Arsyelin menyesap perlahan kopi dari gelas kedua yang telah kehilangan panas akibat terlalu lama terabaikan. Ia terus saja memfokuskan pandangannya pada layar monitor meskipun kedua matanya sudah memerah dan berair. Ambisinya untuk memecahkan kasus gadis yang menghilang dengan sangat misterius mengalahkan rasa lelahnya. Ia bahkan bisa tidak tidur sampai pagi demi mengumpulkan informasi
apa pun tentang gadis itu.
Inilah yang dikatakan sebagai energi muda. Mereka bahkan bisa tidak tidur selama lima hari. Dan akan tetap baik-baik saja. Dalam bekerja, mereka tidak
lagi mempertimbangkan untung rugi, melainkan menganggap itu semua adalah tantangan yang harus mereka takhlukkan. Meskipun tidak semua anak muda memiliki karakter demikian. Namun Arsyelin adalah salah satunya.
Malam telah larut. Kegelapan melingkupi setiap sudut. Waktu telah menunjukkan sepertiga malam, namun tak ada tanda-tanda gadis itu akan beranjak ke peraduan.
Ini adalah malam kedua setelah pertemuannya dengan jin yang memperkenalkan dirinya dengan nama Isaac itu. Tetapi, hingga saat ini, kasus yang ia tangani hanya jalan di tempat. Sama sekali tak ada kemajuan. Begitu pula dengan kasus kematian Jack yang dirampas dengan paksa seluruh alat penunjang kehidupannya. Sampai detik ini, Elan belum menemukan jejak pelaku. Sungguh membuat frustrasi.
Gadis itu melirik ponsel yang membisu di atas tumpukan kertas yang berserakan di mejanya. Sementara itu, pikirannya sibuk memikirkan langkah
seperti apa yang harus ia lakukan. Semua jaringannya telah ia hubungi, tapi tak satu pun dari mereka yang memberikan kabar gembira.
Helaan napas berat kembali terdengar. Kedua kelopak matanya memejam erat. Berharap menemukan seseorang yang mampu ia ajak bertukar pikiran. Setidaknya, bisa diandalkan untuk memberinya masukan, langkah seperti apa yang seharusnya ia tempuh.
Seolah saklar telah disambungkan. Menyalakan lampu pijar yang begitu terang, menampakkan sebuah nama yang nyaris saja terlupakan oleh kesibukannya. Seketika kedua bola matanya yang meredup nyaris putus asa kembali bersinar terang seperti kejora.
Adam. Ya, Adam Sherman. Si genius itu pasti memiliki solusi untuk masalah ini. Rivalnya itu bahkan telah mendirikan agensi penyidik. Sungguh sebuah lompatan yang mengagumkan.
Dengan cepat, gadis itu menggulir layar ponselnya dan menekan sebuah nama sebelum akhirnya menempelkan ponsel itu ke telinga. Ia sama sekali tidak peduli dengan kesopanan waktu. Karena pekerjaannya adalah memburu waktu. Meskipun
itu hanya sebuah alasan atas rasa ketidaksabarannya.
Kabar baiknya, di Indonesia pastilah masih tengah hari lewat sedikit. Jam istirahat siang. Jadi, ia tidak perlu mendengarkan keluhan yang menjemukan seperti; ngantuk, besok saja, atau kalimat sejenis yang membuatnya menunggu dan menggerutu secara
bersamaan. Seperti yang selalu dikatakan sepupunya setiap kali ia menghubunginya.
Dan sepertinya, gadis itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, karena pada dering kedua, panggilannya telah terhubung.
“Adam, aku tidak akan berbasa-basi dengan menanyakan kabarmu, karena aku tahu kau tidak akan mengalami kesulitan hidup di mana pun kakimu berpijak. Aku butuh bantuanmu,” ucap gadis itu cepat, bahkan ketika lawan bicaranya belum sempat mengucapkan salam.
Suara tawa renyah terdengar dari seberang menyambut kesopanan Arsyelin yang begitu mengagumkan. “Sepertinya kau sungguh dalam kesulitan. Jika tidak, kau tidak mungkin masih begadang di jam di mana seharusnya kucing liar berkumpul, bukan? Ada apa, Lin? Kau tidak mematahkan tulang anak orang’kan?” suara tawa renyah kembali mengalun mengiringi nada
canda yang diucapkan seseorang itu di seberang panggilan.
“Aku sudah mematahkan lima tulang rusuk milik lima pemuda liar beberapa hari yang lalu jika kau mau tahu. Tetapi itu tidak penting.” Gadis itu lantas menceritakan masalah yang ia hadapi secara garis besar pada teman seangkatannya di akademi itu.
Hening sejenak ketika gadis itu mengakhiri ceritanya. Lalu, suara tenang nan dalam kembali terdengar. “Lin, apa yang tak terlihat, bukan berarti tak ada. Ada banyak sekali hal di dunia ini yang tak kita ketahui. Bukan karena eksistensi mereka tidak ada. Melainkan karena pengetahuan kita yang masih dangkal. Jadi,
jika kau memang memiliki dugaan akan kasus pencurian organ itu, jangan lepaskan dugaanmu sampai keraguan itu tak bersisa lagi. Aku akan meminta Toby untuk menyelam ke dunia deep web. Mungkin ada informasi di sana yang akan berguna untuk memecahkan kasus ini. Sementara untuk tulisan kuno itu, apakah kau sudah ke otoritas paleografi?”
Arsyelin tersenyum penuh kelegaan. Sedikit bebannya seolah terangkat ketika ia menceritakan kesulitannya pada orang yang tepat. Meskipun ia sama sekali tidak tahu bagaimana kasus ini akan menemui akhir nantinya, setidaknya, ada orang yang mendukungnya. Yang tidak serta merta menghakiminya dengan tuduhan yang membuat sulit bernapas.
Ia sungguh merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Adam yang memiliki kebijaksanaan tak terbatas.
“Terima kasih, Adam. Seharusnya sejak awal aku menghubungimu,” balas Arsyelin seraya terkekeh pelan. Yang dibalas dengan gelak tawa dari seberang
sambungan.
“Sudahlah. Since when you so polite with me?” balas lawan bicaranya itu dengan begitu ringan.
Semasa di akademi, mereka berdua selalu bersaing dalam segala hal. Memperebutkan posisi puncak murid berprestasi. Persaingan mereka begitu ketat. Pantang bagi Arsyelin menduduki posisi kedua. Membuat mereka acapkali bersanding dalam posisi puncak. Namun demikian, meskipun mereka selalu menjadi rival, ketika dihadapkan pada situasi yang menuntut kerja sama, mereka selalu mampu memposisikan diri menjadi rekan yang saling mendukung. Hingga sekarang.
“Ya, kau benar, Adam. Pertemanan kita akan menjadi berjarak jika kita saling menjaga sopan santun. Itu sikap sopanku yang terakhir padamu. Jadi syukurilah.
Ketika kau telah menikah nanti, barulah aku akan bersikap sopan padamu. Hanya demi menghargai istrimu tentu saja,” balas Arsyelin santai.
Sosok di seberang panggilan kembali tergelak. “Ya, terserah kau saja. Sekarang katakan padaku soal tulisan kuno itu. Aku sungguh penasaran dengan
hal-hal yang berbau masa lalu seperti itu.”
“Ah ya, kau benar. Kau tahu, aku nyaris putus asa memecahkan kasus ini. Ini kasus terlama yang kutangani. Aku tidak hanya mendatangi otoritas paleografi. Aku juga telah berdiam diri selama berhari-hari di Library of Congress, yang konon katanya adalah perpustakaan terbesar dan terlengkap di dunia yang kebetulan ada di Washington. Namun, sama saja. Hasilnya nihil. Seluruh situs bersejarah dan
perpustakaan sudah kuakses. Dan kau tahu, Adam? Aku sama sekali tak ada petunjuk tentang jenis tulisan kuno itu.” Arsyelin mendesah berat di ujung
kalimatnya. Menandakan betapa ia telah menemui jalan buntu.
Lawan bicaranya di seberang sambungan turut mengerutkan kening mendengar penjelasan Arsyelin. “Bisakah kau kirimkan scan tulisan itu untukku? Aku
sungguh penasaran.”
“Ya, tentu. Setidaknya, aku tidak pusing sendirian. Aku
akan mengirimkannya sekarang. Segera kabari aku jika kau menemukan petunjuk.”
Setelah beberapa kalimat lagi, sambungan telepon pun
terputus. Arsyelin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi setelah mengirimkan apa yang diinginkan teman baiknya, Adam. Sebelah tangannya
terangkat dengan memegang selembar kertas kuno yang hampir setiap hari ia pelototi. Beruntungnya, mata gadis itu tidak memiliki kekuatan alkemi, jika
tidak, kertas itu pasti sudah menjadi emas.
Desahan berat kembali lolos dari bibirnya yang tampak
kering dan memerah.
“Tulisan jelek seperti ini, kenapa kau terus memelototinya sampai bola matamu nyaris keluar?” Kalimat yang diucapkan dengan begitu santai bahkan terdengar begitu meremehkan itu sontak membuat Arsyelin menoleh. Kedua bola matanya langsung melebar begitu melihat siapa sosok di balik pemilik suara yang kini berada tepat di belakang punggungnya itu.
“Kau … bagaimana kau bisa masuk ke rumahku? Apa yang kau inginkan?” Arsyelin segera bangkit berdiri. Menghadap lurus pada pemuda yang memiliki wajah yang sama dengan yang ia temui di malam mengerikan itu. Bedanya, pemuda itu kini tidak lagi mengenakan pakaian ala pendekar yang di zaman
sekarang pastilah dikira pemain film laga. Namun, pemuda itu mengenakan kemaja putih yang digulung hingga ke siku. Bersedekap dengan gayanya yang begitu santai. Membuat Arsyelin sedikit gentar.
Pemuda itu terkekeh pelan, dengan santai berjalan
perlahan dan duduk di sofa dekat meja kerja Arsyelin yang sangat berantakan. Membuat Arsyelin menggerakkan kedua bola matanya dengan tatapan jengkel ke mana pun langkah pemuda itu mengarah. Ia bisa merasakan aura pemuda itu tampak lebih
segar dan terlihat begitu kuat. Sepertinya makhluk itu telah berhasil memulihkan diri setelah menghilang selama dua hari dari hadapannya. Jika demikian adanya, ia harus lebih waspada.
“Kau tidak senang aku datang?” tanya si pemuda dengan begitu santainya. Mencomot kue kering yang tersedia di meja begitu saja.
“Tentu saja. Kau pikir kau siapa? Cepat katakan apa
yang kau inginkan dan segera pergi dari sini!” geram Arsyelin seraya mendelik galak. Ia sungguh tak habis pikir. Bagaimana bisa makhluk astral ini datang
lagi menemuinya? Haruskah ia menghubungi ayahnya untuk meminta bantuan? Tetapi itu juga bukan pilihan yang tepat. Ayahnya bisa saja langsung menyuruhnya
pulang karena khawatir. Jika hal itu terjadi, maka pupuslah sudah harapannya untuk berkeliling dunia, bahkan sebelum harapan itu sempat bersemi. Tidak. Ia harus bisa mengatasi masalah ini sendiri.
“Oh, kau sungguh menyakiti perasaanku, Arsyelin,”
balas si pemuda dengan memasang tampang murung yang tampak begitu nyata. Mata awam pasti akan termakan sandiwaranya. Namun tidak dengan Arsyelin.
Tunggu dulu, ia ingat sekali tak pernah menyebutkan
identitas dirinya di hadapan makhluk astral ini, bukan? Lalu, bagaimana ia bisa tahu namanya?
Wajah gadis itu seketika memucat. Menyadari betapa
bahayanya situasi yang akan ia hadapi jika makhluk ini adalah makhluk jahat.
“Dari mana kau tahu namaku?” seru Arsyelin seraya
menatap geram ke arah pemuda yang kini tengah begitu santai menjilati jemarinya setelah menelan kue kering.
“Itu mudah saja bagiku,” sahutnya dengan seringai
lebar yang menjengkelkan. Dahinya mengerut samar dan senyumnya memudar begitu menyadari wajah gadis di hadapannya tampak memucat. Senyum itu pun tergantikan dengan gelak tawa, seolah begitu takjub dengan pemandangan yang terpampang di
depan matanya.
“Oh astaga. Kau tenang saja, aku sama sekali tidak
tertarik berbuat jahat terhadapmu. Terlalu membosankan.” Pandangan pemuda itu
lantas beralih pada selembar kertas yang terkulai di genggaman Arsyelin yang kini berdiri kaku seperti patung es. “Bagaimana jika kedatanganku ke sini ingin
membantumu menyelesaikan kasus itu?” lanjutnya seraya menggerakkan dagu dan melirik ke aras kertas kuno itu.
Arsyelin menatap pemuda di hadapannya penuh penilaian dengan dahi mengerut dalam, seolah ingin mempelajari apakah pemuda di hadapannya itu bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan ataukah hanya membual seperti pedagang online yang berbusa-busa menjelaskan produknya, yang nyatanya barang yang sampai sungguh sangat jauh dari harapan.
Melihat keraguan yang terpancar jelas pada manik
sewarna madu di hadapannya, pemuda itu mengangkat kedua bahu, lantas berdiri dengan seringai lebar. Berjalan ke arah Arsyelin yang masih berdiri di tempatnya semula. Bahkan ketika pemuda itu telah berdiri tepat di hadapnnya, Arsyelin tak juga bergerak. Karena pikirannya mulai dipenuhi beragam dugaan.
“Bagaimana jika kubilang tulisan ini tidak ada
artinya?”
Isaac, si jin genius.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Fikah Herawati
gnteng tp muka ny ngjngklnnn hhhh
2021-04-16
1
Nunuy
isaac makhluk astral ... pangeran dimensi lain.. so cute.
2021-03-21
1
Endri Yani
teman nya pangeran liu ya..
2021-03-08
1