Ucapan si pemuda seketika membuat Arsyelin melebarkan kedua bola matanya, yang mana mata besar itu sempat meredup ketika menatap jin itu penuh pertimbangan.
Tak pelak lagi, ucapan makhluk itu langsung menarik seluruh intensitasnya. Bagaimana tidak, makhluk itu dengan begitu percaya diri mengatakan secara tidak langsung bahwa kertas dengan tulisan kuno yang telah menguras seluruh energinya beberapa hari terakhir tidak memiliki arti apa pun? Yang benar saja.
“Apa maksudmu?” tanya Arsyelin dengan sorot mata menyipit tajam menuntut penjelasan. Membuat makhluk astral di depannya menyeringai begitu angkuh seraya menegakkan kembali tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap, sementara sebelah alisnya terangkat, sebagai sikap meremehkan yang sangat
menjengkelkan.
Namun, demi rasa ingin tahunya, Arsyelin harus sekuat tenaga menahan diri agar tidak mencabik-cabik tampang menyebalkan di hadapannya itu.
“Ya, tulisan itu tidak ada artinya. Apakah kalimatku
tidak bisa kau pahami? Apakah kau ingin aku menjelaskannya kata per kata?” jawab si makhluk astral dengan seringai meremehkan yang bisa dengan begitu mudah dibaca balita lima tahun.
Beruntungnya, perhatian Arsyelin sepenuhnya telah terkonsentrasi pada pernyataan makhluk itu, membuat gadis itu melupakan sikap menjengkelkan si pemuda, yang dalam kondisi normal, pasti ia tidak akan tinggal diam jika diremehkan seperti itu.
“Apa kau tahu sesuatu tentang tulisan-tulisan kuno?”
tanya Arsyelin penuh selidik dengan kedua mata menyipit penuh rasa ingin tahu.
“Tentu saja. Tidak ada yang tidak kuketahui kecuali
yang tidak kuketahui," ucap si makhluk astral sungguh-sungguh. Yang semakin membuat dahi Arsyelin memgerut dalam. Filosofis sekali, batinnya.
"Di saat pertemuan pertama kita, mungkin aku terlihat begitu buruk di matamu. Namun, kau harus tahu, aku memiliki otak yang sangat genius. Akan butuh ribuan tahun bagimu untuk menyamai pengetahuan yang kumiliki. Yang sialnya, ketika hal itu bisa kau capai, aku sudah jauh melesat melampauimu. Dengan kata lain, secerdas apa pun dirimu, kau tetap tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku,” lanjutnya dengan gaya angkuh yang menjengkelkan. Membuat Arsyelin yang sebelumnya tampak menyimak dengan serius langsung memutar kedua bola matanya bosan. Apa yang paling menjemukan di dunia ini selain mendengar bualan orang yang menyombongkan dirinya sendiri? Jawabnya tidak ada.
“Pergilah. Aku tidak ada waktu untuk mendengarkan
bualanmu,” sahut Arsyelin datar seraya kembali duduk dengan pandangan kembali terfokus pada guratan-guratan asing di selembar kertas itu. Mencoba menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Kode-kode rahasia mungkin. Itu jauh lebih baik daripada harus mengorbankan telinganya untuk mendengar segala omong kosong makhluk antah berantah itu.
Sementara itu, Isaac tampak terpana. Seolah tidak percaya dengan perlakuan kasar yang diberikan gadis itu padanya, jin itu membuka dan mengatupkan bibirnya berulang kali seakan kehabisan kata. Sebelum akhirnya menemukan kembali suaranya dan berseru memekakkan telinga.
“Kau tidak percaya padaku? Kau meragukan apa yang
kukatakan, hah?” seru jin itu dengan sikap merajuk yang berlebihan. “Baiklah. Cari saja sampai kau puas. Cari sampai kiamat kurang sehari. Aku berani bertaruh, kau tidak akan pernah menemukannya,” lanjut makhluk astral itu seraya bersungut-sungut.
Membuat sebelah alis Arsyelin terangkat, tak mampu menahan diri untuk meloloskan dengusan tawa, karena merasa kalimat yang diucapkan makhluk astral
berparas rupawan itu sangat menggelikan.
Gadis itu pun terpancing untuk menggoda Isaac, si jin centil menjengkelkan.
“Lalu, bagaimana dengan yang sehari itu? Apakah aku
akan menemukannya?” tanya Arsyelin dengan memasang tampang polos seperti seorang
anak kecil yang tengah mendengarkan dongeng sebelum tidur.
Makhluk astral yang menyebut dirinya dengan nama Isaac itu pun semakin bersungut-sungut melihat sikap Arsyelin yang meremehkannya. Namun tak urung, ia menggeram jengkel seraya melemparkan jawaban yang membuat Arsyelin tergelak.
“Waktu sehari itu adalah waktu di mana kau bertobat. Menyadari betapa bodohnya dirimu yang tak mau mendengarkan perkataanku. Kau menyesal karena telah menghabiskan waktumu dengan sia-sia sampai tua. Yang pada akhirnya kau memilih untuk bunuh diri dengan menggantung tubuhmu pada rumput bergoyang yang dilanda kebimbangan akibat─”
“Cukup!” seru Arsyelin, menghentikan kalimat jenis apa pun yang akan diucapkan Isaac. Yang mana gadis itu tahu pasti hanya kalimat tak bergunalah yang akan keluar dari lisannya yang tanpa saringan.
“Kau masih keras kepala tidak ingin mendengarkan
penjelasanku?” tanya si makhluk astral dengan tatapan tak percaya. Sorot matanya seolah terkejut penuh luka.
“Kau keliru. Justru sebaliknya. Aku ingin mendengar
penjelasanmu, karena itulah aku menghentikan omong kosongmu itu,” sahut Arsyelin datar seolah tanpa dosa, menyeringai lebar.
Meskipun gadis itu sudah menurunkan nada suaranya, namun ia tetap mempertahankan kewaspadaannya.
Bagaimanapun juga, pemuda ini bukanlah manusia yang bisa dengan mudah ia pukul jika berbuat sesuatu yang tidak ia inginkan. Ia adalah jenis makhluk yang bisa menghilang kapan pun ia mau. Yang bisa saja menyerangnya dari sisi manapun yang tak terlihat.
Raut murung Isaac seketika memudar begitu mendengar ucapan Arsyelin. Tergantikan dengan senyum lebar dengan sorot mata berbinar bagai matahari terik yang menyilaukan.
Tangannya yang ramping namun tampak begitu kokoh dengan gurat-gurat pembuluh yang menonjol langsung terjulur, bergegas menarik kursi yang ada di hadapan Arsyelin dan duduk di sana seperti anak kecil yang akan mendapatkan es krim kesukaannya. Membuat Arsyelin mengangkat sebelah alis, merasa bingung dengan sikap si makhluk astral di hadapannya. Perubahan suasana hatinya terlalu sulit untuk ditebak. Baru beberapa detik yang lalu ia tampak merajuk, namun sekarang sudah terlihat seperti makhluk paling bahagia di dunia.
“Jadi, apakah itu artinya aku boleh tinggal bersamamu?” tanya Isaac dengan tampang polos. Memasang tampang imut menggemaskan. Yang sungguh malang baginya, usaha kerasnya itu sama sekali tak memberikan efek bagi Arsyelin. Gadis itu justru menatapnya seperti orang bodoh.
Arsyelin yang sempat terbengong dengan pertanyaan
makhluk itu tak mampu menahan diri untuk tertawa. Menertawakan dirinya yang bagitu naif. Bagaimana mungkin ia begitu berharap makhluk astral di hadapannya ini akan mengerti apa yang dia bicarakan sebagai manusia? Yang ada malah membuat kepalanya nyaris pecah. Dirinya bicara A, si makhluk antah berantah itu mengartikan B. Oh, betapa buruk hari ini baginya, harus kembali bertemu lagi dengan makhluk menjengkelkan itu.
Setelah berhasil mengatasi rasa frustrasinya dengan
tertawa lepas, gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja. Memfokuskan pandangannya pada sosok yang tampaknya kebingungan melihat sikapnya itu.
“Siapa namamu? Isaac?” tanya Arsyelin dengan nada
pelan namun tegas. Tanpa perlu menunggu jawaban dari sosok di hadapannya, gadis itu melanjutkan. “Isaac, dengarkan aku baik-baik. Aku ingin bertanya padamu sekali lagi, kenapa kau mengatakan kalau tulisan ini tidak ada artinya? Apa maksudmu?
Apa kau tahu sesuatu mengenai ini?” Gadis itu berucap perlahan penuh penekanan. Kembali mengangkat selembar kertas itu tepat di hadapan Isaac.
Pemuda itu merapatkan kedua bibirnya, menunjukkan rasa tersinggungnya yang sama sekali tak berniat ia tutup-tutupi. Berujar dengan sedikit menggerutu karena kesal pertanyaannya diabaikan seolah sama sekali tak berarti. “Aku tidak akan pernah mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui," dengusnya jengkel. Membuat Arsyelin tersenyum samar. Makhluk ini jika marah cukup menarik, batinnya.
Namun gadis itu tak berniat menyela, karena sepertinya masih tersimpan kata yang hendak dilemparkan pemuda itu.
"Dalam sejarah manusia, dari ribuan jenis tulisan yang ada sebagai alat komunikasi, tulisan ini sama sekali tak memiliki arti. Itu bukanlah tulisan kuno. Itu baru ditulis setahun terakhir, hanyalah coretan asal-asalan yang sengaja ditulis menyerupai tulisan kuno yang berkaitan dengan magis,” jelas makhluk itu ringan. Arsyelin yang memperhatikan perubahan gestur wajah si pemuda menemukan bahwa makhluk ini tidak sedang berdusta. Dan lagi, gadis yang menghilang secara misterius itu, bukankah menghilang setahun yang lalu? Jika apa yang dikatakan makhluk astral ini benar, mungkinkah?
“Bagaimana kau bisa begitu yakin dengan penilaianmu?” tanya Arsyelin, tak mampu menyembunyikan keraguan, baik dari sorot matanya apalagi getar suaranya.
Wajar saja jika gadis itu ragu. Karena ia telah membawa tulisan itu pada otoritas paleografi, namun mereka tidak mengatakan apa pun soal kemungkinan pemalsuan tulisan itu.
Sikap keraguan gadis itu yang tampak begitu jelas seketika membuat Isaac berdecak tak sabar, menarik kertas yang berada di tangan Arsyelin dan meletakkannya di meja, tepat di antara mereka berdua.
“Lihat baik-baik. Kau pasti bertanya-tanya kenapa para
paleografer itu tidak mencurigai apa pun, bukan? Wajar saja. Karena bahan kertas ini sudah diolah sedemikian rupa menyerupai bahan kertas di masa lampau. Begitu pula dengan kualitas tinta yang digunakan. Manusia yang hanya belajar teori tanpa pernah mengalami sendiri masa itu, pasti akan dengan mudah terkecoh. Tetapi tidak denganku yang genius ini. Aku bisa dengan mudah mengenali jenis kertas maupun tulisan, begitu pula dengan usia tulisan yang
tertera di atasnya. Dan darah yang ada di atasnya ini, ini adalah milik seorang gadis.”
Arsyelin menelan ludah, merasa segalanya menjadi masuk akal. Usahanya untuk mengenali jenis tulisan itu seperti menyelam ke air laut hingga ke dasar. Namun, apa yang ia cari tak pernah ia temukan.
Meskipun demikian, ia tidak terburu-buru mengambil kesimpulan berdasarkan analisa yang disampaikan Isaac. Bagaimanapun juga, ia baru bertemu dengan makhluk itu, belum mengenal karakternya lebih dalam. Sangat sembrono jika ia langsung mempercayainya begitu saja.
Di sisi lain, ia juga ingin tahu bagaimana pandangan makhluk ini tentang kasus rumit yang tak kunjung menemui kata usai ini. Karena alasan itulah, ia akhirnya memutuskan untuk membahas masalah ini secara serius dengan Isaac. Mungkin saja ada hal yang selama ini luput dari pengetahuannya, bukan? Seperti kata Adam, kita tidak tahu karena wawasan kita yang masih dangkal. Bukan karena sesuatu itu tidak nyata adanya.
Dengan pertimbangan itu, akhirnya Arsyelin memasang wajah serius. Tidak lagi mencemooh seperti sebelumnya. “Kau benar. Ini adalah sidik jari berdarah milik seorang gadis yang menghilang secara misterius setahun yang lalu. Sama sekali tak meninggalkan jejak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menemukannya, namun tak ada hasil hingga sekarang. Bagaimana menurutmu?” tanya Arsyelin
sungguh-sungguh.
Makhluk astral itu tampak mengangguk-angguk dengan gaya seorang pemikir ulung. “Jika kepergiannya tak meninggalkan jejak, lantas,
bagaimana bisa kau menemukan kertas dengan gaya tulisan kuno ini?” tanyanya seolah tak habis pikir.
Arsyelin menautkan kedua alisnya, menggali kembali
ingatannya di awal ia menangani kasus ini. “Ketika aku mencoba menemukan informasi apa pun tentang gadis itu, aku memeriksa kamarnya. Sama sekali tidak
ada yang aneh. Gadis itu sangat cantik dan rapi. Setelah kepergiannya, orangtuanya rajin merawat kamar itu. Rasanya sangat mustahil menemukan petunjuk di tempat yang sudah setahun tak ditempati. Namun, ketika aku memeriksa kamar mandi, aku melihat ada lantai kamar mandi yang sedikit aneh. Guratan benda tajam tampak di beberapa sudutnya. Aku tahu, itu bukan guratan biasa yang bisa tercipta akibat benda jatuh. Melainkan guratan akibat seseorang yang dengan sengaja membukanya. Atas dugaan itu, aku mencongkelnya. Kecurigaanku semakin menguat ketika ada lubang bekas galian di sana. Mengarah pada lubang pembuangan. Dan di sanalah kertas ini berada, di dalam wadah kaca.” Setelah bercerita panjang lebar, Arsyelin terdiam sejenak. Lantas menatap lurus ke arah pemuda di hadapannya.
“Isaac, bagaimana menurutmu tentang hal ini? Apa kau memiliki ide apa yang sesungguhnya terjadi?” tanya Arsyelin serius. Sejenak ia lupa bahwa sosok pemuda yang tengah ia ajak berdiskusi bukanlah seorang manusia. Melainkan makhluk astral yang tidak ia ketahuai asal-usulnya.
Isaac balas menatap Arsyelin dengan kesungguhan. “Bukti ini telah dipalsukan. Mereka ingin memberi kesan bahwa gadis itu menghilang karena mengikat kontrak dengan iblis. Apakah kau melihat keluarga gadis itu termasuk yang mempercayai hal demikian? Yang mempercayai hal-hal mistis seperti itu?” tanya Isaac ingin memastikan dugaannya. Meskipun ia tahu pasti bahwa dugaannya tak pernah meleset. Ia hanya ingin mengarahkan pikiran gadis keras kepala di hadapannya agar menyepakati pernyataannya dengan nalar berpikirnya sendiri.
Demi mendengar pertanyaan Isaac, bayangan gadis itu langsung melayang ke rumah klienya. Hidungnya seolah kembali mencium aroma wewangian aneh di setiap sudut rumah. Ia juga melihat nyala api yang terus menyala meski siang hari di ruang atas, di dekat kamar gadis yang menghilang misterius. Api itu dikelilingi oleh bunga-bunga melati yang sangat wangi. Kala itu benaknya sempat bertanya-tanya, namun segera ia tepis rasa ingin tahunya itu, ia sungguh tidak ingin ikut campur dengan keyakinan orang lain. Apakah semua itu ada hubungannya dengan─
“Ya, sepertinya begitu,” sahut Arsyelin, tidak terlalu
yakin dengan dugaannya.
“Kalau begitu, tidak salah lagi. Ada oknum yang
memanfaatkan keyakinan mereka untuk menculik gadis keluarga itu. Dengan kata lain, para penculik itu secara tidak langsung tengah mencemooh keyakinan
mereka,” balas Isaac seraya terkekeh pelan. Sorot matanya memancarkan kekaguman. Kekaguman pada para penculik yang dengan begitu genius mengerjai
mereka semua.
“Apa yang kau tertawakan, eh? Kau menertawakan kami semua yang telah dikerjai habis-habisan oleh oknum sialan itu?” geram Arsyelin merasa begitu jengkel secara tiba-tiba. Meskipun ia belum tahu pasti apakah dugaan mereka itu benar adanya atau tidak, namun, insting Arsyelin yang telah terlatih langsung menyepakati ucapan Isaac.
“Oh ayolah, kau juga harus mengakui kalau strategi
mereka itu genius sekali, bukan?" sahut Isaac santai dengan seringai lebar. “Jadi sekarang bagaimana? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu bahwa ini adalah
kasus penculikan? Apa kau yakin tidak membutuhkan bantuanku? Aku tidak meminta banyak sebagai balasan, aku hanya ingin kau membantuku menuntut balas atas kematian sahabatku, Jack. Bagaimana? Kesepakatan yang saling menguntungkan, bukan?”
Author Note:
Teman-teman yang ingin membaca kisah Adam, silakan buka work dengan judul: Sherman & Co. 😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Kirin
mampir kak
2022-01-29
0
Asri Handaya
keren keren...novel nya sungguh keren...lain dari yg lain...tata bahasanya bagus..alurnya bagus..keren
2022-01-21
0
Asri Handaya
keren keren...novel nya sungguh keren...lain dari yg lain...tata bahasanya bagus..alurnya bagus..keren
2022-01-21
0