Arsyelin menatap tajam penuh ketelitian pada selembar kertas usang yang sudah tampak menguning pada bagian sudut-sudutnya dengan dahi
mengerut dalam.
Seolah masih belum cukup, gadis itu bahkan merasa perlu mengangkat kertas itu dan mendekatkan pada kedua matanya yang melebar.
Sudah berhari-hari ia melaksanakan tugas yang
diberikan kliennya. Mencari jejak kematian anak semata wayang mereka yang tiba-tiba lenyap seolah ditelan bumi. Seluruh sumber daya telah dikerahkan oleh kliennya tersebut sehari setelah menghilangnya putri mereka. Namun rupanya, usaha mereka sama sekali tidak menemui hasil. Pihak berwajib bahkan telah menyerah dan menutup kasus tersebut.
Meskipun demikian, pihak keluarga masih tidak ingin
melepaskan kasus itu begitu saja. Setahun telah berlalu sejak kehilangan yang begitu menyesakkan, namun mereka tak juga menyerah untuk menemukan putri mereka. Tidak peduli hidup atau mati. Membuat mereka akhirnya memutuskan menyewa jasa detektif independen. Harapan terakhir yang mereka miliki.
Jika dengan usaha ini pun tak jua menemukan misteri hilangnya putri mereka, mungkin saat itulah mereka harus merelakan diri memeluk keikhlasan.
Dan di sinilah kasus mereka berakhir. Di tangan
seorang gadis remaja yang seusia putri mereka. Di tangan Arsyelin Wangsaguna. Seorang detektif muda yang tampak menjanjikan harapan.
Meskipun usianya terbilang masih sangat muda, namun gadis itu telah memegang sertifikat dari sekolah detektif paling bergengsi di dunia. Tak seorang pun dalam dunia intelijen yang meragukan murid lulusan akademi tersebut. Membuat mereka dengan begitu mudah mendapatkan kepercayaan ketika mendirikan jasa pelayanan selepas lulus dari akademi. Tidak peduli di negara mana pun mereka tinggal. Kemampuan dan keberadaan mereka akan selalu diakui dan disegani. Tanpa terkecuali Arsyelin.
Gadis itu asli warga Indonesia. Ayahnya memiliki garis
keturunan Raja Brawijaya. Sementara ibunya berdarah Minang. Namun ia memilih tinggal di Redmond, Washington DC. Yang menurutnya menjadi tempat paling potensial sebagai tempat pertama yang harus ia tinggali untuk mengasah kemampuannya.
Apakah ia akan tinggal di sana selamanya? Tentu saja tidak. Gadis itu sudah menuliskan road map hidupnya. Ia ingin menjalajah ke seluruh dunia. Mempelajari kehidupan manusia yang berbeda di setiap sudut bumi berbekal keahlian yang ia miliki.
Namun, sebelum mimpi itu terwujud, ia harus menyelesaikan kasus kesebelas yang harus ia tangani dalam kiprahnya menjadi detektif independen selama tiga bulan tinggal di Washington.
Sebuah kasus yang sungguh menguras energi fisik dan pikirannya. Ia bahkan sudah mengerahkan semua jaringan yang mungkin bisa membantunya,
namun, sudah seminggu berlalu dan ia hanya menemukan selembar kertas usang dengan bercak darah dengan garis-garis samar yang menyerupai sidik jari.
Dan yang lebih membuatnya frustrasi lagi adalah, tulisan yang ada pada selembar kertas tersebut. Tulisan kuno zaman pra sejarah yang tak terdeteksi mesin tercanggih sekalipun.
Di mana kertas itu adalah satu-satunya petunjuk yang dengan begitu susah payah ia temukan setelah menggali saluran pembuangan di rumah sang gadis remaja yang menghilang. Ia sudah menyerahkan kertas usang itu pada bagian otoritas sidik jari. Hasilnya seratus persen tepat, milik sang gadis.
Lalu apa? Tulisan aneh yang menggurat dengan begitu kuat pada kertas tersebut tak memberikan petunjuk apa pun selain membuatnya semakin frustrasi.
Tiba-tiba, gadis itu merasakan kepalanya berdenyut. Ia
menghela napas panjang sebelum akhirnya melirik jam weker yang ada di meja kerjanya. Pandangannya hanya menatap datar jarum jam yang menunjukkan angka 01.00 dini hari itu. Seketika ia teringat, ia belum makan sejak siang. Pantas saja otak dan perutnya sudah berteriak keras menuntut hak mereka.
Sebagai manusia beradab yang menghargai kehidupan, Arsyelin tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan gejolak kebutuhan fisiknya tersebut.
Akhirnya, dengan kengganan yang terlihat begitu jelas
dari gestur tubuhnya yang tampak lunglai, gadis itu menyambar mantel coklat panjang yang tergantung pada tiang gantungan pakaian di sudut ruangan.
Jika bukan karena hari-harinya yang terlampau begitu
sibuk, ia pasti pergi berbelanja dan memenuhi lemari pendinginnya dengan banyak makanan.
Sayangnya, ia sungguh tak memiliki waktu seluang itu. Dan lebih sialnya lagi, selembar kertas usang yang baru saja dikembalikan otoritas sidik jari itu telah menyedot perhatiannya hingga membuatnya lupa membeli makanan ketika perjalanan pulang ke rumahnya. Membuatnya terpaksa kelayapan tengah malam mencari makanan.
Beruntungnya, tidak jauh dari tempatnya tinggal ada gerai makanan yang buka 24 jam.
Ini memang sudah memasuki musim semi. Namun tetap saja, udara malam terasa seperti musim dingin baginya yang ditakdirkan lahir di iklim tropis. Membuatnya semakin enggan keluar rumah.
Tapi sungguh, dirinya benar-benar tak memiliki pilihan lain, bukan? Kecuali jika ia ingin mati kelaparan. Dan sayangnya, Arsyelin tidak akan memilih cara mati seperti itu.
Gadis itu merapatkan mantelnya begitu ia menuruni anak tangga luar rumahnya yang diapit oleh pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang. Berjajar rapi sepanjang jalan di halaman. Terus tersambung dengan jarak yang sama hingga sampai pada pintu gerbang yang memiliki tinggi sepinggang.
Pintu gerbang yang terlihat seperti gerbang tua itu terbuat dari kayu ek yang tampak kokoh. Memagari seluruh halaman rumah tua itu. Rumah yang Arsyelin sewa dari sepasang manula yang kini memilih tinggal bersama anak-anaknya.
Beruntung bagi Arsyelin, meskipun bangunan rumah itu terlihat begitu klasik dengan model yang jauh tertinggal ditelan bangunan sekitar yang tampak begitu modern, tetapi rumah itu terawat dengan sangat baik. Seluruh lantai terbuat dari kayu. Sekitar rumah penuh dengan tumbuhan yang tampak terawat dengan pola tanaman yang begitu menyejukkan pandangan.
Rumah tua itu baru ditempati Arsyelin selama tiga bulan. Dan ia sungguh tak memiliki waktu untuk merawat taman yang luasnya bisa dipakai untuk kembali mendirikan satu bangunan lagi itu.
Gadis itu menolehkan kepalanya ke samping sebelum
sebelah tangannya membuka gerendel yang hanya digantungnya sembarang. Pandangannya menatap penuh prihatin bercampur penyesalan pada tanaman sulur yang mulai menjalar ke mana-mana. Lantas bergumam pelan.
“Jangan khawatir, besok pagi-pagi sekali akan kupanggilkan tukang kebun untuk merapikan sulur liarmu itu,” lirihnya seraya menyeringai lelah. Sebelum akhirnya dengan gerakan cepat, menutup pintu gerbang dan berjalan dengan langkah lebar di sepanjang trotoar.
Kedua bola mata besarnya tampak menyipit begitu
melihat kabut yang turun semakin tebal. Hal yang tidak terlalu mengherankan sebetulnya. Karena tempat tinggalnya berada di kawasan yang tidak jauh dari
hutan.
Pohon-pohon cemara tinggi menjulang di sepanjang jalan. Diselingi oleh pohon-pohon sakura yang tampak meranggas karena telah menggugurkan daun-daunnya. Bersiap menumbuhkan tunas-tunas baru.
Selain itu, tidak jarang binatang liar berseliweran turut melintasi jalan raya di sana. Membuat pemerintah daerah menetapkan peraturan ketat terhadap kecepatan kendaraan yang melintas. Khawatir jika menabrak rusa atau kelinci liar yang kebetulan tengah menyeberang jalan.
Arsyelin bukanlah gadis penakut. Sama sekali bukan. Ia cukup percaya diri melintasi jalanan sepi tengah malam. Selain karena ia selalu memohon perlindungan Tuhan, ia juga menguasai berbagai teknik ilmu bela diri. Menghadapi lima pemuda liar dalam kondisi mabuk yang mengganggunya bukanlah masalah baginya. Ia bisa dengan mudah menjatuhkan mereka semua hanya dalam hitungan detik. Seperti yang ia lakukan beberapa waktu lalu ketika penyelidikannya menuntutnya melakukan pengintaian hingga tengah malam.
Tetapi sekarang, entah kenapa tiba-tiba ia merasakan
firasat buruk menghantam benaknya. Jantungnya berdegup kencang penuh kewaspadaan.
Seketika, pandangannya yang telah terlatih tampak begitu awas menatap sekitar. Memindai setiap gerak sekecil apa pun yang tampak mencurigakan. Langkah kakinya bahkan turut melambat. Melangkah tanpa suara penuh kehati-hatian.
Hening. Tak ada gerakan apa pun yang bisa menjadi
alasannya untuk khawatir.
Ini sungguh aneh, tak ada apa pun yang mencurigakan. Tetapi kenapa bulu kuduknya tiba-tiba meremang? Mungkinkah di Washington juga ada
hantu kuntilanak seperti di desanya yang begitu populer?
Ketika pikiran gadis itu dipenuhi dengan berbagai
dugaan yang mungkin bisa menjawab kegelisahannya, sesosok pemuda tiba-tiba muncul di hadapannya entah dari mana. Membuatnya jatuh terjengkang dengan kedua mata melotot saking terkejutnya.
“Siapa kau?”desis gadis itu penuh kewaspadaan. Dahinya berkerut semakin dalam ketika dilihatnya pemuda dengan pakaian aneh ala pendekar zaman
pra sejarah itu menatapnya kebingungan. Sorot matanya yang sebening kristal menatap Arsyelin penuh penilaian. Seolah tidak mempercayai penglihatannya.
“Apa kau bisa melihatku?” tanya pemuda itu seraya
menyipitkan mata, tampak tak percaya ketika melihat reaksi Arsyelin yang sepertinya mampu melihat eksistensinya. Membuat Arsyelin seketika tertawa mencemooh. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa begitu kesal dengan makhluk di hadapannya itu. Mungkin karena efek dari rasa lapar yang menderanya.
Uap hangat mengepul dari mulutnya ketika ia membuka bibir untuk berbicara. “Tentu saja aku bisa melihatmu. Jika tidak, tidak mungkin kau bisa membuatku terjengkang, bukan?” dengus Arsyelin sedikit geram. Segera berdiri dan mengibas-ngibaskan pakaiannya dengan gaya yang berlebihan sebagai pelampiasan rasa jengkel.
Sepertinya hari ini adalah hari paling sial yang ia
jalani, sudah didera kelaparan, ditambah lagi dengan masalah baru di mana pemuda di hadapannya kini tampak menyeringai dengan sangat menjengkelkan.
Merasa ada yang tidak beres, gadis itu bergegas memasang kuda-kuda dengan tatapan awas. Bersiap jika keadaan memaksanya untuk berkelahi.
“Bagus sekali. Aku sudah lelah meneriaki orang-orang
yang lewat sejak sore. Tapi mereka semua tuli dan buta. Tak satu pun yang bisa melihat apalagi mendengarku. Sekarang ke marilah. Kau harus membantuku,” ucap pemuda itu ringan. Tangannya bahkan dengan begitu santai menarik pergelangan
Arsyelin, menyeret paksa gadis itu supaya mengikutinya.
Mendapati dirinya ditarik begitu saja seperti hewan
ternak, jelas membuatnya melotot tak percaya. Baru saja mulut Arsyelin membuka lebar hendak menyerukan protes setelah susah payah mengendalikan keterkejutannya, pemuda itu menghentikan langkah mereka tepat di bawah pohon sakura besar yang di bawahnya ditumbuhi semak belukar yang begitu lebat.
Pemandangan yang tersaji di hadapannya benar-benar
membuatnya kehabisan kata. Sesosok tubuh manusia tengah terbujur kaku dengan darah kering yang melumuri keningnya.
Arsyelin yang sudah terlatih menghadapi hal-hal
seperti ini langsung menganalisa segala sesuatu yang mungkin saja terjadi.
Ia terdiam, mengubah ekspresi keterkejutannya menjadi ketenangan secepat kilat. Bahkan sebelum pemuda aneh yang menyeretnya menyadari keterkejutan yang sesaat lalu ia
tunjukkan secara alami sebagai manusia.
Gadis itu berpikir cepat. Melirik ekspresi si pemuda
yang tampak muram melalui sudut matanya.
Pemuda ini menampakkan kesedihan yang jujur. Tidak mungkin dia pelakunya, bukan? Tetapi, pintu kemungkinan itu akan selalu terbuka. Bukankah seorang psikopat juga sangat mahir memanipulasi lawan dengan ekspresi mereka?
Arsyelin menelan ludah. Kabut turun semakin tebal. Jalanan tampak begitu lenggang. Bahkan sedari tadi ia tak melihat seorang pun yang melintas. Pepohonan yang begitu rimbun menambah sensasi mengerikan yang kini mulai menjalari sekujur tubuhnya. Terlebih lagi, pemuda yang tiba-tiba muncul entah dari mana itu memiliki tenaga yang begitu besar. Ia bisa merasakan
kekuatan si pemuda ketika pergelangan tangannya ditarik paksa. Kekuatan seseorang yang terlatih.
Dengan berbagai pertimbangan yang melintas cepat di
kepalanya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk segara bertanya.
Jika memang pemuda ini berbahaya dan ia harus melawannya, maka lakukan itu dengan cepat selagi energinya masih cukup kuat. Setidaknya, ia bisa melawan dan segera lari ketika terdesak.
Dengan nada tenang penuh kehati-hatian, ia akhirnya
bersuara. “Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kau sudah menyeretku paksa ke tempat ini, sebaiknya kau memiliki penjelasan yang bagus agar aku tidak salah
sangka dan bersikap tak adil terhadapmu,” tutur Arsyelin tenang.
Sorot matanya menatap lurus ke arah manik sewarna emas yang tampak begitu indah yang kini juga menatapnya dalam. Seolah pemuda itu ingin memastikan pendengarannya tidak keliru. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai takjub. Ia sungguh tak menyangka gadis yang terlihat begitu berantakan di hadapannya ini bisa dengan begitu tenang ketika melihat mayat dengan luka senjata api yang mengerikan. Melubangi dahi temannya dan menghancurkan isi kepalanya.
“Apakah kau tidak takut?” tanya si pemuda penuh
penilaian, bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat menawan.
Sayangnya, Arsyelin sama sekali tidak tertarik dengan pesona yang terang-terangan ditunjukkan si pemuda di hadapannya. Perasaan waspada mengusai akal sehatnya jauh lebih kuat daripada imajinasi liar yang di dapat pandangannya yang bisa saja mengelabuhi akalnya.
Dengan dagu terangkat, Arsyelin balas menyeringai. Jelas sekali bukan, dalam kondisi seperti sekarang ini, ia tidak mungkin menunjukkan kelemahannya.
“Jika aku takut, aku tidak mungkin keluar rumah malam-malam hanya untuk mencari makanan. Sudah cukup basa-basinya. Kau tidak mungkin menyeretku
ke mari hanya untuk mengobrol, bukan?” tanya Arsyelin santai. Sempurna menyembunyikan
kegelisahan hatinya.
Sungguh di luar dugaan, pemuda itu langsung terkekeh mendengar jawaban arogan Arsyelin. “Kau benar. Aku hanya ingin kau melapor pada polisi. Seseorang telah membunuh temanku. Apa kau bersedia melakukannya untukku?” tanya si pemuda seraya menatap penuh prihatin pada sesosok mayat yang baru Arsyelin sadari adalah seorang pemuda yang terlihat seumuran dengannya.
Wajahnya berlumuran darah kering. Dalam keremangan dan bayang-bayang gelap dedaunan, jelas sedikit sulit mengenali wajah itu jika hanya menatap selintas lalu.
Demi mendengar permintaan yang terdengar cukup janggal di telinga Arsyelin, gadis itu pun bertanya spontan. “Kenapa kau tidak pergi ke kantor polisi sendiri? Kenapa harus menyuruhku? Apa kau takut kau akan dituduh sebagai pelakunya?” tanya Arsyelin tanpa keraguan.
Pemuda itu terkekeh ironi mendengar pertanyaan Arsyelin. “Jika aku bisa melakukannya sendiri, aku pasti sudah melakukannya sejak empat jam yang lalu. Buat apa aku harus repot-repot meneriaki orang-orang dan berharap keberuntungan mereka bisa mendengarku?”
Jawaban santai pemuda itu seketika membuat Arsyelin yang tengah mempelajari sekitar langsung menoleh dan memfokuskan perhatian padanya.
“Apa maksudmu?” tanya Arsyelin dengan kening berkerut dalam dan mata menyipit menuntut penjelasan.
Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang ketika teringat ucapan si pemuda ketika mengejutkannya di trotoar. Mungkinkah?
Si pemuda tampak terdiam sejenak. Seolah tengah
menimbang sesuatu sebelum membuka mulutnya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan gadis di hadapannya. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk berkata jujur.
“Aku adalah bangsa jin. Tak satu pun manusia biasa yang mampu melihatku. Saat ini, aku berada pada titik terlemah, aku tak mampu menampakkan diri di hadapan bangsa manusia. Jika tidak, intisariku akan hancur dan aku akan mati. Karena itulah, aku hanya bisa berharap ada seseorang yang bisa melihatku secara alami. Dan ternyata, kau orangnya,” jelas si pemuda dengan seringai lebar.
Arsyelin membeku. Berusaha keras mencerna informasi yang baru saja diterima akalnya. Perlahan, pandangannya beralih pada sosok manusia yang kini terbujur kaku di hadapannya. Dilihat dari sisi mana pun, sosok yang terbujur kaku itu adalah manusia. Tapi ....
“Dia temanmu? Kau bisa berteman dengan manusia?” tanya Arsyelin dengan getar keraguan yang tampak begitu nyata.
“Ya, dia temanku. Dia bisa melihatku sama seperti kau
bisa melihatku. Aku sudah bersamanya sejak ia kecil. Kami─”
“Lalu, kenapa kau membiarkan temanmu terbunuh?” tanya Arsyelin memotong kalimat si pemuda. Merasa tidak sabar ingin mendengarkan penjelasan atas rasa ingin tahu yang tiba-tiba membuncah memenuhi pikirannya. Perlahan menggeser rasa kewaspadaannya. Berubah menjadi rasa jengkel dengan alasan yang ia sendiri tak memahaminya.
“Aku tidak sedang bersamanya ketika kejadian tragis itu berlangsung. Aku sedang─”
“Bagaimana kau akan meyakinkanku bahwa bukan kau pelakunya?” tanya Arsyelin penuh selidik. Sorot matanya memancarkan kecurigaan yang begitu pekat.
Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang mempercayai keberadaan bangsa jin. Ia sangat ingat betapa sering ayahnya menasihatinya agar tidak terjerat dengan tipu daya jin yang bisa menyesatkan pikirannya. Meskipun ayahnya juga mengatakan bahwa bangsa jin sama seperti bangsa manusia. Ada yang baik dan ada yang jahat. Tetapi, tetap saja. Sesama makhluk yang terlihat saja ia harus menjaga kewaspadaan, apalagi jika makhluk itu tak terlihat.
Lokasi di mana Arsyelin bertemu dengan Isaac. Credit photo @thamychan, my halu bestie yang sekarang tinggal di Washington.
Si pemuda langsung terbeliak begitu mendengar ucapan Arsyelin. Ia sungguh tak menyangka gadis itu akan begitu waspada dengan banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tuduhan yang sama sekali tak pernah terpikirkan di benaknya meluncur dengan lancarnya dari lisan si gadis.
Pemuda itu menggelengkan kepala dengan dramatis, seolah ucapan gadis itu telah melukai harga dirinya.
Yang benar saja. Jack -nama pemuda malang itu- adalah sahabatnya sejak manusia itu masih bayi. Satu-satunya manusia yang bisa melihat kehadirannya secara utuh tanpa ia harus susah payah menampakkan diri. Yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya tentang dunia manusia. Bagaimana mungkin ia akan dengan begitu tega membunuh anak lelaki itu? Dan lagi, untuk apa dia melakukannya?
Pemuda itu mengerutkan kening semakin dalam,
meletakkan sebelah tangan di dagu dengan pandangan menyipit penuh penilaian ke arah Arsyelin. Bagaimanapun juga, gadis ini tidak tahu apa pun tentang cerita kehidupannya di alam manusia bersama Jack yang malang itu, wajar saja gadis itu
akan langsung mencurigainya. Sialnya, ia memang tak memiliki bukti apa pun untuk meyakinkan gadis itu kalau dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan Jack
yang malang.
Saat hal mengerikan itu terjadi, ia tengah berada di alamnya untuk memulihkan energi. Ia baru saja sampai di tempat tujuannya ketika firasat buruk menghantam benaknya tanpa bisa dibendung. Tanpa pikir panjang dirinya langsung kembali ke alam manusia untuk memastikan bahwa temannya baik-baik saja. Tetapi, takdir memanglah sulit ditebak. Pemandangan yang ia temui sungguh membuatnya terdiam kehilangan kata.
Temannya sudah tersungkur di semak-semak, di bawah pohon sakura yang tengah bermekaran dengan begitu indahnya. Sungguh pemandangan yang ironi. Detik itu juga, ia tahu, temannya sudah pergi ke alam lain.
Seolah belum cukup dengan kesedihan yang ia rasakan ketika melihat dahi temannya tertembus timah panas, matanya juga menangkap ada
sayatan menganga lebar sepanjang dada hingga perut temannya. Benda tajam telah mengiris tubuh itu seakan ingin membelah dan mengambil isinya. Membuat kedua kakinya seketika melemas.
Sungguh perbuatan yang sangat keji. Ia tak pernah
menyangka manusia bisa berbuat segila itu pada sesamanya.
Jin yang kehilangan kekuatannya akibat keterkejutan atas apa yang dilihatnya itu perlahan berjalan mendekat, melepaskan jubahnya untuk menutupi luka menganga di tubuh sahabatnya itu. Berjongkok di samping tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan sorot membara penuh dendam. “Beristirahatlah dengan tenang, Jack. Demi persahabatan kita, aku pastikan orang-orang busuk yang melakukan perbuatan keji terhadapmu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Aku pasti akan memburu mereka walau ke ujung dunia,” lirihnya penuh tekad.
Andai saja ia memiliki energi yang cukup saat ini, ia
pasti akan langsung mengejar dan menghajar siapa pun yang telah menghilangkan paksa nyawa temannya dengan begitu brutal. Sialnya, saat ini ia sedang berada pada titik terlemah. Ia bahkan kesulitan menampakkan diri di hadapan manusia
lain. Bagaimana bisa ia menolong sahabatnya dengan keadaan seperti itu.
Namun, ia juga tidak ingin kembali ke alamnya sebelum memastikan jasad Jack ditemukan dan diperlakukan dengan layak. Karena itulah, ia berusaha
keras menghentikan siapa pun yang melintas.
Dan usahanya itu baru menemui hasil setelah empat jam berlalu, saat ia nyaris saja putus asa.
Sesosok gadis muncul dengan penampilan yang sangat berantakan. Ada lingkar hitam di kedua bola matanya. Menandakan bahwa gadis ini pastilah kurang tidur. Gadis itu terlihat begitu kelelahan. Dan ia tahu, inilah kesempatannya.
Manusia dengan keadaan lemah biasanya akan lebih mudah untuk dimanipulasi. Satu hal yang pasti, ia tidak memiliki niat jahat apa pun. Ia hanya ingin gadis itu menyadari ada sosok yang terbujur kaku di sana. Tidak peduli jika gadis itu nantinya akan berteriak histeris ketakutan. Karena ia yakin, teriakan itu pasti akan berakhir pada panggilan telepon ke kantor polisi. Dan itulah tujuannya. Ada orang yang menemukan jasad temannya sebelum jasad itu membusuk dimakan belatung.
Tetapi, sungguh diluar dugaan. Ketika ia muncul di
hadapan si gadis, gadis itu bisa melihatnya dengan sangat jelas. Bahkan sampai jatuh terjengkang karena efek kejut atas kemunculannya yang tiba-tiba. Dan lebih ajaib lagi, gadis itu bisa melihat kehadirannya sebagaimana layaknya ia berinteraksi dengan sesama manusia. Sama seperti temannya yang telah terbujur
kaku itu.
Ia pikir, masalah akan selesai begitu saja. Jasad
temannya ditemukan, dan ia bisa kembali ke alamnya untuk mengumpulkan energi dan segera kembali ke alam manusia untuk menuntut balas atas kepergian temannya yang sangat tidak adil itu.
Tetapi rupanya tidak semudah itu. Gadis yang ia jumpai bukanlah gadis dengan karakter sebagaimana gadis pada umumnya. Jangan harap ada teriakan histeris yang bisa meruntuhkan gunung. Gadis itu bahkan terlihat begitu tenang ketika melihat lubang di dahi temannya yang masih menganga dengan wajah berlumuran darah yang mulai mengering. Sungguh bukan gadis biasa.
Dugaannya terbukti secepat pikiran itu melintas di
benaknya. Lihatlah sekarang, gadis itu justru menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan mendasar seorang penyidik. Memposisikan dirinya sebagai tersangka yang potensial dengan pertanyaan yang bisa merusak mental. Beruntungnya, ia
bukanlah manusia yang mudah terbawa perasaan. Jika tidak, ia pasti sudah berteriak marah sekarang.
Ia yakin sekali, gadis ini adalah tipikal gadis rasional dengan akal sehat. Sorot matanya juga menampakkan kecerdasan yang dalam.
Karena itulah, ia hanya bisa menatap lekat mata sewarna madu gadis di hadapannya. Menunjukkan kesungguhan dari lubuk hatinya yang terdalam. Berharap gadis itu mampu mengenali gestur tubuh akan kejujuran yang ia tunjukkan.
“Aku memang tidak memiliki bukti apa pun untuk menunjukkan ketidakterlibatanku padamu sekarang. Tetapi, aku bersumpah. Aku pasti akan menemukan siapa pelakunya. Untuk sekarang, aku hanya memintamu melaporkan penemuan mayat pada polisi. Aku ingin jasad temanku diurus dengan baik. Apa kau bisa memahami apa yang kuucapkan?”
Arsyelin membalas tatapan dalam yang seolah sengaja ditunjukkan oleh pemuda itu. Dari sana, ia bisa merasakan pesan kejujuran yang ingin ditekankan si pemuda padanya. Getar suara pemuda itu juga penuh dengan kesungguhan. Tidak ada indikator kebohongan di sana.
Berbekal pengetahuannya akan seribu tanda-tanda kebohongan yang ia pelajari ketika di akademi, ia bisa menilai bahwa pemuda ini jujur. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Kesungguhannya
dalam berucap bahkan mampu menciutkan nyali Arsyelin. Terdengar begitu tegas dan mendominasi. Membuat gadis itu akhirnya mengangguk, menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat tetap tenang.
“Baiklah. Aku percaya padamu,” balas Arsyelin singkat.
Melangkah mendekati tubuh korban, berjongkok di sisi tubuh kaku itu dan memetik daun secara sembarang di sampingnya. Karena tidak ada sarung tangan, daun pun jadi. Agar tidak meninggalkan sidik jarinya di sana. Yang mungkin saja akan mengacaukan penyidikan.
Dengan gerakan perlahan namun terukur, gadis itu menyelipkan daun lebar itu ke sela ibu jari dan jari telunjukknya untuk menyingkap jubah yang menutupi tubuh korban.
Sejak tadi ia sungguh penasaran, luka seperti apa
yang ada di tubuh korban sampai-sampai menimbulkan genangan darah di sekitar tubuh kaku itu. Selain luka tembak tentu saja.
“Hei, apakah kau yakin akan meli─oh, sepertinya aku terlambat memperingatkanmu,” ucap si pemuda begitu melihat ekspresi syok spontan yang ditunjukkan si gadis.
“Oh, demi langit. Ini adalah pencurian organ,” desis Arsyelin, sedikit tak percaya ia bisa menyaksikan langsung kengerian yang selama ini hanya ia baca dari buku atau tonton melalui media informasi.
Dengan cepat, gadis itu langsung menutupkan kembali jubah itu ke tubuh korban. Lantas segera berdiri dan menghampiri si pemuda. “Aku akan menghubungi temanku,” lanjut Arsyelin. Merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan ponsel.
Setelah menekan-nekan layar beberapa saat, gadis itu tampak serius sekali berbicara di telepon. Membuat pemuda yang berdiri memperhatikan di sampingnya mengerutkan dahi samar.
Jelas gadis ini bukanlah gadis sembarangan. Ia tampak begitu tenang saat berbicara di telepon yang entah dengan siapa. Membahas tentang pencurian organ, menginstruksikan ini dan itu, dan pembicaraan serupa yang sepertinya paham sekali dengan dunia kriminal.
Beberapa saat kemudian, panggilan telepon itu berakhir. Gadis itu langsung menoleh ke arahnya, berkata tenang. “Tidak lama lagi, temanku akan datang ke sini. Mereka akan menyelesaikan kasus ini.
Kau boleh tenang sekarang,” ujar Arsyelin yang membuat si pemuda jutru bertanya-tanya.
“Tunggu sebentar, siapa kau sebenarnya?” tanya pemuda itu penuh rasa ingin tahu. Gadis ini memiliki kepribadian yang menarik. Ia juga bisa melihatnya dengan begitu mudah. Bagaimana mungkin ia akan
melepaskan kesempatan untuk mengenal gadis ini begitu saja?
Demi mendengar pertanyaan itu, Arsyelin terkekeh pelan. “Identitasku tidak penting. Bukankah yang terpenting sekarang adalah kau tahu bahwa jasad temanmu akan segera diurus, bukan? Dan satu lagi,
aku sudah meminta bantuan temanku untuk mengusut kasus ini. Jadi sekarang, kau bisa kembali ke alammu dengan tenang,” jelas Arsyelin ringan.
Setelah berkata demikian, pikiran gadis itu kembali disibukkan dengan bagian tubuh si pemuda yang menganga dengan organ dalam yang telah lenyap. Ini bukan kasus pertama yang ia dengar. Beberapa
bulan terakhir, menurut situs berita global, kejahatan perdagangan manusia mengalami peningkatan. Jumlah kasus penemuan mayat tanpa organ pun kian
meningkat. Para penjahat itu seolah kian memiliki keberanian untuk melakukan kejahatan pencurian organ.
Kasus seperti ini memang selalu saja lolos hukum karena kurangnya bukti yang mendukung. Namun, gadis itu sungguh tak menyangka mereka akan bergerak seberani itu. Mungkinkah ada kekuatan tak
terlihat yang mendukung pergerakan mereka? Melindungi mereka saat melakukan transaksi di pasar gelap?
Kalimat tegas pemuda di sampingnyalah yang mengembalikan pikiran gadis itu pada kenyataan di hadapannya. “Aku tidak akan pergi sebelum aku tahu identitasmu,” sahut si pemuda dengan santainya. Menyeringai keras kepala.
Arsyelin menolehkan kepalanya perlahan. “Lalu, apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mau mengatakannya?” Pemuda jangkung nan tampan di sampingnya ini adalah jin. Bagaimana mungkin ia akan memberitahukan identitasnya begitu saja? Bagaimana jika jin ini adalah jin jahat yang bisa menyakitinya hanya bermodalkan nama? Tidak, ayahnya sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak terlibat dengan hal-hal rumit yang susah dijelaskan seperti itu.
“Jika kau tidak memberitahuku, aku tidak akan pergi. Aku akan mengikuti ke mana pun kau pergi. Aku bisa menyiapkan air hangat saat kau ingin mandi, aku juga bisa mencucikan pakaian dalam─”
“Oh, apakah kau sungguh berniat menjadi budakku?” geram Arsyelin dengan seringai lebar menahan geram.
Si pemuda terkekeh pelan. Ia tahu, seorang gadis akan sangat sensitif dengan hal-hal seperti itu. Gadis di hadapannya ini tidak akan goyah walaupun ia mengubah wujudnya menjadi hantu jelek buruk
rupa nan menjijikkan. Namun, dengan menyinggung hal-hal sensitif yang membuatnya malu, tak akan ada gadis baik-baik yang mampu menahan diri. Dan
umpannya pun bersambut.
“Yah, kenapa tidak? Aku bisa memasak untukmu, aku bahkan bersedia menemanimu ti─”
“Oh, tutup mulutmu, sialan! Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran,” geram Arsyelin, menyeringai penuh ancaman.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan atas diriku, eh?” tantang si pemuda, mencondongkan tubuhnya ke arah Arsyelin penuh percaya diri.
Arsyelin tahu, jin sialan ini tak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Tetapi, ia juga bukan gadis yang dengan begitu mudah dikelabuhi. Ia tidak akan berani memberi ancaman tanpa tahu apa yang akan ia lakukan dengan ancaman tersebut. Terima kasih pada ayah dan kakeknya yang telah mengajarkan pengetahuan tentang bagaimana cara menghadapi makhluk dari dimensi lain tersebut.
Meskipun dulu ia sama sekali tidak tahu bahwa ilmu yang mereka ajarkan itu akan berguna, tetapi, karena rasa senangnya mempelajari hal-hal baru, dirinya begitu antusias dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Dan saat ini, ia sungguh telah membuktikan
bahwa kalimat bijak itu benarlah adanya, tidak ada pengetahuan yang sia-sia di dunia ini.
Dengan seringai lebar, Arsyelin menatap lekat ke arah si pemuda. “Aku bisa menghancurkan intisarimu. Apa kau ingin mencobanya?” lirih gadis itu penuh peringatan.
Senyum si pemuda memudar begitu menyadari bahwa ucapan gadis itu sungguh tidak main-main. Sorot matanya yang tajam penuh peringatan yang gadis itu lontarkan bukanlah gertakan belaka. Gadis ini pastilah
menguasai ilmu tertentu yang dipersiapkan untuk melindungi diri mereka dari gangguan bangsanya.
Jika dalam keadaan dirinya yang prima, sebagai pewaris tahta yang memilih berkelana, ia jelas bisa melawan serangan jenis apa pun yang dilontarkan manusia padanya. Namun tidak untuk saat
ini.
Terlalu lama tinggal di dunia manusia membuat energinya melemah. Ia harus kembali ke alamnya untuk memulihkan diri. Jika sampai gadis itu melaksanakan ancamannya, ia pasti tidak akan mampu bertahan.
Baiklah. Ia akan mundur sekarang. Meskipun ia tidak tahu siapa gadis itu, ia sudah mengenali energi yang memancar dari sang gadis. Jika energinya telah pulih, menemukan keberadaan gadis ini bukanlah masalah besar baginya.
Pemuda itu mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah, tersenyum misterius. Membuat Arsyelin menyipitkan mata curiga. “Baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Aku akan pergi sekarang. Tetapi kau harus tahu, aku tidak akan tinggal diam jika aku tahu jasad sahabatku tidak diperlakukan sebagaimana mestinya,” ucapnya ringan namun syarat ancaman. Ia juga mencondongkan tubuhnya untuk menatap lurus manik sewarna madu di hadapannya. Tersenyum
samar dan berucap tegas. “Kita pasti akan bertemu lagi.” Dan sosoknya pun memudar perlahan ditelan ketiadaan. Sebelum tubuhnya menghilang dengan
sempurna, pemuda itu masih sempat menyerukan namanya dengan seringai lebar. “Isaac. Namaku Isaac. Kau harus ingat itu baik-baik.” Suara itu menggema di udara. Meninggalkan Arsyelin yang mengehela napas penuh kelegaan.
Akhirnya makhluk itu pergi. Ia sungguh berharap makhluk itu tidak sungguh-sungguh ketika mengucapkan kalimat terakhirnya tentang pertemuan mereka. Namun demikian, ia tidak boleh
mengendurkan kewaspadaan. Ia harus bersiap jika sewaktu-waktu makhluk menjengkelkan itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Suara sirine mobil polisi dan ambulan seketika membuyarkan lamunannya. Diikuti oleh seruan kekhawatiran yang terdengar begitu nyata. “Lin, kau baik-baik saja?” sapa salah seorang pemuda berseragam polisi yang langsung berlari menghampiri dirinya yang masih berdiri terpaku di tempatnya semula. Kekhawatiran jelas membayang di wajah si pemuda dengan begitu jelas. Ia tahu, Arsyelin bukanlah gadis lemah. Namun demikian, menyaksikan mayat tanpa organ di tengah malam bukanlah pemandangan yang bagus bagi seorang gadis. Sekuat apa pun si gadis, pemandangan seperti itu pastilah mempengaruhi mentalnya.
Gadis itu menoleh, tersenyum samar. “Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih kau segera datang, Elan. Aku hanya ingin kau bisa memastikan pemuda ini mendapatkan keadilan atas kematiannya. Apa pun yang kau butuhkan untuk menemukan pelakunya, aku siap membantu,” jelas Arsyelin seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar tubuh yang terbujur kaku itu. Sorot lampu yang dibawa petugas menampakkan dengan jelas benda-benda yang ada di sekitar si pemuda. Termasuk obat-obatan yang ia kenali sebagai obat demam dengan kantong plastik bertuliskan logo sebuah apotek tampak berserakan di sekitarnya.
Pemuda malang ini pastilah baru saja pulang dari apotek yang tidak jauh dari rumahnya ketika penyerangan itu terjadi. Ia pasti tidak pernah mengira akan mati dalam keadaan yang sangat mengenaskan seperti ini.
“Ya, kau tenang saja, aku akan berusaha keras menemukan pelakunya. Sekarang, aku akan mengantarmu pulang. Aku juga membawakanmu makanan. Kau pasti kelaparan, bukan?” sahut si pemuda setelah memberikan beberapa instruksi pada anggotanya.
Arsyelin membalas kebaikan temannya itu dengan anggukan ringan seraya tersenyum. “Terima kasih, Elan. Kau sungguh baik sekali.”
Polisi muda yang menjabat sebagai kapten itu balas tersenyum. “Jangan dipikirkan. Aku senang menjadi orang pertama yang kau hubungi ketika kau dalam masalah,” sahut si pemuda dengan maksud tersembunyi yang tak pernah disadari Arsyelin.
Arsyelin menyesap perlahan kopi dari gelas kedua yang telah kehilangan panas akibat terlalu lama terabaikan. Ia terus saja memfokuskan pandangannya pada layar monitor meskipun kedua matanya sudah memerah dan berair. Ambisinya untuk memecahkan kasus gadis yang menghilang dengan sangat misterius mengalahkan rasa lelahnya. Ia bahkan bisa tidak tidur sampai pagi demi mengumpulkan informasi
apa pun tentang gadis itu.
Inilah yang dikatakan sebagai energi muda. Mereka bahkan bisa tidak tidur selama lima hari. Dan akan tetap baik-baik saja. Dalam bekerja, mereka tidak
lagi mempertimbangkan untung rugi, melainkan menganggap itu semua adalah tantangan yang harus mereka takhlukkan. Meskipun tidak semua anak muda memiliki karakter demikian. Namun Arsyelin adalah salah satunya.
Malam telah larut. Kegelapan melingkupi setiap sudut. Waktu telah menunjukkan sepertiga malam, namun tak ada tanda-tanda gadis itu akan beranjak ke peraduan.
Ini adalah malam kedua setelah pertemuannya dengan jin yang memperkenalkan dirinya dengan nama Isaac itu. Tetapi, hingga saat ini, kasus yang ia tangani hanya jalan di tempat. Sama sekali tak ada kemajuan. Begitu pula dengan kasus kematian Jack yang dirampas dengan paksa seluruh alat penunjang kehidupannya. Sampai detik ini, Elan belum menemukan jejak pelaku. Sungguh membuat frustrasi.
Gadis itu melirik ponsel yang membisu di atas tumpukan kertas yang berserakan di mejanya. Sementara itu, pikirannya sibuk memikirkan langkah
seperti apa yang harus ia lakukan. Semua jaringannya telah ia hubungi, tapi tak satu pun dari mereka yang memberikan kabar gembira.
Helaan napas berat kembali terdengar. Kedua kelopak matanya memejam erat. Berharap menemukan seseorang yang mampu ia ajak bertukar pikiran. Setidaknya, bisa diandalkan untuk memberinya masukan, langkah seperti apa yang seharusnya ia tempuh.
Seolah saklar telah disambungkan. Menyalakan lampu pijar yang begitu terang, menampakkan sebuah nama yang nyaris saja terlupakan oleh kesibukannya. Seketika kedua bola matanya yang meredup nyaris putus asa kembali bersinar terang seperti kejora.
Adam. Ya, Adam Sherman. Si genius itu pasti memiliki solusi untuk masalah ini. Rivalnya itu bahkan telah mendirikan agensi penyidik. Sungguh sebuah lompatan yang mengagumkan.
Dengan cepat, gadis itu menggulir layar ponselnya dan menekan sebuah nama sebelum akhirnya menempelkan ponsel itu ke telinga. Ia sama sekali tidak peduli dengan kesopanan waktu. Karena pekerjaannya adalah memburu waktu. Meskipun
itu hanya sebuah alasan atas rasa ketidaksabarannya.
Kabar baiknya, di Indonesia pastilah masih tengah hari lewat sedikit. Jam istirahat siang. Jadi, ia tidak perlu mendengarkan keluhan yang menjemukan seperti; ngantuk, besok saja, atau kalimat sejenis yang membuatnya menunggu dan menggerutu secara
bersamaan. Seperti yang selalu dikatakan sepupunya setiap kali ia menghubunginya.
Dan sepertinya, gadis itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, karena pada dering kedua, panggilannya telah terhubung.
“Adam, aku tidak akan berbasa-basi dengan menanyakan kabarmu, karena aku tahu kau tidak akan mengalami kesulitan hidup di mana pun kakimu berpijak. Aku butuh bantuanmu,” ucap gadis itu cepat, bahkan ketika lawan bicaranya belum sempat mengucapkan salam.
Suara tawa renyah terdengar dari seberang menyambut kesopanan Arsyelin yang begitu mengagumkan. “Sepertinya kau sungguh dalam kesulitan. Jika tidak, kau tidak mungkin masih begadang di jam di mana seharusnya kucing liar berkumpul, bukan? Ada apa, Lin? Kau tidak mematahkan tulang anak orang’kan?” suara tawa renyah kembali mengalun mengiringi nada
canda yang diucapkan seseorang itu di seberang panggilan.
“Aku sudah mematahkan lima tulang rusuk milik lima pemuda liar beberapa hari yang lalu jika kau mau tahu. Tetapi itu tidak penting.” Gadis itu lantas menceritakan masalah yang ia hadapi secara garis besar pada teman seangkatannya di akademi itu.
Hening sejenak ketika gadis itu mengakhiri ceritanya. Lalu, suara tenang nan dalam kembali terdengar. “Lin, apa yang tak terlihat, bukan berarti tak ada. Ada banyak sekali hal di dunia ini yang tak kita ketahui. Bukan karena eksistensi mereka tidak ada. Melainkan karena pengetahuan kita yang masih dangkal. Jadi,
jika kau memang memiliki dugaan akan kasus pencurian organ itu, jangan lepaskan dugaanmu sampai keraguan itu tak bersisa lagi. Aku akan meminta Toby untuk menyelam ke dunia deep web. Mungkin ada informasi di sana yang akan berguna untuk memecahkan kasus ini. Sementara untuk tulisan kuno itu, apakah kau sudah ke otoritas paleografi?”
Arsyelin tersenyum penuh kelegaan. Sedikit bebannya seolah terangkat ketika ia menceritakan kesulitannya pada orang yang tepat. Meskipun ia sama sekali tidak tahu bagaimana kasus ini akan menemui akhir nantinya, setidaknya, ada orang yang mendukungnya. Yang tidak serta merta menghakiminya dengan tuduhan yang membuat sulit bernapas.
Ia sungguh merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Adam yang memiliki kebijaksanaan tak terbatas.
“Terima kasih, Adam. Seharusnya sejak awal aku menghubungimu,” balas Arsyelin seraya terkekeh pelan. Yang dibalas dengan gelak tawa dari seberang
sambungan.
“Sudahlah. Since when you so polite with me?” balas lawan bicaranya itu dengan begitu ringan.
Semasa di akademi, mereka berdua selalu bersaing dalam segala hal. Memperebutkan posisi puncak murid berprestasi. Persaingan mereka begitu ketat. Pantang bagi Arsyelin menduduki posisi kedua. Membuat mereka acapkali bersanding dalam posisi puncak. Namun demikian, meskipun mereka selalu menjadi rival, ketika dihadapkan pada situasi yang menuntut kerja sama, mereka selalu mampu memposisikan diri menjadi rekan yang saling mendukung. Hingga sekarang.
“Ya, kau benar, Adam. Pertemanan kita akan menjadi berjarak jika kita saling menjaga sopan santun. Itu sikap sopanku yang terakhir padamu. Jadi syukurilah.
Ketika kau telah menikah nanti, barulah aku akan bersikap sopan padamu. Hanya demi menghargai istrimu tentu saja,” balas Arsyelin santai.
Sosok di seberang panggilan kembali tergelak. “Ya, terserah kau saja. Sekarang katakan padaku soal tulisan kuno itu. Aku sungguh penasaran dengan
hal-hal yang berbau masa lalu seperti itu.”
“Ah ya, kau benar. Kau tahu, aku nyaris putus asa memecahkan kasus ini. Ini kasus terlama yang kutangani. Aku tidak hanya mendatangi otoritas paleografi. Aku juga telah berdiam diri selama berhari-hari di Library of Congress, yang konon katanya adalah perpustakaan terbesar dan terlengkap di dunia yang kebetulan ada di Washington. Namun, sama saja. Hasilnya nihil. Seluruh situs bersejarah dan
perpustakaan sudah kuakses. Dan kau tahu, Adam? Aku sama sekali tak ada petunjuk tentang jenis tulisan kuno itu.” Arsyelin mendesah berat di ujung
kalimatnya. Menandakan betapa ia telah menemui jalan buntu.
Lawan bicaranya di seberang sambungan turut mengerutkan kening mendengar penjelasan Arsyelin. “Bisakah kau kirimkan scan tulisan itu untukku? Aku
sungguh penasaran.”
“Ya, tentu. Setidaknya, aku tidak pusing sendirian. Aku
akan mengirimkannya sekarang. Segera kabari aku jika kau menemukan petunjuk.”
Setelah beberapa kalimat lagi, sambungan telepon pun
terputus. Arsyelin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi setelah mengirimkan apa yang diinginkan teman baiknya, Adam. Sebelah tangannya
terangkat dengan memegang selembar kertas kuno yang hampir setiap hari ia pelototi. Beruntungnya, mata gadis itu tidak memiliki kekuatan alkemi, jika
tidak, kertas itu pasti sudah menjadi emas.
Desahan berat kembali lolos dari bibirnya yang tampak
kering dan memerah.
“Tulisan jelek seperti ini, kenapa kau terus memelototinya sampai bola matamu nyaris keluar?” Kalimat yang diucapkan dengan begitu santai bahkan terdengar begitu meremehkan itu sontak membuat Arsyelin menoleh. Kedua bola matanya langsung melebar begitu melihat siapa sosok di balik pemilik suara yang kini berada tepat di belakang punggungnya itu.
“Kau … bagaimana kau bisa masuk ke rumahku? Apa yang kau inginkan?” Arsyelin segera bangkit berdiri. Menghadap lurus pada pemuda yang memiliki wajah yang sama dengan yang ia temui di malam mengerikan itu. Bedanya, pemuda itu kini tidak lagi mengenakan pakaian ala pendekar yang di zaman
sekarang pastilah dikira pemain film laga. Namun, pemuda itu mengenakan kemaja putih yang digulung hingga ke siku. Bersedekap dengan gayanya yang begitu santai. Membuat Arsyelin sedikit gentar.
Pemuda itu terkekeh pelan, dengan santai berjalan
perlahan dan duduk di sofa dekat meja kerja Arsyelin yang sangat berantakan. Membuat Arsyelin menggerakkan kedua bola matanya dengan tatapan jengkel ke mana pun langkah pemuda itu mengarah. Ia bisa merasakan aura pemuda itu tampak lebih
segar dan terlihat begitu kuat. Sepertinya makhluk itu telah berhasil memulihkan diri setelah menghilang selama dua hari dari hadapannya. Jika demikian adanya, ia harus lebih waspada.
“Kau tidak senang aku datang?” tanya si pemuda dengan begitu santainya. Mencomot kue kering yang tersedia di meja begitu saja.
“Tentu saja. Kau pikir kau siapa? Cepat katakan apa
yang kau inginkan dan segera pergi dari sini!” geram Arsyelin seraya mendelik galak. Ia sungguh tak habis pikir. Bagaimana bisa makhluk astral ini datang
lagi menemuinya? Haruskah ia menghubungi ayahnya untuk meminta bantuan? Tetapi itu juga bukan pilihan yang tepat. Ayahnya bisa saja langsung menyuruhnya
pulang karena khawatir. Jika hal itu terjadi, maka pupuslah sudah harapannya untuk berkeliling dunia, bahkan sebelum harapan itu sempat bersemi. Tidak. Ia harus bisa mengatasi masalah ini sendiri.
“Oh, kau sungguh menyakiti perasaanku, Arsyelin,”
balas si pemuda dengan memasang tampang murung yang tampak begitu nyata. Mata awam pasti akan termakan sandiwaranya. Namun tidak dengan Arsyelin.
Tunggu dulu, ia ingat sekali tak pernah menyebutkan
identitas dirinya di hadapan makhluk astral ini, bukan? Lalu, bagaimana ia bisa tahu namanya?
Wajah gadis itu seketika memucat. Menyadari betapa
bahayanya situasi yang akan ia hadapi jika makhluk ini adalah makhluk jahat.
“Dari mana kau tahu namaku?” seru Arsyelin seraya
menatap geram ke arah pemuda yang kini tengah begitu santai menjilati jemarinya setelah menelan kue kering.
“Itu mudah saja bagiku,” sahutnya dengan seringai
lebar yang menjengkelkan. Dahinya mengerut samar dan senyumnya memudar begitu menyadari wajah gadis di hadapannya tampak memucat. Senyum itu pun tergantikan dengan gelak tawa, seolah begitu takjub dengan pemandangan yang terpampang di
depan matanya.
“Oh astaga. Kau tenang saja, aku sama sekali tidak
tertarik berbuat jahat terhadapmu. Terlalu membosankan.” Pandangan pemuda itu
lantas beralih pada selembar kertas yang terkulai di genggaman Arsyelin yang kini berdiri kaku seperti patung es. “Bagaimana jika kedatanganku ke sini ingin
membantumu menyelesaikan kasus itu?” lanjutnya seraya menggerakkan dagu dan melirik ke aras kertas kuno itu.
Arsyelin menatap pemuda di hadapannya penuh penilaian dengan dahi mengerut dalam, seolah ingin mempelajari apakah pemuda di hadapannya itu bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan ataukah hanya membual seperti pedagang online yang berbusa-busa menjelaskan produknya, yang nyatanya barang yang sampai sungguh sangat jauh dari harapan.
Melihat keraguan yang terpancar jelas pada manik
sewarna madu di hadapannya, pemuda itu mengangkat kedua bahu, lantas berdiri dengan seringai lebar. Berjalan ke arah Arsyelin yang masih berdiri di tempatnya semula. Bahkan ketika pemuda itu telah berdiri tepat di hadapnnya, Arsyelin tak juga bergerak. Karena pikirannya mulai dipenuhi beragam dugaan.
“Bagaimana jika kubilang tulisan ini tidak ada
artinya?”
Isaac, si jin genius.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!