PAS 20

"Nana kok tumben diem di sini? Nggak kumpul-kumpul sama temen lainnya.

Tegur wali kelas Nana, Aileena.

Nana yang tadinya merebahkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan kedua tangan yang dilipat lantas mendongakkan kepalanya.

"Ah, ibu, nggak Bu. Mau di sini aja."

"Kenapa? Wajah kamu kok murung gitu? Kamu begadang?" terka Aileena yang sudah duduk di bangku di samping Nana. Ia menduga Nana begadang sebab lingkar mata Nana tampak menghitam.

Nana lantas mengangguk, mengiyakan.

"Kamu kan sekolah, Na, kenapa begadang? Nanti kamu ngantuk nggak bisa konsentrasi belajar. Memangnya kamu begadang ngapain? Nonton?"

Nana menggeleng, "bukan, Bu. Ibu Nana sakit. Ibu nggak sadar-sadar jadi dibawa ke rumah sakit. Ayah jagain ibu jadi Nana jagain adek-adek. Adek-adek nangis terus nyariin ibu jadi Nana nggak bisa tidur," ucapnya sendu.

Aileena sampai tersentak mendengar penuturan muridnya itu. Rasa bersalah seketika mendera Aileena sebab ia pernah mengingatkan Nana agar bersikap baik pada ibunya sebelum ia menyesal. Dan kini ... seakan apa yang dikatakannya langsung diijabah, ibu Nana sakit membuat remaja perempuan itu tampak murung.

"Memangnya ibu sakit apa?"

"Nana nggak tau, Bu. Mungkin ini hukuman untuk Nana karena selalu melawan ibu. Nana nggak pernah bantu ibu beres-beres sama jaga adik. Nana selalu bikin ibu kesel dan kecewa. Nana nyesel, Bu. Nana mau ibu sembuh. Tapi ibu kayaknya nggak mau maafin Nana dan ayah. Ibu nggak bangun-bangun. Nana nggak mau kehilangan ibu, Bu. Nana harus bagaimana?" tanya Nana lirih. Bahkan pipinya telah basah dengan derai air mata yang tak henti mengucur.

Dada Aileena seketika sesak. Jantungnya bagaikan diremas.

Aileena lantas memeluk Nana dan mengusap punggungnya.

"Ibu nggak tau bagaimana caranya supaya ibu Nana segera bangun. Tapi satu yang pasti, Nana jangan lupa sholat. Berdoalah dengan sungguh-sungguh. Minta ampun sama Allah. Lalu doakan ibu supaya diberikan kesembuhan. Yakin dan percayalah, doa seorang anak yang penuh ketulusan insyaallah akan didengarkan Allah. Jangan pernah putus asa ya, nak. Ibu pun akan turut mendoakan ibumu supaya diberikan kesembuhan dan kesehatan seperti sedia kala."

...***...

"Ayah, adek manjat meja."

"Ayah, adek numpahin air."

"Ayah, adek berantakin mainan."

"Ayah, adek main sabun di kamar mandi."

"Ayah ... "

"Ayah ... "

"Ayah ... "

Gaffi tak henti-hentinya berteriak sejak sepulang dari rumah sakit. Entah itu teriakan mengadu ataupun teriakan karena sang adik memikulnya dengan apa saja yang dipegangnya.

Amar sampai pegal sekaligus pening sendiri mendengarnya. Ternyata anak bungsunya itu memiliki stamina yang luar biasa. Seakan tak ada lelah membuatnya benar-benar kelelahan.

"Amri, udah dong, ayah capek nih! Tuh liat, rumah jadi berantakan semua gara-gara kamu," desah Amar pening sendiri melihat hampir setiap sudut rumah berhamburan mainannya dan semua benda yang ia mainkan. Tapi namanya juga bocah 2 tahun, mana bisa dilarang. Yang ada dia justru tertawa seakan tak ada beban dalam hidup.

Amar yang melihatnya tak kuasa untuk ikut tersenyum. Setidaknya, ada yang menguatkan di saat dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Nana sebenarnya sudah pulang sekolah. Tapi karena semalam kurang tidur, jadi siang ini dia sangat mengantuk. Amar pun menyuruh anak perempuannya itu tidur. Sementara dirinya menemani Gaffi dan Amri. Mereka juga sudah makan siang. Amar membelikan anak-anaknya nasi ayam goreng yang dijual tidak jauh dari kediaman mereka. Sedangkan untuk dirinya sendiri, Amar membeli 2 bungkus mie instan.

Namun namanya juga anak-anak. Hampir semua anak-anak menyukai makanan instan berbumbu tersebut jadi saat melihat Amar memakan mie instan, anak-anaknya langsung tertarik. Tapi mereka tidak berani meminta. Mereka hanya terus memperhatikan mie sang ayah hingga akhirnya Amar menyadari kalau anak-anaknya ingin meminta mie nya jadi Amar pun membaginya. Alhasil, sore ini Amar sudah kelaparan. Tapi ia lebih memilih menahan laparnya sebab ia masih ada tugas yang lain, yaitu memandikan anak-anaknya.

Byurrrr ...

Byurrrr ...

Byurrrr ...

Terdengar suara cipratan air di kamar mandi. Setelah beberapa hari hanya berwajah sendu, Gaffi sudah bisa bermain dengan adiknya. Perlahan, Amar baru menyadari kalau begitu sulit untuk mengasuh anak-anaknya itu. Sekarang saja, Amar sengaja membiarkan anak-anaknya bermain air agar ia bisa membereskan rumahnya.

Keringat bercucuran. Amar benar-benar kelelahan, tapi pekerjaannya belum juga usai. Tak terbayang bagaimana letihnya Aliyah mengurus anak dan rumah mereka seorang diri. Tapi sepulangnya bekerja, ia justru sibuk memarahi Aliyah sebagai seorang istri dan ibu yang tidak becus karena rumah yang belum sempat dibereskan ataupun karena anak-anak yang belum dimandikan.

Amar memejamkan matanya. Perlahan tapi pasti, penyesalan itu membombardir dirinya.

"Sepertinya ini hukuman yang pantas aku dapatkan karena sudah mengabaikan mu."

Gaffi dan Amri baru saja selesai mandi. Mereka sekarang sedang mengenakan pakaian dibantu Amar. Setelah selesai, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Amar lantas segera membukakan pintu dan ia mendapati Nafisa di depan pintu rumahnya.

"Assalamualaikum, Mas," ujar Nafisa seraya tersenyum lebar.

"Wa'alaikumussalam. Kamu Sa, aku pikir kamu tadi hanya bercanda pas bilang mau bantu aku," ujar Amar seraya mempersilahkan Nafisa masuk.

"Nggak lah. Aku serius. Wah, kamu Udah mandiin anak-anak kamu?"

Amar mengangguk. Lalu Nafisa pun segera menghampiri Gaffi dan Amri yang sontak bersembunyi di belakang Amar.

"Eh ... "

"Sepertinya mereka masih takut. Mereka selalu di rumah jadi suka takut kalau ketemu orang baru," jelas Amar. "Gaffi, Amri, kenalin, ini Tante Nafisa, temen ayah. Salaman gih!" ucap Amar, tapi kedua bocah itu menggeleng tegas.

"Nak ... "

"Udah, nggak usah dipaksain. Nanti mereka lama-lama luluh sendiri kok. Ki udah mau ke rumah sakit, Mas?"

Amar memperhatikan kedua anak-anaknya kemudian mengangguk ke arah Nafisa.

"Iya, sore ini aku mau bertemu dokter yang merawat Aliyah. Katanya hasil observasi Aliyah sudah keluar. Janji temunya sekitar kurang lebih satu jam lagi."

"Ya udah, kamu pergi aja. Biar aku di sini. Tapi nanti aku pinjam baju istri kamu ya, Mas buat salin. Aku kan langsung dari kantor jadi nggak bawa baju salin."

Amar terdiam sejenak. Sebenarnya ia tak mau ada yang mengganggu barang-barang istrinya, tapi bila ia tidak pinjamkan bagaimana dengan Nafisa. Lagipula ia sudah berbaik hati ingin membantunya menjaga anak-anaknya. Dengan terpaksa, Amar lantas mengangguk.

"Nanti kamu minta aja sama, Nana. Dia masih tidur. Kalau begitu aku siap-siap dulu ya."

Lalu Amar pun beralih pada kedua anaknya, "Gaffi sama Amri di rumah sama Tante Fisa dulu ya. Ayah mau liat ibu."

"Ibu ... "

"Mbu ... "

Lirih kedua anak itu sedih.

"Jangan nakal ya! Dengerin kata Tante Fisa."

Kedua anak itu melirik takut-takut.

"Ayah, ikut," ujar kedua anak itu.

Amar lantas menggeleng, "nggak bisa. Kalian tunggu ayah sama ibu di rumah ya. Kalau begitu, ayah pergi," ucap Amar sambil mengusap puncak kepala kedua anak itu bergantian. "Fisa, aku titip anak-anak ya. Aku tadi sudah beli ayam goreng untuk makan malam mereka. Ada di kulkas. Terima kasih udah mau bantu aku."

"Mas apaan sih? Nggak perlu sungkan. Kayak sama siapa saja," ucap Nafisa sedikit manja. Ia bersikap layaknya seorang istri pada sang suami. Tapi Amar tidak begitu menanggapi sebab yang ada dipikirannya saat ini hanyalah sang istri.

"Ayah, ikut, ayah, ikuuut. Yah, ikuttt, ayaaaah ... " teriak Gaffi dan Amri bergantian. Mereka menjerit sambil menangis tak henti-henti. Nafisa yang mencoba mendiamkannya sampai kesal sendiri karena kedua bocah itu seakan menulikan telinga dan terus-menerus meneriakkan nama sang ayah.

Geram kedua anak itu tak mau menurut, lalu Nafisa pun membentak mereka sambil menjewer telinga keduanya. Nana yang terkejut mendengar jerit tangis kedua adiknya lantas segera melompat dari tempat tidur. Matanya terbelalak saat mendapati Nafisa sedang memarahi kedua adiknya.

"Diam kalian berdua! Dasar anak bandel! Rasakan ini!"

"Tante, tante apa-apaan? Kenapa marahin dan jewer adik-adik Nana, hah?" teriak Nana yang sudah berdiri di belakang adik-adiknya dengan wajah merah padam karena marah.

...***...

...HAPPY READING ❤️❤️❤️...

Terpopuler

Comments

Lisa Halik

Lisa Halik

agung2kan nafisa tu nana

2024-01-19

4

Sunarti

Sunarti

eeehh baik cuma di dpn Amar gak taunya jahat banget

2023-10-15

0

Alanna Th

Alanna Th

pelakor mo caplok swami org tuh

2023-09-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!