"Pak Amar, bagaimana? Apa yang terjadi?" tiba-tiba tetangga Amar yang tadi mengkhawatirkan keadaan anak-anak Amar pun segera masuk. Lalu tanpa permisi, ia memeriksa keadaan Aliyah. "Bu Aliyah?" panggilnya. "Astaga, kenapa Bu Aliyah pucat sekali? Pak Amar, apa yang terjadi dengan Bu Aliyah? Lihat, bahkan tubuhnya sangat dingin seperti ... Astaghfirullah, denyut nadi Bu Aliyah juga lemah sekali. Pak, Pak Amar, sepertinya Bu Aliyah harus segera dibawa ke rumah sakit. Takutnya bila terlambat sedikit saja, maaf, Bu Aliyah bisa lewat," ucap ibu itu yang memang mantan perawat semasa mudanya jadi ia paham bagaimana mengecek denyut nadi seseorang.
Mata Amar mengerjap, ia tampak seperti orang bodoh.
"Lewat, maksudnya?" tanyanya bodoh.
"Astaghfirullah, pak, masa' nggak ngerti sih? Lewat maksudnya ... meninggal. Entah sudah berapa lama bu Aliyah pingsan. Jadi buruan dibawa ke rumah sakit. Jangan sampai terlambat!" ujar ibu itu lagi membuat Amar terkesiap.
"Ibu, ayah, ada apa ini?" tiba-tiba Nana yang baru pulang ke rumah terkejut melihat rumahnya dikerumuni warga. Nana pun segera membuka sepatunya dan masuk ke dalam rumah. Melihat di depan kamar Gaffi banyak orang, Nana pun segera meringsek masuk. Lalu mata Nana terpaku pada sang ibu yang masih memejamkan matanya sejak pagi. Bahkan pakaian ibunya pun masih seperti tadi pagi, belum juga berganti.
Deg ...
Tiba-tiba Nana menegang dengan jantung berpacu kencang.
Ia pun segera berlari mendekati sang ibu dan mencoba membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Bu, ibu kenapa? Ibu, bangun, Bu? Ibu kenapa dari pagi belum mandi kayak gini?" Sontak saja apa yang diucapkan Nana membuat semua orang terkesiap. Kalimat yang Nana ucapkan secara tidak langsung mengatakan kalau Aliyah sudah seperti ini sejak pagi.
"Apa ibumu sudah seperti ini sejak pagi?" Dengan ragu-ragu dan wajah pias, Nana pun mengangguk.
"Astaghfirullah, Pak Amar, jadi Bu Aliyah sudah seperti ini sejak pagi? Lantas kenapa Anda tidak bertindak sama sekali? Ya Allah," seru Bu RT yang belum lama muncul. "Pak Amar, kenapa masih bengong? Ayo bawa Bu Aliyah segera ke rumah sakit. Sekarang!" tegasnya.
Amar tampak gelagapan. Bila sebelumnya hanya Gaffi dan Amri yang menangis, maka untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nana pun ikut menangis. Tiba-tiba ia ingat nasihat gurunya pagi tadi, 'jangan sampai kau menyesal.'
Jantung Nana kian berpacu. Nana menjerit-jerit, berharap sang ibu membuka matanya, tapi sekuat apapun ia menjeritkan nama ibunya, ibunya tak kunjung membuka mata juga.
"Ibu, buka mata, ibu. Ibu, ibu pasti cuma pura-pura tidur kan? Ibu marah sama Nana? maafin Nana, Bu. Maafin Nana. Nana salah. Nana nakal. Nana sudah buat ibu sedih. Nana sudah buat ibu kecewa. Maafin Nana, Bu. Ayo Bu, bangun, Bu. Jangan kayak gini!" Raung Nana.
Amar terkesiap saat menyentuh tubuh Aliyah yang sudah sangat-sangat dingin. Bahkan bibir Aliyah bukan hanya memucat, tapi sudah membiru. Kulitnya yang semula putih, kian putih seakan tak ada aliran darah sama sekali.
Sekali sentak tubuh Aliyah sudah dalam gendongan Amar. Tubuhnya sangat ringan. Amar bahkan dapat merasakan kalau tubuh Aliyah sekarang benar-benar kurus.
Tiba-tiba semua orang memekik saat Aliyah baru saja diangkat. Sepanjang dari bantal hingga ke seprai ternyata telah dipenuhi darah kering. Amar bukan hanya terkesiap, tapi tubuhnya sudah bergetar. Sekelebat bayangan bagaimana tanpa rasa bersalah ia melemparkan sebuah asbak ke kepala Aliyah. Padahal asbak itu terbuat dari beling yang tebal. Sudah pasti benturannya akan menimbulkan luka di belakang kepala Aliyah.
Melihat Aliyah diam tanpa protes, Amar pikir Aliyah baik-baik saja. Tapi siapa sangka, ternyata dalam diam, ada luka yang begitu besar sampai darahnya begitu banyak membasahi bantal dan seprei yang Aliyah tiduri.
"Ya Allah Bu Aliyah, darah apa ini?" pekik tetangga Aliyah. Ia pun segera bergerak mengecek ke bagian belakang tubuh Aliyah untuk memastikan asal darah. Melihat hijab bagian belakang yang kaku karena darah, ia dapat memastikan kalau darah itu berasal dari luka di kepala Aliyah. "Ya Allah, kepala Bu Aliyah berdarah? Apa Bu Aliyah terjatuh? Bapak tahu, kenapa kepala Bu Aliyah sampai berdarah?"
Lidah Amar kelu. Bagaimana ia bisa menjawab kalau pelakunya adalah dirinya sendiri. Sungguh, ia benar-benar suami yang jahat dan kejam.
"Sudah, tanya-tanyanya ditunda dulu. Lebih baik segera ke rumah sakit sekarang. Pak Amar bawa Bu Aliyah ke dalam mobil bapak, nanti biar saya yang menyetir ke rumah sakit," sergah Pak RT yang baru pulang dari masjid untuk shalat Maghrib.
"Suami saya benar, Pak Amar. Lebih baik segera ke rumah sakit. Biar urusan anak-anak, kami yang jaga," imbuh Bu RT.
Amar mengangguk kaku. Sampai sekarang ia belum mampu berkata-kata. Ada hati yang ngilu dan jantung yang bagai dirajam sembilu. Ia tak menyangka, tangannya bisa menjadi penyebab istrinya terluka parah hingga tak sadarkan diri hingga sekarang. Dan bodohnya lagi ia tidak menyadarinya sama sekali.
"Ibu, ibu, Ayah, Nana mau ikut. Nana mau liat ibu," pekik Nana mencoba mengejar sang ayah yang menggendong Aliyah.
"Ibu, hayu ikut ibu ..."
"Mbu, ikut, Mbu, ikut, Mbu ... "
Amar dan Gaffi pun ikut mengejar. Mereka tak ingin dipisahkan dari ibunya.
"Mbu ... Ikut, Mbu, ikut."
"Ibu ... Ayah, Abang hayu ikut ibu," pekik Gaffi.
"Ibu, ayah, Nana mau ikut," jerit Nana lagi. Entah mengapa kini ia benar-benar ketakutan. Benar-benar takut kalau ibunya pergi meninggalkannya untuk selamanya.
"Na, Nana, tenang, Nak. Tenang. Lebih baik kamu di sini, mandi, terus shalat. Mumpung waktu Maghrib masih ada. Terus berdoa, semoga ibu kamu baik-baik saja," tetangga Aliyah mencoba menenangkan Nana.
"Tapi Tante, ibu ... "
"Na, kamu di sini ya! Lihat adik-adik kamu. Sepertinya dari pagi mereka belum mandi, belum makan, kasihan."
Nana terkesiap. Seandainya ia pulang lebih cepat, pasti semua takkan menjadi seperti ini. Tapi ia justru lebih memilih bersenang-senang seorang diri di rumah seorang wanita yang digadang-gadang akan menjadi ibu sambung yang baik. Tapi nyatanya, wanita yang ia kira baik itu tak lebih dari wanita murahan. Di depan ayahnya ia bersikap bak malaikat, tapi di a belakangnya ternyata dia tak lebih dari seorang jalaang yang mau memberikan tubuhnya dengan suka rela pada laki-laki yang bukan suaminya.
Nana benar-benar menyesal. Di sana, Nana malah makan sesuka hati sampai-sampai perutnya kekenyangan, tapi di sini, adik-adiknya justru kelaparan. Dan yang lebih parah, keadaan ibunya tidak baik-baik saja.
Nana segera masuk ke dalam kamar. Dia menangis sambil mengusap tempat tidur ibunya tadi telah dibanjiri darah kering. Tak dapat terbayangkan, betapa sakit ibunya saat itu. Tapi Nana dan ayahnya tak peduli. Mereka justru sibuk mengomel tanpa mencari tahu apa yang terjadi pada Aliyah.
Nana benar-benar dirundung rasa bersalah. Bukan hanya pada sang ibu, tapi adik-adiknya.
"Gaffi, Amri," lirih Nana sambil memeluk Amri dan Gaffi. Namun Amri terus memberontak. Tetangga Aliyah sampai turun tangan untuk membantu menenangkan Amri yang tantrum karena ditinggal Aliyah.
...***...
...**HAPPY READING **...
...❤️❤️❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kamiem sag
sesak dadaku tho
asli aku ingin memukul mencakar menggigit menendang dan memaki Amar pukimakanjingbabibiadabdanNanaanaksetanAmarhantubelau itu...
2025-04-10
0
Asya Princess Khoiron
terima kasih udah di lanjutkan cerita nya kk
2024-07-21
0
Ani Ani
APA DIA Akan selamat
2024-07-10
0