PAS 10

Prang ...

Terdengar suara gelas dibanting hingga pecah berkeping-keping di lantai. Aliyah yang saat itu sedang membereskan cangkir kotor bekas tamu suaminya pura-pura tak mendengar. Ia tetap melanjutkan kegiatannya. Berpura-pura tuli terkadang lebih baik daripada terus berdebat yang belum tentu dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Apalagi di rumah itu bukan hanya ada mereka berdua, tapi ada anak-anak yang mesti dijaga mentalnya. Sudah cukup dirinya yang tertekan dengan tingkah polah sang suami, tapi jangan sampai anak-anaknya pun ikut merasakan dampaknya.

"Puas kau! Puas kau, hah, sudah mempermalukanku di hadapan rekan-rekan kantorku?" pekik Amar tak peduli kalau anak-anaknya akan mendengar teriakannya itu.

Dada Aliyah bergemuruh. Ingin rasanya mulutnya menjawab kata-kata yang Amar lontarkan, tapi sebisa mungkin ia menguatkan hatinya. Terus beristighfar dalam hati dan mengucap sabar, sabar, sabar, Aliyah.

"Aliyah, apa kau tuli, hah? Kenapa diam saja, sialan!" sejak Amar sambil menarik lengan Aliyah yang sedang berjalan membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. Nampan itupun jatuh berikut gelas-gelas tersebut hingga menimbulkan bunyi nyaring dari pecahan gelas. Beling-beling berserak, Aliyah hanya bisa menatap nanar gelas-gelas itu yang berhamburan. Bertambah satu lagi pekerjaannya. Bila tidak segera dibersihkan, takutnya pecahan itu terinjak anak-anaknya. Apalagi Gaffi dan Amri belum awas saat berjalan. Mereka kerap berlarian di dalam rumah tanpa melihat adakah sesuatu yang berbahaya di lantai.

Aliyah menghela nafas panjang. Tanpa memedulikan keberadaan Amar, Aliyah pun segera mengambil sapu dan pengki. Lalu dengan telaten, Aliyah mengumpulkan pecahan beling yang besar ke dalam sebuah kantong plastik. Sedangkan untuk yang berukuran kecil, ia sapu ke dalam pengki untuk dimasukkan di kantong plastik agar tidak berceceran.

"Aliyah, kau tahu kan aku benci diabaikan. Sepertinya kau memang sengaja ingin mencari masalah denganku, iya?" teriak Amar lagi.

Lalu Amar mengambil asbak yang ada di atas meja dan melemparkannya ke arah Aliyah hingga mengenai kepalanya. Aliyah terkejut. Matanya sampai membulat saat ia merasakan hantaman benda keras itu mengenai kepalanya.

Perlahan, ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari bagian belakang kepalanya melewati leher hingga ke punggungnya. Rasa sakit jangan ditanya. Tanpa hantaman itupun Aliyah sudah sering merasakan sakit luar biasa di kepalanya, jadi hantaman itu hanya membuatnya syok. Mungkin karena sudah terlampau sakit atau bahkan sering menahan sakit jadi Aliyah seakan tidak apa-apa. Padahal ... Sakit itu kian menyiksa.

Matanya berkaca. Aliyah pun mendongakkan kepalanya. Tak ingin ia menunjukkan kelemahannya. Tak ingin ia menunjukkan air matanya. Meskipun kini ia sudah bagai mayat hidup, Aliyah tetap tak ingin mengeluh. Cukuplah Allah tempatnya berkeluh kesah.

'Ya Rabb, kuatkan hamba.'

"Bu, Mbu," pekik Gaffi dan Amri bersamaan. Kedua anak kecil itu segera berlari dan memeluk sang ibu.

Wajah Amri pias. Ia tidak sadar telah melemparkan benda keras itu ke kepala Aliyah. Gamis longgar dan jilbab instan yang cukup lebar berwarna hitam membuat darah segar yang mengalir dari kepala Aliyah tidak nampak di mata Amar.

Bukannya menghampiri sang istri dan memeriksa keadaannya, Amar justru bersikap acuh seolah tak peduli. Ditekannya ego untuk peduli sebab baginya semua salah Aliyah. Salah Aliyah membuatnya malu di hadapan teman-temannya. Dengan ego setinggi langit, Amar yang padahal belum benar-benar pulih dari sakitnya justru memilih pergi. Meninggalkan Aliyah yang tidak baik-baik saja.

Tak lama kemudian, Nana muncul.

"Bu, minta duit untuk beli kuota," ujar Nana tanpa peduli kalau Aliyah sedang mendiamkan adik-adiknya.

Aliyah mendongak, "bukankah kau sudah memiliki tante cantik yang baik hati? Minta saja sama dia," jawab Aliyah pelan sambil menahan sakit.

Nana mendengus, "bilang aja pelit. Liat aja, kalo ayah nikah sama Tante Fisa, aku akan ikut ayah sama Tante Fisa aja. Tante Fisa baik. Suka bawain bekal enak-enak terus kasi uang jajan yang banyak. Nggak kayak ibu, pelit. Kenapa sih aku punya ibu kayak ibu? Udah persis babu. Aku sampai malu mau ambil rapot sama ibu. Untung aja ada Tante Fisa, jadi aku nggak malu pas ayah ambil raport sama tante Fisa."

Aliyah tertegun. Ia pikir Nana mengambil sendiri raportnya, tapi nyatanya justru Amar dan Nafisa lah yang mengambilkan. Aliyah merasa pilu. Ia seakan seorang ibu yang tak dianggap. Bahkan anaknya sendiri lebih memilih wanita lain daripada dirinya. Bagaimana hatinya tak hancur. Hatinya yang semula telah hancur karena sikap Amar jadi kian hancur karena sikap putrinya sendiri.

Ditatapnya wajah Nana yang kini juga menatap wajah sang ibu yang benar-benar pucat pasi. Seakan tak ada darah yang mengaliri. Hanya netranya saja yang tampak merah menyala. Menyiratkan luka dan kecewa yang teramat dalam pada sang putri yang begitu disayanginya. Putri yang ia jaha sepenuh hati dengan mengorbankan jiwa dan raga. Ia tak menyangka hanya karena seseorang yang baru, putrinya bisa mencampakkannya seperti itu. Aliyah patah hati. Patah hati karena buah hatinya sendiri.

...***...

"Mas, seriusan perempuan tadi istri kamu?" tanya Nafisa yang sedang menemani Amar di sebuah cafe.

Amar menghela nafas panjang, kemudian mengangguk.

"Jadi bener? Aku kira, kamu nggak serius tadi lho, Mas," ujar Nafisa dengan suara mendayu-dayu.

"Makanya aku nggak betah di rumah. Kamu liat sendiri kan gimana penampilannya," keluh Amar. Lalu ia menyeruput kopi miliknya.

"Kalau Mas udah nggak betah, kenapa masih dipertahankan? Kenapa nggak cerai aja?" cecar Nafisa tanpa rasa bersalah apalagi berdosa karena sama saja tengah mencoba merusak rumah tangga wanita lain.

Amar menghela nafas panjang. Mendengar kata cerai entah kenapa seperti ada sebongkah batu besar yang jatuh dan menimpa dadanya. Terasa sesak. Tak pernah terbayangkan olehnya untuk bercerai dengan Aliyah sekalipun ia kerap merasa bosan dan muak dengan istrinya itu.

Baru saja Amar ingin menjawab pertanyaan Nafisa, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Di notifikasi terlihat nama pengirim adalah Aliyah. Awalnya Amar merasa malas untuk membuka pesan itu, tapi saat isinya lewat sepintas membuat jantungnya berdegup keras.

Dengan perasaan tak karuan, Amar lantas membuka pesan itu. Amar tertegun setelah membacanya. Hanya tiga buah kata saja, tapi entah kenapa rasanya begitu menyesakkan. Lagi-lagi dadanya seakan dihantam palu gadam.

...[AKU MENYERAH, MAS!]...

'Apa ini? Apa kau ingin menggertakku? Memangnya kau bisa apa tanpa aku, hah? Dasar istri tak tahu diri.'

Entah mengapa dadanya seketika bergemuruh. Ada kemarahan di dalam netranya. Egonya yang tinggi membuatnya marah karena tidak terima dengan apa yang Aliyah katakan.

...***...

...HAPPY READING ❤️❤️❤️...

Terpopuler

Comments

guntur 1609

guntur 1609

dasar anak dan suami biadab.. mudah2an bala bin tula menghamioiri kalian berdua

2024-06-10

0

Neli Allen

Neli Allen

pergia Bun unt apa dipertahankan ank yg dharapkan

2024-05-03

4

Micke Rouli Tua Sitompul

Micke Rouli Tua Sitompul

tinggalkan saja amar

2024-03-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!