Makin hari kedekatan Amar dan Nana dengan Nafisa kian menjadi. Bahkan sudah seperti rutinitas, Amar selalu mengantar jemput Nafisa ke kontrakan miliknya. Tak jarang mereka menghabiskan sore hari hingga menjelang malam bersama. Jelas saja hal tersebut memantik kecurigaan Aliyah pada sang suami.
"Mas, mau kemana kamu?" tanya Aliyah pada sang suami yang sedang menyisir rambutnya. Aroma semerbak begitu menyengat menguar dari tubuh sang suami. Jelas saja hal tersebut memupuk kecurigaan Aliyah. Tingkah keseharian suaminya saja telah memantik kecurigaannya, apalagi dengan tingkah polahnya saat ini. Bukan hanya karena suaminya yang tampak begitu rapi dan harum semerbak, tapi juga karena hari itu hari libur. Bila biasanya Amar hanya menghabiskan hari liburnya dengan rebahan sambil memainkan telepon genggamnya atau menonton televisi, maka kali ini ia justru tengah bersiap-siap untuk pergi.
Amar yang tadinya bersenandung sambil menyisir rapi rambutnya, tiba-tiba terdiam. Kemudian ia melirik datar ke arah Aliyah yang tampak mengenakan gamisnya. Ada sepercik tanda tanya mengapa Aliyah sekarang selalu mengenakan pakaian longgar dan jilbabnya meskipun berada di rumah, tapi kalimat tanya itu tak terlontar sama sekali dari mulutnya. Ia memilih acuh tak acuh dan kembali melanjutkan kegiatannya.
"Mas, kamu dengar aku nggak sih?" tanya Aliyah lagi. Sebisa mungkin ia bertutur lembut agar tak memantik perdebatan.
Amar berdecak sebal, "kamu bisa nggak sih nggak usah kepo sama urusanku?" delik Amar kesal.
"Astaghfirullah, Mas, kok istri nanya malah dibilang kepo? Apa Mas lupa, aku ini istri kamu. Aku berhak tau kemana dan dengan siapa kamu hendak pergi," sahut Aliyah sambil menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan tingkah polah suaminya sekarang ini. Makin hari, makin aneh. Bahkan hubungan mereka kini kian hambar. Tak ada kehangatan sama sekali. Rasanya Aliyah ingin menyerah dengan keadaan, tapi ... memikirkan nasib anak-anaknya membuatnya berusaha terus bertahan.
Amar membanting sisirnya dengan kasar lalu mendengkus.
"Aku ingin pergi dengan temanku, kenapa?" jawabnya ketus.
"Dengan Fisa?" tembak Aliyah tak mampu menahan rasa penasarannya lagi.
Amar menoleh cepat dengan mata terbelalak. Jantungnya entah mengapa tiba-tiba berdetak hebat. Ada setitik kekhawatiran merongrong sanubarinya, tapi secepatnya ditepis jauh-jauh rasa itu.
"Kalau iya, kenapa?"
"Mas, siapa dia? Kenapa kau malah sering menghabiskan waktumu dengan dia? Bahkan kau melibatkan Nana di dalamnya. Kau anggap apa diriku, Mas?" tanya Aliyah lirih. Sebisa mungkin ia tahan gemuruh di dadanya. Tak dapat ia pungkiri, rasa sakit itu benar-benar menyesakkan hati dan jiwanya. Jiwanya yang rapuh jadi semakin luluh lantak mengetahui suaminya akan menghabiskan harinya dengan wanita lain.
"Dia temanku," jawab Amar acuh tak acuh sambil mengambil kunci mobilnya. Lalu Aliyah dengan cepat menahan tangan Amar membuat laki-laki yang baru saja hendak membuka pintu itu seketika menghentikan gerakannya.
"Mas, kau tahu kan, ini tidak benar. Kau sudah beristri. Apa kau ingin berselingkuh?"
"Mau aku berselingkuh atau tidak, bukan urusanmu. Salahkan dirimu yang sudah tidak menarik lagi di mataku. Lihat, penampilan mu, benar-benar ... " Amar berdecak.
Mendengar kalimat bernada mencemooh itu lagi-lagi keluar dari bibir suaminya membuat hati Aliyah peri tak terkira. Namun tak bisakah Amar mengerti sedikit saja posisinya. Bukan maunya seperti ini, tapi semua ia kerjakan seorang diri. Belum lagi keuangan yang benar-benar pas-pasan membuatnya harus memutar otak agar segalanya cukup. Bahkan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, diam-diam Aliyah mengambil upahan mencuci pakaian tetangganya. Aliyah diam. Ia tidak memberitahu suaminya sama sekali. Ia khawatir suaminya itu marah dan mencercanya macam-macam.
Kekhawatirannya membuat Aliyah memilih bungkam. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala, apa saja ia lakukan demi membahagiakan dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Mengabaikan rasa sakit, lelah, dan mengantuk. Bahkan Aliyah rela mengikat perut asalkan anak-anaknya bisa makan makanan bergizi dan kenyang. Ia juga sampai tak sempat mengurus diri sendiri demi memprioritaskan anak-anak dan suaminya.
Namun, bila segala pengorbanannya dibalas dengan mendua, bagaimana Aliyah bisa tahan?
Aliyah hanya manusia biasa, ia punya hati yang akan terluka bila terus-terusan diabaikan, apalagi diduakan.
Bila selama ia diabaikan ia bisa tetap bertahan, tapi bila diduakan, maka runtuh sudah segala asanya.
Sakit di tubuh bisa diobati, tapi sakit di hati? Aliyah tak mampu menahan.
"Mas, aku mohon jangan pergi! Jangan ... Aku mohon!" melas Aliyah dengan air mata yang sudah tak mampu dibendung. Aliyah menggigit bibirnya seraya menahan rasa sakit di jiwa dan raganya. Sakit di kepalanya yang kian hari kian menjadi kini semakin menjalar-jalar. Belum lagi sakit di perutnya yang berimbas ke nafasnya menjadi sesak.
Bukannya menuruti permintaan sang istri, Amar justru meraih pergelangan tangan Aliyah dan melepaskannya begitu saja. Setelahnya, ia pergi tanpa peduli tubuh Aliyah yang telah melorot ke lantai.
Tangis Aliyah pecah. Hatinya hancur. Suaminya tak lagi memedulikannya.
Kepala Aliyah mendongak, menatap langit-langit kamar yang memburam di penglihatannya.
"Ya Allah, kepada siapa lagi aku mengadu selain pada-Mu. Ya Allah, hamba mohon, kuatkan aku. Kuatkan hatiku. Beri aku kesabaran. Dan ... selamatkanlah rumah tanggaku."
...***...
Amar telah berada dalam mobilnya. Entah mengapa melihat wajah Aliyah tadi membuat hatinya tak tenang. Seperti ada sesuatu yang berbeda.
Amar menatap telapak tangannya, "kenapa aku merasa pergelangan tangan Aliyah seperti lebih besar dari biasanya? Kalau badannya gemuk, mungkin hal itu wajar. Tapi ini ... Aku perhatikan, tubuhnya seakan makin kurus?" Amar bergumam seorang diri seraya termenung saat lampu merah menyala. Membuat mobilnya terpaku berhenti sementara. Hingga tiba-tiba panggilan di telepon genggamnya membuyarkan lamunannya. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Amar tersenyum. Rasa hatinya seketika berubah. Senyum tersungging lebar di bibirnya tatkala suara merdu di seberang telepon menyapa indra pendengarannya.
"Halo Mas, udah dimana?" tanya seorang perempuan yang akhir-akhir ini kian dekat dengan Amar.
"Udah di jalan. Ini sebentar lagi sampai. Masih lampu merah. Tunggu sebentar lagi ya!" ujar Amar ramah. Tidak seperti caranya berbicara dengan Aliyah yang terkesan dingin dan ketus. Sungguh sangat berbanding terbalik. Bukankah seharusnya seorang suami berbicara lembut dan penuh kehangatan dengan istrinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Othor pun sampai-sampai tak habis pikri. Sikap Amar ini benar-benar di luar nurul.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya! Bye ... "
Amar menutup panggilan itu dengan tersenyum-senyum sendiri. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri membuatnya abai kalau keadaan Aliyah sedang tidak baik-baik saja. Bahkan sejak kepergian Amar tadi, Aliyah sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai tanpa seorang pun yang tahu.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kamiem sag
Amar cerein aja Aliyah
anak dibagi dua
Nana sama Amar
Giffi dan Amri sama Aliyah
kalo Aliyah mau kerja titipin aja dua putra itu ke penitioan anak atau ke PAUD atau ke panti
2025-04-10
0
Dewa Rana
mudah2an kita dijauhkan dari laki2 seperti ini
2025-01-04
0
Ani Ani
laki satan
2024-07-10
0