PAS 11

Amar pulang ke rumah dengan dada bergemuruh. Sejak tadi ia menahan emosinya yang nyaris meledak-ledak setelah membaca pesan yang Aliyah kirim. Bahkan ia jadi mengabaikan Nafisa karena pikirannya selalu tertuju pada Aliyah.

"Mas, masa' udah mau pulang sih? Kan biasanya juga kita pulang malaman dikit. Ini aja baru jam 10, nanti ya pulangnya. Kita jalan-jalan dulu ya?" bujuk Nafisa sambil menarik-narik lengan Amar setelah laki-laki itu tiba-tiba mengajaknya pulang.

"Kamu kan tahu sendiri, Mas sedang sakit. Kalau nggak karena sedang suntuk di rumah, mas aja sebenarnya enggan keluar. Badan Mas rasanya remuk semua. Nggak papa ya kita pulang sekarang? Kan masih ada besok. Besok deh, kalau kondisi badan Mas udah jauh lebih baik, kita akan jalan-jalan lagi. Kita nonton juga, bagaimana? Kamu mau?" bujuk Amar.

Nafisa mengerucutkan bibirnya, kemudian mengangguk. Amar pun tersenyum. Ia meraih tangan Nafisa dan menggenggamnya. Nafisa tersenyum malu-malu mendapatkan perlakuan manis dari Amar.

...***...

Amar telah tiba di rumahnya. Tampak semua lampu telah dimatikan. Saat masuk ke dalam kamar, lagi-lagi Amar tidak menemukan Aliyah. Ia pun segera beranjak menuju kamar Gaffi. Melihat kedua putranya tertidur sambil memeluk Aliyah membuatnya mengurungkan membangunkan Aliyah.

Amar melengos pergi dari kamar Gaffi menuju kamarnya. Diperhatikannya sekeliling, ternyata semua yang tadinya berantakan telah dibereskan oleh Aliyah. Amar pun segera masuk ke dalam kamar dan membanting tubuhnya ke atas ranjang. Mengingat pesan yang Aliyah kirim tadi, Amar kembali kesal.

Pagi hari, rumah tampak begitu sunyi. Tidak seperti biasanya yang terdengar gaduh karena ulah Amar dan Gaffi. Amar yang jarang di rumah saja merasa telinganya pengang karena jeritan kedua bocah itu apalagi saat berebutan sesuatu. Justru hal itulah yang membuat Amar merasa aneh. Amar dan Nana sampai bangun kesiangan karena suasana rumah yang terlampau senyap.

"Sial! Aliyah mana sih? Kenapa nggak bangunin aku?" rutuk Amar saat melihat jarum jam nyaris menyentuh pukul setengah delapan.

Ia pun segera masuk ke kamar mandi. Tak sampai 5 menit, Amar telah keluar lagi dengan tubuh basahnya. Entah dia benar-benar mandi atau hanya sekedar menyiram badannya saja.

Setibanya di tepi ranjang, Amar tidak menemukan pakaian kerja seperti biasanya yang telah siap di tepi ranjang. Rahang Amar pun mengeras. Dadanya naik turun menunjukkan kalau ia benar-benar marah.

"Aliyaaah, kau dimana, hah? Kenapa bajuku belum kau siapkan juga?" pekik Amar, tapi hingga detik berganti jadi menit Aliyah tak kunjung muncul di dalam kamar itu.

"Dasar istri sialan. Awas kau ya!" pekik Amar kesal sambil menendang pintu kamar. Lalu ia segera menuju lemari dan mengambil pakaian asal. Ia sudah terburu-buru jadi tak sempat memilih mana yang pas untuk dipakai hari itu.

Sama seperti Amar, Nana pun ikut kesiangan pagi itu. Selalu bergantung pada Aliyah, membuat kedua orang itu kelabakan sendiri saat Aliyah tidak membangunkan dan menyiapkan perlengkapan mereka.

Keluar kamar, Nana menjerit dan mengomel seperti orang kesetanan karena ia sudah benar-benar terlambat ke sekolah. Padahal hari itu dia akan ikut perlombaan paduan suara bersama teman-temannya untuk mewakili sekolah dalam sebuah event.

"Ibuuu, kaos kaki putih aku mana?" teriak Nana. Tapi hanya ada kesunyian yang menyergap rumah yang cukup besar itu. Nana pun menuju dapur untuk mencari keberadaan ibunya sekalian minum susu yang selalu Aliyah siapkan untuknya, tapi yang ia lihat hanyalah kesunyian. Bahkan meja makan pun tampak kosong sama seperti semalam saat Aliyah bereskan.

"Ibu dimana sih? Ibuuu ... " pekik Nana lagi.

"Ibu kamu mana?" tanya Amar tergesa sambil memasang dasi di lehernya.

Nana menggeleng dengan wajah cemberut, "nggak tau. Dari tadi Nana panggilan tapi nggak nyaut juga. Mana nggak ada sarapan. Kesiangan pula. Yah, kok pakaian ayah kayak gitu sih?" Tiba-tiba Nana mengerutkan keningnya saat melihat pakaian yang Amar kenakan.

"Kenapa?"

"Ayah aneh. Masak kemeja marun, celana hitam, tapi dasi warna kuning, nggak matching banget. Aneh," ucap Nana.

Amar menghela nafas kasar, "itu semua karena ibu kamu. Biasanya jam segini kita udah berangkat, tapi jangankan berangkat, udah kesiangan, pakaian belum disiapin. Lalu mana ini? Kopi dan sarapan untuk ayah pun nggak ada. Sebenarnya kemana ibu kamu sih?"

"Coba aku liat di kamar Gaffi." Nana pun segera beranjak menuju kamar Gaffi. Mata Nana terbelalak saat melihat ternyata sang ibu masih tertidur pulas di dalam sana. Hanya kedua adiknya saja yang sudah bangun, tapi mereka tidak beranjak sama sekali. Mereka seolah masih betah memeluk sang ibu yang terlelap.

"Bu, ibu, kaos kaki Nana mana?" tanya Nana dengan suara sedikit keras. "Ibu, ih, ibu, Nana sama ayah sudah kesiangan ini? Ibu kok malah masih enak-enakan tidur sih?" ucap Nana dengan wajah cemberut. "Ibu ... Ck ... Ibu ini tuli atau apa sih? Tidur udah kayak kebo," omel Nana, tapi Aliyah tak kunjung membuka matanya.

Tak lama kemudian, Amar pun muncul.

"Ibu kamu ... " Baru saja ia ingin bertanya apa Nana berhasil menemukan ibunya, tapi tiba-tiba Amar terperangah. Tak pernah-pernah wanita yang telah menjadi istrinya selama hampir 15 tahun itu masih tidur di jam seperti ini.

Bukannya penasaran dengan apa yang membuat Aliyah masih tertidur hingga hari sudah menjelang siang itu, Amar justru sibuk memaki-maki Aliyah.

"Heh, perempuan pemalas, bangun kau!" teriak Amar. Gaffi dan Amri sampai terperanjat dan memeluk erat tubuh ibunya kemudian menangis, tapi Aliyah tak kunjung membuka matanya. Ia seakan masih betah dengan posisinya. Bukannya iba melihat anak-anaknya ketakutan, Amar justru makin meradang. "Aliyah, aku yakin, kamu pasti pura-pura tidur kan? Bangun kamu!" sentak Amar lagi, tapi Aliyah seakan tuli, tak kunjung membuka matanya apalagi menyahuti kata-kata Amar. Dengan perasaan kesal, Amar lantas melangkah keluar sambil membanting pintu hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras dan memekakkan telinga.

Tangis Amar dan Gaffi kian pecah, tapi Amar tak peduli. Begitu pula Nana, ia pun segera berlalu dengan bibir mencebik kesal.

"Yah, anterin ke sekolah ya! Nana udah telah nih," ujar Nana seraya mengenakan sepatunya dengan kaos kaki kemarin.

"Ayah nggak bisa. Ayah juga sudah telat. Kamu naik aja ojek di pengkolan sana. Nih, ongkos buat kamu," ujar Amar seraya menyodorkan uang 5 ribu rupiah ke hadapannya.

"Yah, 5 ribu mana cukup, Yah. Mana ibu masih tidur, belum kasih duit jajan juga. Tambahin dong, Yah!" bujuk Nana.

Amar mendengkus, lalu mengambil lagi yang 10 ribu dari dalam dompetnya dan diberikannya kepada Nana. Nana menerimanya dengan wajah cemberut. Ingin minta lebih, tapi ayahnya sudah melengos dan keluar dari dalam rumah. Nana pun ikut keluar sambil menghentak-hentakkan kakinya.

...***...

...HAPPY READING ❤️❤️❤️...

Terpopuler

Comments

Neli Allen

Neli Allen

apakah ada seorang manusia sperti ini aku rasa TDK .berati amar dan nan bukan manusia .ya iyalah ini kan cerita

2024-05-03

4

Lisa Halik

Lisa Halik

anak&suami tak pernah faham kesian aliyah

2024-01-19

0

Sunarti

Sunarti

suami dan anak perempuan nya yg gak pernah paham dng keadaan sang ibu

2023-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!