...****************...
(Pov Bi Sumi)
Entah sudah berapa banyak kesakitan yg di terima anak malang ini. Aku begitu kasihan melihat nasib Non Sarah. Dia begitu kuat menghadapi sikap ibu nya yg begitu semena-mena padanya. Aku sudah ikut dalam keluarga ini kurang lebih 15 tahun. Begitu pula dengan suamiku Bg Jimi. Kami sengaja di pekerjakan oleh Nyonya Ziva di rumah ini saat mendiang suami nya meninggal dunia.
Aku mengasuh Non Sarah dari beliau masih anak-anak berusia 6 tahun. Dan saat itu usia Non Noela masih 4 tahun. Mereka begitu lucu dan akrab sejak kecil. Akan tetapi yg memantik ke ingin tahuan aku sejak lama adalah, mengapa Nyonya memperlakukan kedua putri nya jauh berbeda.
Ia begitu menyayangi dan mengasihi Non Noela tapi tidak dengan Non Sarah. Tentu aku merasa janggal dengan perbedaan itu. Akan tetapi sekalipun aku tidak pernah berani bertanya kepada Nyonya dalam hal itu. paling tidak aku hanya membantu merawat Non Sarah setelah habis di siksa oleh nya seperti saat ini. Mungkin hal itu jugalah yg membuatku masih di pertahankan Nyonya Ziva untuk bekerja disini hingga tua begini.
"Non... Pasti sakit sekali ya nak." Ucapku lirih. Aku memang sudah menganggap Non Sarah dan Non Noela seperti putriku sendiri. Mengingat bahwa sampai setua ini pun aku belum mempunyai keturunan. Maka biarlah kedua anak majikan ku ini aku anggap sebagai anakku juga.
Aku membalurkan minyak angin yg semula di berikan suami pada Non Noela. Sambil terisak aku terus memijat pelan kening hingga kepala nya. Lebam yg ada di dagu kanan nya mulai terlihat.
"Ini di apakan lagi sama nyonya ya. Aduh Non Sarah... Bibi sedih sekali melihat kamu setiap hari di siksa begini." Ratap ku sambil terus mengelus dan juga memijat Non Sarah. lama kelamaan, usahaku membuahkan hasil. Terlihat dari geliat non Sarah yg mulai nampak.
"Non.. Non Sarah. Kamu sudah bangun nak. Oh ya Allah terimakasih." Teriakku heboh. Sampai-sampai Non Sarah yg masih berusaha untuk memulihkan diri tampak sedikit menyunggingkan senyum di ujung bibir kiri nya.
Ya Allah, hatiku terenyuh haru. terbuat dari apa lah hati anak ini. Dia tidak pernah marah apalagi dendam pada ibu nya. Walaupun sudah entah yg ke berapa kali nya ia di siksa begini oleh sang ibu. Sebagai seorang wanita berkali-kali aku mengutuk perbuatan keji nya itu pada Non Sarah. Namun apalah daya, aku tetap tidak bisa menegur majikanku itu.
Ku belai ujung atas rambut panjang Non Sarah yg sedikit basah karena baluran minyak angin tadi. "Non.. mana yg sakit nak? Sini biar Bibi obati." lirihku terisak pedih. Melihat senyum yg justru di berikan pada anak malang ini, aku semakin tersedu-sedu.
"Bi Sumi... Aku tidak apa-apa. Bukankah aku sudah terbiasa mendapat ini? Aku kuat Bi." Ucap Non Sarah begitu pelan dan terlihat menahan sakit. semua rasa sakit itu berusaha ia tutupi dari senyuman tulus nya yg begitu mengguncang batinku. Aku kembali menangis pilu.
Lalu Non Sarah berusaha untuk bangkit dari tidurnya di lantai se waktu pingsan tadi. dengan sigap aku membantu nya. "Tidak perlu di paksa Non. Biar Bi Sumi yg bantu."
"hehehe aku harus sekolah Bi Sumi. Apa Bibi lupa?" kekeh Non Sarah terdengar lemah. Ia tetap harus bersekolah walau kondisi tubuh tidak memungkinkan.
"Apa tidak sebaiknya jan__"
"jangan sekolah dulu begitu?" Tebak Non Sarah memotong ucapanku begitu saja. sontak aku mengangguk sembari terus membelai rambut indahnya.
"Apa Bibi lupa lagi? Kalau sempat Mama tahu, aku tidak masuk sekolah hari ini, Mama akan kembali murka padaku Bi. Aku tidak akan menyia-nyiakan uang yg Mama keluarkan untuk sekolahku." Tegas Non Sarah yg seketika membuatku bungkam. Aku tidak bisa menyangkal apalagi memberi masukan lainnya lagi. Hanya derai air mata yg mengalir deras sebagai jawaban frustasi akan hidup anak malang di hadapanku ini.
"Baiklah. Aku pergi dulu ya Bi Sumi. Oh ya, itu tadi aku membuatkan Sandwich untuk Bi Sumi dan juga Pak Jimi. Di makan ya Bi." Ucap Non Sarah memberitahu. Ia bergegas menuju kamar untuk bersiap. Aku mengikuti langkahnya yg tergesa.
Sampai di dalam kamar aku melihatnya mempoles wajah cantik alaminya di depan cermin. Lalu ia menempelkan krim penutup lebam yg seperti biasa ia pakai selama ini. Setelah tertutup, baru lah ia merapihkan rambutnya yg rusak akibat jambakkan keras dari sang ibu.
Hatiku kembali terenyuh sakit. Semenyedihkan itu nasib anak itu. Bahkan luka yg di sebabkan oleh ibu nya pun ia tutupi sedemikian rapat. Agar tidak timbul pertanyaan-pertanyaan dari oranglain.
"Selesai! Cermin oh cermin? Siapakah yg paling cantik di dunia ini???" Tanya Non Sarah pada cermin yg memantulkan dirinya itu. Memang sikap itu sudah menjadi kebiasaan nya sejak kecil. Ia suka sekali bertanya begitu seperti yg ada di dongeng anak kecil tersebut.
"Non Sarah lah yg tercantik. Baru setelah itu lahirlah orang yg sama cantiknya di dunia ini, yaitu Non Noela." Jawabku menyeka air mata. Lalu mendekat ingin memeluk erat gadis kuat itu.
"Haha terimakasih ya bi, sudah menjawab pertanyaan yg sama setiap kali aku bertanya." Ucap Non Sarah memelukku erat. Namun karena terlalu kencang pelukan kami, Non Sarah sedikit meringis sakit pada bagian pinggang dan perutnya.
"Auu! sudah bi. Ini sakit, nanti kita berpelukan lagi ya. Sekarang aku harus sekolah dulu. Bye Bi Sumi!" lanjut nya berlalu meninggalkan ku. Aku tahu dia berjalan cepat, agar aku tidak mempertanyakan rasa sakit yg di alaminya.
"Ya Non.. Berhati-hati lah." peringatan ku untuk kebaikannya. Ia mengendari sepeda motor yg di berikan oleh Nyonya sebagai kendaraannya berpergian kemana pun. Hal itu terjadi karena Nyonya tidak sudi untuk satu mobil bersama Non Sarah. Begitu yg ku tahu.
...****************...
(Pov Sarah)
Setelah berpamitan dengan Bi Sumi yg sudah seperti Ibu ku sendiri. Aku bergegas berlarian keluar rumah. Tak lupa aku menyambar sandwich buatanku yg masih terletak di atas piring meja makan. Meski aku tersakiti, diriku harus tetap kuat menopang tubuh dengan tetap makan setiap hari.
aku menggigit sandwich sambil berlari terus menerus menuju pintu depan teras rumah. "Untung aku hanya buat roti pagi ini. Kalau tadi membuat nasi goreng, bisa repot makan sambil lari begini" Aku terkikik membayangkan posisi makan ku yg sambil berlarian ini.
"Bi Sumi! Aku pergi ya.." Aku menjerit untuk kembali berpamitan pada wanita paruh baya itu. Aku tahu dia tidak mungkin bisa mengimbangiku saat berlari tadi. Maka dari itu aku memutuskan untuk menjerit saja.
"Iya Non!! hati-hati!!" Ucap Bi Sumi ke dengar berteriak pula. Aku tersenyum lalu mengendarai sepeda motorku dengan laju sedang.
Sepanjang perjalanan, yg aku pikirkan adalah perbuatan Mama pagi ini. Aku rabai dimana rasa sakit yg di timbulkan akibat perbuatan kasar Mama padaku. "Sakit Ma. Kakak kesakitan Mama berbuat begini padaku. Tapi, sekalipun aku tidak akan pernah membenci Mama. Hanya saja, pertanyaan yg sama selalu saja muncul di saat-saat seperti ini. Mengapa Mama bisa begitu membedakan antara aku dan adek." Lirihku berucap dengan tatapan nanar. Kembali airmata menyeruak di pelupuk. Air dari hidung pun membuatku terisak sendu.
Aku begitu sedih. Aku usap kedua mataku yg berair tanpa sadar...
*Gerudak*!!!
Oh Tidak! Aku menabrak sesuatu. Aku menghantam sebuah mobil yg melintas di persimpangan 3 ini. Kepalaku kembali menghantam kepala motorku sendiri. Lalu bagian depan motor menghantam keras bagian pintu supir mobil tersebut.
Memanglah tidak begitu keras, namun tetap saja pintu mobil itu sedikit penyok akibat tabrakan dariku. Belum sempat aku menyesuaikan diri dari keterkejutan. Keluarlah pemilik mobil itu dengan wajah kejam dan... Tampan!
"Hei! Kamu mau unjuk kebolehan hah? mau menunjukkan kalau kamu tetap hidup saat bertubrukan dengan mobil hah? gila ya! Mobil aku jadi rusak karena motor kamu ini!!!" Amuk Sang pria tampan itu meluap-luap. Ia begitu marah saat aku menabrak mobil mewahnya.
Sontak aku berusaha berdiri, walau luka di bagian kedua lutut, siku kanan ku dan juga kedua telapak tanganku begitu terasa nyeri.
"Ma-maafkan saya pak! Saya benar-benar tidak sengaja. Tadi itu saya sedang terburu-buru mau sekolah." Dustaku berharap sang pemilik mobil percaya padaku. Tidak mungkin aku mengatakan hal yg sebenarnya pada dia.
"\*\*\*\*! Sial sekali aku bertemu denganmu disini! Sudahlah! Kamu pergi saja sana! Dasar anak sekolah berandalan kamu!" Kembali pria itu marah padaku. Yg aku herankan adalah, ia tidak meminta ganti rugi apapun padaku. Aku juga melihat mata nya tertuju pada luka-luka yg aku alami. Tentu saja aku risih dan berusaha untuk cepat pergi dari hadapannya. Toh dirinya juga yg sudah memintaku pergi.
"Terimakasih Pak. saya akan ingat jasa Bapak yg membiarkan aku tetap pergi." Pamit ku menunduk sopan. Aku dorong motorku perlahan, karena kedua telapak tangan ku yg terluka, tentu aku tidak bisa melakukannya dengan cepat.
Aku lihat kondisi depan motorku juga rusak, lampu depan motorku terlihat pecah. Dan juga kap bagian bawah juga pecah. tapi apalah dayaku, tidak mungkin aku meminta bapak ini mengganti rugi atas kerusakan yg ku perbuat sendiri. Maka dengan senyum kaku, aku menyalakan sepeda motorku dan melaju perlahan.
...****************...
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments