...🥀🥀🥀...
Keesokan paginya, Claire yang sudah di jemput oleh Edwin tampak bersiap bersama Neo dan Juwi. Mereka rencananya akan menempati rumah baru hari ini. Makin cepat makin baik, begitu pikir Claire.
Claire adalah wanita mandiri yang tentu tak usah di ragukan lagi soal berapa banyak uang di kantongnya, sejak remaja ia memang getol untuk berbisnis, tak seperti adiknya Melodi yang lebih slow manakala menjalani kehidupannya.
Tak ayal, semua itu membuat Claire selalu lebih mudah manakala memutuskan sesuatu. Sebab di era sekarang ini, meksipun uang bukanlah segalanya, tapi segalanya membutuhkan uang.
" Aku mau tas Captain America ku Ibu!" rengek Neo yang tak berpisah dari tas bergambar salah satu tokoh superhero dari Avangers yang memiliki tameng bulat dengan gambar bintang putih di tengahnya itu.
Maka Juwi seketika sigap mengambilkan benda yang berisikan puzlle lucu kesayangannya itu.
Juwi yang melihat Edwin begitu perhatian kepada Claire, sebenarnya sering bertanya kepada majikan rasa teman itu.
" Kenapa gak di terima aja Pak Edwin, Bu? Orangnya ganteng, baik lagi!" selorohnya mamak mereka berdua di dapur bersama.
Tapi berumah tangga bukan soal dirinya dan kesenangannya saja. Ada sosok bocah yang wajahnya benar-benar mengingatkan Claire akan satu sosok yang tak lagi ia ketahui keberadaannya. Bukan tak tahu, tapi mungkin tidak mau tahu.
Apalagi, ia tahu bila sejak dini Neo merupakan jenis orang yang selektif dan perfeksionis. Membuat Claire sedikit kesulitan bahkan untuk sekedar memberi pengertian.
Kebencian yang mengakar, lalu bertumbuh di hati Claire membuat benang kusut antara keduanya jelas tak akan pernah menemui titik temu. Apalagi, seluruh keluarganya benar-benar menyayangkan hal itu, terutama kakeknya, Edi Darmawan.
" Sisanya biar di bawa sama mobil yang satunya, ayo kita berangkat sekarang. Neo, mau sama om?" perkataan Edwin membuat lamunannya menguap.
Namun dinding tebal bocah itu tak juga runtuh meskipun Edwin men-threat Neo dengan sangat baik. Sejenak membuat Claire merasa jika Neo adalah gambaran Sada yang sesungguhnya.
Jelas dan tak terbantahkan.
" Neo!" kata Claire memperingati anaknya untuk jangan ketus.
" Baik Ibu!" jawab Neo dengan wajah cemberut.
Bocah itu sebenarnya tak benci kepada Edwin, terkadang ia juga menerima upeti berupa coklat atau makanan ringan bercitarasa lezat dengan hati sumringah. Hanya saja pasca ia di buli oleh Brandon, ia semakin penasaran dengan sosok ayah.
" Apakah Om Edwin ayahku?"
" Bukan, dia teman Ibu!"
Lalu bagaimanakah representasi Ayah yang sesungguhnya? Mengapa tidak setiap orang bisa di sebut Ayah, sedangkan teman-temannya yang lain memiliki Ayah.
Apakah ayah meninggal?
Apa itu meninggal?
Ataukah ayah pergi bekerja, apa Ibu tidak menyimpan fotonya?
" Kita ada karena ada ayah dan ibu!"
Ucapan ibu guru terus menari-nari di otak kecilnya. Membuat Neo semakin terjebak dalam pemikirannya sendiri.
" Apakah di sekolah baruku nanti juga akan ada hari Ayah?" cetusnya saat mobil sudah membelah jalan raya yang mulai padat merayap.
Claire yang duduk di sebelah Edwin kembali menelan ludah cepat. Anaknya yang penuh rasa ingin tahu itu terkadang memang membuatnya pusing sendiri.
" Apa Neo ingin ikut pementasan? Om bisa temani Neo!" tawar Edwin mencoba mengimbangi keingintahuannya bocah super itu.
" Tapi kata Ibu, Om bukan Ayah Neo!"
Absolutly!
Membuat ketiga manusia dewasa disana seketika merasakan kecanggungan yang menguar ke seluruh atmosfer di dalam mobil.
" Om bisa berperan menjadi Ayah Neo!" timpal Edwin tak terganggu.
" Berarti Neo bohong dong?"
Damned! You're really- really Sadawira son!
" Win!" Claire mengusap lengan terbuka Edwin perlahan sembari mengedipkan matanya berusaha memberi tahu untuk tidak melanjutkan perbincangan ini.
Claire memijat keningnya pening, semakin kesini kenapa anaknya itu semakin menunjukkan sikap seperti bapaknya.
Kecil saja sudah begitu, lalu bagaimana dia akan menghadapi Neo jika semakin besar nanti?
-
-
Mereka tiba saat matahari berada tepat di atas kepala. Claire membeli rumah itu melalui agen resmi dan meminta rumah lamanya ia jual sebab tak memilih keinginan untuk kembali ke lingkungan toxic.
Birokrasi di negara itu sedikit lebih mudah dari pada di Indonesia, membuatnya jadi lebih nyaman. Selain itu, bisnis Claire sudah masuk ke berbagai kota di negara itu. Membuatnya tak kesulitan jika harus memiliki tempat tinggal sebab di tiap kota, ia memiliki cabang.
Ia memilih Atana sebab kota ini belum pernah dia kunjungi, dan termasuk kota yang terjauh dari ibu negara. Mungkin lebih tenang berada di kota sibuk seperti Atana, yang sebagian besar penduduknya bekerja di pabrik-pabrik.
" Ibu, ini rumah kita?" tanya Neo yang sudah melupakan soal hari Ayah sebab terpukau dengan bangunan besar bercat modern.
Claire mengangguk mewakili jawaban iya. Membuat bocah aktif itu melesat masuk sebab tak sabar melihat rumah besar yang lebih futuristik.
" Ye, rumahku seperti rumah Spiderman, ye!!! teriak Neo yang kini melesat meninggalkan tiga manusia di belakangnya.
"Den, jangan lari-lari!" teriak Juwi yang kini tergopoh-gopoh saat mengikuti anak yang gesit itu.
Edwin yang tersenyum senang kini membantu Claire menurunkan beberapa koper yang mereka bawa.
" Are you still thinking about him?"
(Apakah kamu masih memikirkan dia?)
Membuat kontan Claire menoleh.
" Kita sedang membicarakan siapa?" keningnya berkerut menandakan bingung.
" Ayah Neo!"
Tapi Claire sama sekali tak berminat untuk membalas cuitan Edwin yang tiba-tiba membuat hatinya mencelos itu. Ia bahkan tak lagi tahu dimana keberadaan Sadawira, lebih tepatnya tidak mau tahu.
" Aku sudah bahagia bersama Neo!" menjawab datar dengan tangan yang sibuk meraih gagang koper. " Dia putraku, dan itu lebih dari cukup!" tegasnya lalu kini pergi meninggalkan Edwin yang mematung di depan dua koper hitam yang masih ada di bagasi mobilnya.
Edwin tersenyum sumbang, kini beralih melangkahkan kakinya mengejar Claire yang lebih dulu menggeret koper.
" Aku akan menunggu, sampai kau membuktikan hatimu!"
Rumah itu lebih lega dengan desain yang lebih modern. Ia dulu tinggal di rumah dengan desain kolonial karena itu adalah pilihan sang kakek. Ia yang dulu terpuruk tak terlalu memikirkan bagaimana bentuk serta model hunian yang bakal di tinggali.
Jangankan memikirkan model rumah, ia saja nyaris mengakhirinya hidupnya sendiri sebab tak bisa menerima kenyataan pahit akibat perbuatannya sendiri itu.
" Ibu, apakah semua yang kamar itu untukku?" Neo rupanya sudah mengeksplorasi rumah itu dengan cepat.
Bocah itu berlari sembari membawa robot Thor dengan wajah berbinar, mendahului seorang petugas agen yang juga turut hadir di sana untuk serah terima.
" Tentu. Semua yang ada di kamar Neo, adalah milik Neo!" jawab Claire mengusap lembut kepala anaknya yang semakin hari semakin aktif itu.
" Yee!" teriak Neo seraya berselebrasi kesana-kemari.
Maka Claire kembali tersenyum saat melihat anaknya sesenang itu. Kehangatan tiba-tiba timbul di dalam hatinya, ketika ia bisa melihat senyum lepas anak satu-satunya itu.
" A brave little boy!" gumam Edwin memuji Neo seraya menatap lekat.
" Of course, he's my son!" jawab Claire menimpali.
Keduanya akhirnya sama-sama melempar senyuman demi merasai hal yang sejujurnya membuat hati keduanya getir.
Keadaan yang rumit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Erni Fitriana
ehmmm atana...pucuk dicinta ulam pun tiba😘😘😘😘😘😘
2023-06-01
1
M akhwan Firjatullah
astaga sedih banget ya Neo
2023-05-01
0
Rizki Surya
claeri jangan trlalu menutup diri dari sadawira walau bagaimanapun dialah Ayah dari anakmu Neo
2023-04-03
1