HARI JEDA

Hari itu Ana tetap berangkat sekolah, meskipun hatinya merasa tidak tenang. Ana berangkat sekolah bersama dengan Mba Arin. Selama perjalanan ke sekolah Mba Arin dan Ana mengobrol.

“ Ana, tadi pagi itu beneran ******?” Tanya Mba Arin.

“ Ga tau mba, kalau kata mama sih iya.” Jawab Ana.

“ Kamu abis nolak cowok gak?” Tanya Mba Arin.

“ Engga kok mba.” Jawab Ana. Malah habis jadian aku tuh, Ana menjawab dalam hati.

“ Atau mungkin ada yang iri sama kamu?” Tanya Mba Arin lagi.

“ Ya kalo itu aku gatau lah mba, selama ini aku sih baik-baik aja sama orang, gak punya musuh juga aku tuh. Lagian ngapain sih musuh-musuhin orang, gak penting banget.” Jawab Ana tegas.

Setelah itu obrolan mereka terhenti. Hari itu mereka berangkat awal, karena itu Novi pun tidak berangkat bersama mereka. Selama diam, Ana memikirkan banyak hal yang terjadi selama ini. Ana berfikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa hal tersebut terjadi kepadanya.

“ Ana! Mba turun dulu ya.” Kata Mba Arin. Jarak sekolah Mba Arin lebih dekat daripada Ana.

“ Eh iya mba.” Jawab Ana yang terbangun dari lamunannya.

Setelah Mba Arin turun dari angkot, Ana kembali melamun. Ia memikirkan apa yang harus dilakukan jika hal ini terulang lagi. Lalu siapa sebenarnya yang tega melakukan hal keji ini terhadapnya. Siapa pula anak SMP kelas dua yang bisa membeli ******, menurut Ana itu hal yang tidak mungkin dilakukan anak seumuran Ana.

Tanpa sadar ternyata angkot pun sudah sampai di tempat Ana biasa turun. Setelah turun dari angkot, Ana berjalan. Jarak tempat Ana turun sampai ke sekolah kurang lebih 5 menit dengan berjalan kaki. Ana berjalan sangat cepat. Ia ingin cepat sampai di kelas. Setidaknya Ia membutuhkan seseorang untuk di ajak bicara sekarang.

Setelah sampai dikelas, sudah ada beberapa anak yang di kelas. Ana pun menyapa mereka.

“ Assalamualaikum semua.” Salam Ana.

“ Waalaikumsalam.” Jawab Arin.

“ Tumben kamu dah sampe kelas jam segini Na.” Tanya Asep.

“ Iya dong, lagi rajin tau aku tuh.” Jawab Ana.

“ Rajin pacaran.” Ledek Asep.

“ Bilang aja ngiri hahaha.” Ledek Arin.

Temen sekelas Ana semuanya akrab. Tidak ada permusuhan apapun dikelas. Paling hanya becanda yang menurut Ana itu wajar.

“ Duduk dulu Na.” pinta Ali.

“ Oh iya sampe lupa hehe.” Jawab Ana.

“ Tumben ga berangkat bareng Novi.” Tanya Ali.

“ Iya tadi berangkat bareng mba aku, jadi berangkat gasik.” Jawab Ana.

“ Kamu berangkat jam berapa tadi? Paling gasik sendiri kamu berangkatnya. Hampir tiap hari pula.” Tanya Ana.

“ Iya abis ngaji terus berangkat, kalau nunda-nunda takutnya ketiduran Ana.” Jawab Ali.

Ali merupakan anak pondok pesantren. Tap hari Ali berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Jarak pondok dengan sekolah menggunakan sepeda kurang lebih 10 menit. Jadi setiap hari, ada kegiatan mengaji setelah sholat Subuh dipondok nya Ali.

“ Eh Ana.” Panggil Ali lirih. Tempat duduk Ali berada di belakang tempat duduk Ana dan Novi.

“ Iya Ali, ada apa?” Jawab Ana.

“ Kamu beberapa hari ini kok keliatan murung sih?” Tanya Ali lagi.

“ Ah masa? Perasaan aku biasa aja deh mukanya.” Jawab Ana becanda.

“ Bukannya kamu baru jadian sama Petra ya, harusnya kamu lagi sumringah-sumringahnya dong. Ini kamu malah keliatan diem mulu ga kaya biasanya.” Tanya Ali penasaran.

“ Iiih ngegosip. Masa anak pondok ngegosip sih aduh.” Ledek Ana.

“ Idih Ana aku tanya ini loh.” Tanya Ali lagi.

“ Emang kamu tau aku jadian sama Petra darimana?” tanya Ana.

“ Satu sekolah juga tau kali. Guru-guru aja pada tau kalo kamu sama Petra jadian.” Jawab Ali.

“ Ya ampun segitunya menyebar kemana-mana.” Kata Ana keheranan.

“ Dijawab dong pertanyaanku. Malah muter-muter kemana-mana jawabannya.” Kata Ali kesal.

“ Emmm.” Ketika Ana mau menjawab, tiba-tiba Novi datang.

“ Hayo lagi ngobrolin apa berdua. Aku kasih tau Petra nih.” Ledek Novi.

“ Halah kebiasaan ada tukang gossip.” Jawab Ana.

Setelah Novi datang, obrolan Ana dan Ali pun terhenti. Padahal sebelumnya Ana ingin menceritakan kejadian yang menimpanya subuh tadi. Menurut Ana, Ali merupakan orang yang cocok untuk dijadikan teman bicara mengenai hal itu. Karena Ali merupakan anak pondok, yang menurut Ana ilmu agamanya lebih bagus dibanding dengan anak-anak lain dikelas nya.

Saat ini memang Ana membutuhkan seseorang yang bisa diajak ngobrol mengenai hal ini. Terlebih juga dapat percaya dengan yang akan diceritakannya. Ana memutuskan untuk menunda obrolannya dengan Ali. Ana bertekad akan menceritakan hal tersebut ke Ali lain kali ketika hanya ada mereka berdua.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***