BAB 19

Sudah sebulan setelah kepergian Tante Rani. Gangguan demi gangguan dari para lelembut masih saja menimpaku, tapi itu semua hanya gangguan iseng yang tidak saling berkaitan.

Setelah penampakan Tante Rani di didapur sebulan lalu, sosoknya sudah tidak pernah tampak lagi. Sosok wanita setengah ular juga tidak pernah menggangguku lagi, dia hanya menampakan diri dari kejauhan. Adit sudah sembuh dari luka akibat kecelakaannya, sekarang dia sudah mulai berangkat kuliah.

Seperti biasa aku duduk dikantin dengan Amel dan Bayu, sedangkan Sella di kampus lebih sering bersama pacarnya.

"Pacar lo udah mulai berangkat kuliah lagi?" tanya Amel menggodaku. Pacar yang dimaksud Amel adalah Adit.

"Ngaco, aku kan nggak ada hubungan apa-apa sama Adit," sahutku dengan wajah panas.

"Tapi kalian kaya orang pacaran tau,  macam lovebird," ucap Bayu sambil terkekeh.

Saat aku sedang di goda habis-habisan dengan mereka tiba-tiba seseorang memanggilku. Akupun menengok kebelakang dan ternyata yang memanggilku adalah Adit. Akupun meninggalkan Amel dan Bayu yang sempat berdehem-dehem dengan lebay.

******

Aku dan Adit duduk di taman belakang kampus, mengingatkanku tentang Mayang wanita yang sangat dicintai Adit. Bagaimana mungkin aku bisa memasuki hatinya sedangkan cintanya hanya untuk Mayang.

"Kamu kenapa ngelamun?" tanya Adit yang langsung membuyarkan lamunanku.

"Ah nggak apa-apa kok. Kamu kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku balik.

"Cuma pengen ngobrol aja, udah lama nggak kesini. Kangen rasanya, ini salah satu tempat sepesial buatku," ungkapnya sambil tersenyum.

Aku tahu tidak normal cemburu pada hantu, tapi sungguh kali ini aku cemburu pada Mayang yang bisa dicintai laki-laki seperti Adit.

"Kamu udah bener-bener sembuh?" tanyaku untuk mengusir rasa panas dalam hatiku.

"Udah kok. Oh ya soal obrolan kita tempo hari tentang hantu wanita muka rata yang bilang ibumu masih hidup gimana?"

"Nggak tau aku bingung, Dit. Semua kejadian yang terjadi belakangan ini seperti saling terkait. Tapi aku nggak tau harus memulai mencari tahu dari mana," ucapku jujur.

"Menurutku kamu harus pulang kerumahmu di kampung, barangkali disana ada petunjuk," ujar Adit dengan wajah serius.

"Aku juga sempat berpikir begitu tapi Om Bagas nggak ngebolehin aku untuk pergi kerumahku dulu"

"Kenapa emangnya?" tanya Adit hati-hati.

"Aku juga nggak tau, tapi sepertinya aku harus membuat alasan agar aku bisa pulang sebentar ke rumah lamaku," jawabku.

"Aku bakal nganterin kamu ke rumah kamu yang dulu," ucap Adit

"Jangan, kampungku lumayan jauh dari jakarta." Larangku pada Adit.

"Ah seberapa jauh sih, pokoknya nanti kamu akan aku antar," ucapnya tanpa mau dibantah.

******

Pagi ini aku berencana pergi dengan Adit ke kampungku dulu. Sebelumnya aku sudah pamit pada Om Bagas dan Sella, aku bilang setelah kuliah akan ke Amel dan menginap disana karena keluarga Amel akan keluar kota. Aku terpaksa berbohong agar supaya Om Bagas mengijinkanku pergi.

Aku dan Adit pergi menggunakan mobil baru Adit, entah kenapa aku begitu gugup. Aku juga merasa takut, padahal tempat yang akan aku kunjungi adalah rumahku sendiri. Tempat aku dilahirkan dan dibesarkan juga tempat dimana aku mengisi hari-hariku dulu.

Setelah hampir Delapan jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di kampungku. Hari menjelang sore saat mobil Adit mulai memasuki area perkampungan yang disana sini masih banyak kebun kosong yang dipenuhi pohon bambu.

"Kalo malem pasti keliatan serem banget," ungkap Adit sembari matanya menelusuri setiap jalanan yang kami lalui.

"Takut?" tanyaku geli.

"Lumayan sih, tapi enggak juga kan aku sedang bersama salah satu wanita paling pemberani yang pernah aku temui," ucapnya yang langsung membuatku tersipu malu.

******

Aku melihat rumah didepanku dengan perasaan campur aduk. Takut, gugup dan rindu. Dirumah ini terlalu banyak kenanganku bersama Bapak.

"Masuk sekarang?" tanya Adit.

Akupun mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintunya. Kondisi rumah masih sama saat terakhir aku tinggalkan. Hanya saja pelataran rumah dipenuhi daun-daun kering dan kondisi didalam rumahpun di penuhi debu.

"Kita mulai dari ruang pribadi Bapak," kataku pada Adit yang langsung mengikutiku.

Tempat itu masih sama dengan terkahir saat kejadian Bapak meninggal. Karena setelah kejadian itu tidak ada yang berani masuk ke dalam apalagi ditambah dengan kematian Pak'lek Agus.

Bunga tujuh rupa yang sudah mengering, bekas kemenyan dan banyak hal-hal yang berkaitan dengan mistis aku temukan di ruang pribadi Bapak.

"Lemarinya bisa dibuka nih, Langen!" panggil Adit.

Akupun langsung menghampiri Adit, ternyata di dalam lemari itu terdapat wayang kulit yang biasa bapak gunakan untuk manggung. Tapi mataku tertuju pada sebuah kotak kayu berukuran sedang, kotak kayu berwarna cokelat dengan ukiran di atasnya.

Aku membawa kotak kayu itu ke ruang tengah, saat aku akan membukanya ternyata kotak kayu itu terkunci.

"Sepertinya yang ada di dalam kotak itu sangat penting," ucap Adit yang duduk disebelahku.

"Aku akan mencari kuncinya. Siapa tau ada di kamar Bapak."

Setelah mencari di kamar Bapak, aku tidak menemukan apapun. Akhirnya aku kembali keruang tengah, disana Adit sedang melihat-lihat foto yang terpajang di dinding rumah.

"Nggak ada apapun yang bisa aku temukan di kamar Bapak. Tapi aku penasaran apa yang ada di dalam kotak kayu ini," ungkapku sambil memegang kotak kayu itu.

Bukannya menyahut Adit justru terpaku melihat kearah leherku.

"Kenapa Dit?" tanyaku curiga.

"Bandul kalung kamu bentuknya kunci dan sepertinya kunci itu bukan hanya aksesoris kalung," jawabnya.

Adit benar, tanpa basa-basi akupun melepaskan kalungku dan mencopot bandulnya yang berbentuk kunci.

Saat memasang bandul kunci itu pada lubang kunci yang ada di kotak kayu itu terdengar suara klik yang menandakan kotak kayu terbuka.

Aku menatap Adit sebelum membuka kotak kayu itu. Aditpun mengangguk sebagai tanda setuju. Ketika aku membukanya, ternyata yang ada di dalam kotak kayu itu adalah sebuah keris berukuran sedang. Keris berwarna kuning emas.

Pada saat aku akan menyentuh keris itu tiba- tiba angin kencang menerpaku dan Adit yang langsung berlari ke arah pintu. Angin kencang itu seakan mengejar kami, saat berada di mobil aku merasa seperti sedang manaiki perahu yang sedang di ombang-ambingkan ombak.

"Dit, ayo cepat kita pergi dari sini."

Adit tidak menjawabnya, dia langsung menancapkan gas dan menyetir mobilnya keluar dari pelataran rumahku.

Hari sudah menjelang malam saat itu dan suasana kampung sudah sangat sepi. Adit terus memacu mobilnya dengan cepat, angin kencang tadi sudah tidak memgikuti kami. Tapi rasa takut tetap menyelimutiku.

Sebenarnya keris yang berada di kotak kayu yang sedang aku pegang ini keris apa , kenapa hanya melihat keris ini aku merasa sangat takut.

Dan apa yang Bapak coba sembunyikan dariku?

Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar dalam pikiranku sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Apakah Bapak ada hubungannya dengan wanita setengah ular itu?

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!