaknya?
Segala pikiran buruk itu membuat Arsyelin merasa
jengkel secara tiba-tiba. Jika sampai terbukti makhluk ini tengah mengerjainya, lihat saja─
Di saat Arsyelin masih dibayangi keraguan yang pekat,
ponselnya tiba-tiba berdering. Mengalihkan perhatiannya dari kesibukannya menilai Isaac.
Arsyelin secepat kilat mengangkat panggilan itu
begitu pandangannya menangkap nama yang tertera di sana.
“Adam, apa kau menemukan sesuatu?” tanyanya cepat, bahkan sebelum si penelepon mengucapkan sepatah kata pun. Mengabaikan tatapan penuh tanya pemuda di hadapannya.
Helaan napas berat terdengar, membuat raut penuh Arsyelin langsung memudar. Sepertinya ia harus mengubur harapannya bahkan sebelum temannya itu mengatakan apa pun, karena jelas sekali bukan kabar baik yang akan ia dengar.
“Maafkan aku, Lin. Aku dan Toby baru saja menyelam ke dunia bawah. Meretas segala situs sejarah. Namun
kami tidak menemukan apa pun yang bisa menjelaskan tentang tulisan kuno itu. Ada banyak sekali yang mirip, semuanya berkaitan dengan mantra sihir. Tetapi aku bisa memastikan bahwa guratan tulisan itu sangat berbeda. Membuatku jadi
berpikir, mungkinkah ini bukanlah asli tulisan kuno? Mungkin saja hanya tulisan tangan biasa yang dibuat asal-asalan guna mengecoh kepentingan penyidikan. Lin, kurasa ...." Hening sejenak. Pemuda itu tak lekas melanjutkan kalimatnya. Tampaknya ia tengah menimbang-nimbang kalimat yang pas untuk menggambarkan isi pikirannya. Membuat Arsyelin mengerutkan dahi penuh tanya.
"Ada apa, Adam? Katakan saja apa yang kau simpulkan atas kasus ini," ucap Arsyelin menyadari kebimbangan Adam.
"Kurasa, ini hanya sebuah akal-akalan,” jelas Adam dengan nada sedikit bimbang di akhir kalimatnya.
Sebuah kalimat yang justru membuat Arsyelin tersenyum lebar. Menyalakan kembali api harapannya yang sempat meredup.
Segala bentuk perubahan gestur gadis itu tak luput
dari perhatian Isaac yang sejak tadi mendengarkan percakapan. Membuat pemuda itu mencibir Arsyelin dengan gaya mencemooh.
“Aku sungguh tak menyangka kau memiliki teman yang jauh lebih pintar darimu,” ucap Isaac dengan nada malas, menyangga kepalanya dengan sebelah tangan yang bertumpu di atas meja. Sedikit kesal karena sebelumnya gadis itu tampak meragukan analisanya secara terang-terangan. Namun sekarang lihatlah, gadis itu langsung mempercayai ucapan sosok di seberang panggilan, yang bahkan diucapkan dengan nada keraguan. Sedangkan dirinya yang penuh kepastian, begitu saja terabaikan. Jelas saja hal itu membuatnya kesal.
Arsyelin hanya melirik makhluk astral itu sekilas,
mengabaikan sikapnya yang menjengkelkan. Kembali memfokuskan perhatiannya pada lawan bicaranya di seberang sambungan. “Apa kau sungguh berpikir seperti itu, Adam?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
Gadis itu tahu pasti kapasitas seorang Adam Sherman. Temannya itu sangat ahli membaca tulisan. Membaca dalam segala arti. Serahkan saja
kertas dengan tanda tangan dan beberapa tulisan tangan padanya, maka ia akan dengan mudah menebak bagaimana karakter sekaligus kehidupan seperti apa yang tengah dijalani si pemilik tulisan tangan. Dan selama ini, tebakannya tidak pernah meleset barang semili. Temannya itu juga menguasai micro expression jauh lebih baik dari siapa pun ketika di akademi. Membuat siapa pun tidak akan
pernah mampu membohonginya. Karena perubahan gestur wajah sekecil apa pun, ia mampu memahami maknanya.
Jadi, jika Adam mengatakan A, maka Arsyelin tidak akan meragukannya sedikit pun. Karena ia tahu pasti siapa Adam.
“Ya, itulah yang seketika terlintas di benakku. Jika
demikian adanya, kau harus berhati-hati, Lin. Mereka sengaja merepotkan diri menyembunyikan kertas itu di saluran pembuangan, sengaja meninggalkan jejak di
sana, pasti bukan tanpa alasan. Mengingat bagaimana lihainya mereka, aku khawatir, sejujurnya mereka tengah menunggu orang sepertimu untuk mendatangi
sarang mereka.” Helaan napas berat kembali terdengar, “Kalau boleh jujur, aku ingin kau meninggalkan kasus ini. Tetapi sepertinya hal itu mustahil, aku tahu pasti siapa dirimu,” lanjut Adam seraya terkekeh pelan. “Lin, berhati-hatilah. Jangan
lengah sedikit pun. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu,” lanjut Adam dengan nada sungguh-sungguh. Membuat Arsyelin menelan ludah.
Jika Adam telah memperingatkannya seperti itu,
sepertinya hal yang akan ia hadapi jauh lebih sulit daripada apa yang dia perkirakan.
Namun, tak urung, gadis itu turut tertawa pelan, meskipun ia yakin sekali tawa itu tak mampu menyembunyikan sedikit rasa gentarnya dari perhatian Adam. “Tenang saja, Adam. Aku adalah Arsyelin Wangsaguna. Hal seperti ini tak akan menyurutkan langkahku,” ucap gadis itu mencoba menguatkan tekadnya kembali.
Adam tertawa dari seberang sambungan. “Ya, aku tahu. Selamat berjuang, Kawan. Jangan sungkan meghubungiku jika butuh bantuan.”
Dan sambungan telepon pun terputus setelah beberapa kalimat penutup.
Ketika gadis itu meletakkan kembali ponselnya ke atas
meja, ia baru menyadari keberadaan sosok jin yang kini tampak menggeletakkan kepalanya di atas meja, mengamatinya dengan tampang malas sekaligus jengkel secara bersamaan.
“Berhentilah memberiku tatapan seperti itu,” ucap
Arsyelin seraya berdiri, hendak menyeduh coklat panas. Rasa kantuknya memang telah menguap bersama antusiasnya mempelajari kasus yang tengah ia tangani. Namun kini, ia butuh sesuatu yang bisa membuat pikirannya tenang agar mampu berpikir jernih.
Ruang kerja Arsyelin adalah perpustakaan keluarga yang ia sulap sebagaimana seleranya. Menghadap ke halaman berumput yang sangat luas. Terletak tidak jauh dari dapur. Namun gadis itu tidak perlu ke dapur jika hanya ingin menyeduh kopi ataupun coklat panas, karena gadis itu sudah memindahkan dispenser ke ruang kerjanya.
“Jadi, apakah sekarang kau percaya padaku?” tanya
Isaac, menegakkan kembali badannya dengan kedua tangan bersedekap.
Arsyelin menoleh, sedikit merasa bersalah ketika
melihat ekspresi Isaac yang tampak kesal. Senyum tulus terukir di wajahnya yang oriental. “Ya, aku percaya padamu. Sekarang, apakah kau masih berniat
membantuku?” tanya gadis itu, kembali berjalan ke meja kerjanya setelah memenuhi gelas bergambar karakter panda itu dengan coklat panas.
“Tentu saja. Kau tidak seharusnya mengambil kembali
sesuatu yang telah kau katakan. Sebaliknya, kau harus bertanggung jawab,” jawab Isaac dengan nada tegas nan dalam, membuat Arsyelin langsung mendongak, menatap Isaac dengan wajah terkejut yang begitu nyata.
Sungguhkah kalimat tegas yang baru saja ia dengar berasal dari lisan sosok di hadapannya? Yang mana ia tahu pasti, sosok itu mudah merajuk dan menyebalkan. Kenapa rasanya sungguh sangat berbeda? Apakah pendengarannya bermasalah? Karena ia yakin sekali, suara tegas nan dalam itu lebih cocok dimiliki oleh para bangsawan yang terbiasa menghadapi protokoler yang melelahkan. Yang tidak akan mudah ditiru oleh semua orang, karena hal itu melibatkan faktor kebiasaan.
Menyadari kekeliruannya, Isaac langsung berdeham. “Apa kau berencana meminum coklat panas itu
sendirian? Kau sama sekali tak berniat menawariku, eh? Berikan padaku,” ucap Isaac cepat seraya menyerobot gelas di tangan Arsyelin. Dan tanpa peringatan, langsung menyesap isinya, membuat Arsyelin terbeliak tak percaya.
“Hei, aku sudah meminumnya. Jika kau mau, aku bisa
membuatkan yang baru untukmu,” seru Arsyelin tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
“Tidak perlu. Aku menyukainya. Jika kau masih mau minum, silakan buat lagi yang baru,” balas pemuda itu dengan gayanya yang sangat menyebalkan. Meleburkan segala kesan anggun nan bijaksana yang sesaat lalu tak sengaja ia tampakkan.
Arsyelin menyeringai menahan geram. “Terserah kau
saja. Sekarang bagaimana? Jelaskan padaku bagaimana kau berencana membantuku?” tanya gadis itu, mengembalikan topik pembahasan pada jalur yang seharusnya. Ia tidak ingin menghabiskan waktu yang sia-sia dengan makhluk antah berantah ini.
Isaac melebarkan kedua bola matanya yang tampak
bersinar terang bagai kejora. “Jadi, kau mengizinkanku tinggal di sini?”
“Apakah kau mendengarku mengatakan pernyataan yang bisa kau artikan seperti itu?” Gadis itu mengerutkan dahi seraya menyeringai seolah baru saja mendengar pertanyaan konyol.
“Kau telah menyepakati kerja sama kita. Itu artinya,
aku harus tinggal di sini. Akan ada banyak hal yang perlu kita bahas nantinya. Lagipula, aku tidak memiliki tempat tinggal, dan kau tinggal sendirian. Kenapa kau tidak membiarkanku menjagamu?” tanya Isaac dengan tampang polos. Sepolos pikirannya.
“Tetapi kau ini pria, dan aku wanita. Menurutmu apa
yang akan dikatakan orang-orang jika mereka melihat kita?” tanya Arsyelin dengan nada tegas nan menyudutkan.
Siapa sangka, pertanyaan itu justru membuat makhluk
astral di hadapannya tergelak. Rupanya Arsyelin tanpa sadar telah menganggap kehadiran sosok itu nyata adanya. Ia sungguh melupakan satu fakta mendasar
bagaimana sosok dari dimensi lain itu hidup di alam manusia.
“Jika itu yang kau khawatirkan, kau boleh tenang. Tidak ada manusia yang bisa melihatku selain dirimu, kecuali aku menampakkan diri. Jadi, kupastikan tidak akan ada pembicaraan buruk tentang kita dari
orang-orang. Mereka hanya akan menganggapmu seperti orang gila jika tanpa sadar kau mengajakku bicara di tempat umum.”
Arsyelin terdiam sejenak mendengarkan penuturan Isaac. Apa yang dikatakan makhluk ini ada benarnya juga. Setidaknya, jika ada yang menyerangnya karena kasus yang tengah ia tangani, ia tidak sendirian.
Gadis itu mengamati tubuh Isaac dari atas sampai bawah dengan tatapan menimbang-nimbang. Makhluk ini terlihat begitu tangguh dan kuat, pasti sangat bisa diandalkan jika ia dalam kesulitan. Simpulnya kemudian.
Atas pertimbangan itu, Arsyelin mengangguk. “Baiklah. Kau boleh tinggal di sini. Tetapi ingat, kau harus tahu batasanmu. Aku tidak mengizinkanmu masuk ke dalam kamar pribadiku. Apa kau mengerti?”
“Tenang saja. Aku tidak tertarik denganmu. Kau tidak
perlu berpikir macam-macam,” balas Isaac dengan seringai lebar. Mengedipkan sebelah mata. Sengaja betul membuat Arsyelin bersungut-sungut.
Tanpa terasa, pagi hampir datang menjelang. Isaac
ingat sekali, Jack sahabatnya dulu selalu terserang demam setelah begadang. Ingatan itu membuatnya menatap Arsyelin penuh penilaian. Gadis ini pastilah sudah berhari-hari kurang tidur. Wajahnya terlihat begitu lelah meski senantiasa terbungkus semangat yang seolah tak pernah padam. Di sekitar bola matanya yang besar tampak lingkaran hitam samar. Menunjukkan bahwa si empu pastilah kurang tidur.
Isaac berdecak penuh ironi. Menatap Arsyelin dari atas
hingga bawah dengan tatapan kasihan. “Pergilah tidur. Otak yang kelelahan tidak akan mampu bekerja dengan baik. Berikan hak mereka untuk beristirahat. Aku akan menjaga tempat ini."
“Tapi aku harus─”
“Tidak ada tapi-tapian. Pergilah tidur. Seperti janjiku
padamu, aku akan membantumu memecahkan kasus ini sampai tuntas. Pergilah,” perintah Isaac tegas. Lagi-lagi, nada tegas sulit dibantah itu keluar dari
lisan Isaac tanpa ia sadari. Membuat Arsyelin menyipitkan mata samar. Mungkinkah jin biasa bisa memiliki kemampuan seperti itu?
Namun, kali ini gadis itu tak memiliki waktu untuk memikirkannya. Ia mulai merasakan fisiknya berteriak-teriak keras menuntut haknya, yang selama beberapa hari ini, ia membungkam teriakan itu dengan terus bekerja keras. Kali ini, sepertinya makhluk astral itu benar. Ia butuh istirahat.
“Baiklah. Aku akan pergi tidur sebentar. Jika kau
butuh makan, carilah sendiri di dapur. Di kulkas ada banyak makanan instan yang bisa kau hangatkan. Aku pergi dulu.”
Isaac tersenyum lebar menatap punggung Arsyelin yang menghilang di balik pintu. Bagus. Satu rencananya telah berjalan lancar. Waktunya bekerja!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
eli rina
aq udh beberapa x baca novel ini . rasanya g ngebosenin.
good job outhor.. 👍👍
2024-02-02
0
Rina Risa
Isaac. sni jgain aq juga🤣🤣
2021-08-11
2
Nindira
5 like mendarat di tunggu feedbacknya thor di
PRIA CANTIK ITU JODOHKU
2021-07-13
1