"Haah...."
Kamar yang sunyi dan gelap temaram, tidak dapat menghentikkan Ana untuk lekas bangun dari tidurnya. Anehnya, dia langsung tersadar dan segera bangkit dari tempat tidur untuk menemukan keanehan-keanehan dalam kamarnya.
Ana meraba-raba seluruh aspek dinding untuk memastikan bahwa di sana tidak terdapat bekas-bekas dari coretan yang ditinggalkan si peneror. Begitu juga dengan kamar mandi dan air minumnya. Pokoknya, tidak ada satupun yang boleh terlewat!
Dia bergegas keluar dari kamar. Dengan mata sayunya, dia berpikir sejenak untuk menemui seseorang yang sekiranya dapat menjadi tersangka dalam peneroran ini.
Ana mengetuk pintu kamar Iriana, tetapi tidak menunggu respon Iriana untuk membukakannya pintu. Sebagai orang yang sekiranya sudah 'dekat' dengan Iriana, Ana melengos masuk tanpa ampun untuk memastikan sesuatu.
Pada kondisi tersebut, Iriana tertangkap basah sedang menelepon Erick, sistem video call pula. Ana yang gegelapan, sontak menatap Erick. Erick yang tiba-tiba merasakan kegaduhan, balik menatap Ana. Dua pasang ekor mata tersebut saling mengintimidasi satu sama lain.
"Anastasia, ngapain sih, di sini?!" Irina yang terkejut, refleks membentak Ana.
Tak lupa, Ana menganalisa kamar Iriana; apakah ada benda-benda yang mencurigakan di kamarnya yang setidaknya identik dengan apa yang pelaku tersebut lakukan. Hasilnya, ditemukan bahwa di kamar Iriana terdapat jeruk nipis juga.
Apa peneror tersebut melakukan hal yang sama juga terhadap Iriana?
"Anastasia!"
"Iya-iya! Aku keluar!"
Ana bergegas keluar dari kamar Iriana, sebelum anak itu marah dan melaporkan 'kejahatan'-nya kepada Fitasha. Karena apapun yang Ana lakukan, akan selalu salah di mata Fitasha.
Di luar, Ana berkecamuk dengan pemikirannya sendiri. Sesekali, merasa lega karena Iriana tidak melakukan apapun yang merujuk kepada peneror tersebut.
Sesampainya di kamar, Ana mulai merenung. Haruskah ia berdamai dengan orang tersebut? Namun, orang tersebut sudah melakukan tindakan keji terhadap bagian-bagian dari dalam jiwanya.
Hei, siapa tahu dia akan berperilaku baik, kan? Atau bahkan orang tersebut dapat membantunya dalam beberapa hal. Sesekali membentuk aliansi bukan ide yang buruk.
Ana pergi ke meja, duduk dan mengambil selembar sticky notes untuk dituliskan sesuatu.
Hai. Namaku Anastasia. Kau?
Kemudian, dia membiarkan sticky notes tersebut tetap berada di sana dengan harapan agar peneror tersebut membalas pesannya.
Sebagai manusia biasa, Ana juga memiliki rasa bosan yang mendalam. Jika ditunggu terus menerus, yang ada alat pancingnya tidak berfungsi dengan baik. Maka dari itu, Ana pergi keluar rumah.
Ini adalah fenomena langka di mana Ana berani untuk memijakkan kakinya ke tanah, bukan keramik lagi. Bahkan kakinya terasa terbakar oleh hangatnya sepatu pagi hari.
Ditinjau dari persediaan stok bahan makanan (primer) milik Ana, kopinya sudah habis. Dia tidak bisa hidup tanpa kopi, kopi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ana perlu membelinya sekarang!
Namun, sepertinya kurang menyenangkan jika hari ini dilalui tanpa masalah. Sebagai orang yang mudah panik dalam situasi sosial, Ana memilih untuk pergi ke pasar tradisional yang ramai.
Ana tidak takut akan becek atau lalat di mana-mana. Dia ingin mencari suasana baru setelah hening menguasai atmosfir pada otaknya.
Sepatu sneakers, baju crop top (bagian perut terekspos) dengan celana training mengawali aktivitasnya dalam berburu kopi kembali.
Sesampainya di pasar, Ana pergi ke kedai yang menjual biji kopi atau kopi dalam bentuk tersegel. Dia bahkan belajar ilmu baru mengenai perkopian.
Ana berjalan ke sudut pasar. Matanya memincing, mencoba memperjelas penglihatannya mengenai benda berkilap di sana; sebuah pisau yang berjejer naif memancarkan geloranya.
Tertarik? Tentu saja. Dia memerlukan ini untuk bela dirinya. Saat dia sedang sibuk memilah-milih pisau yang tajam, sebuah bayangan tampak mengukung dirinya sehingga tak bisa melihat kilauan pisau tersebut.
Ana berbalik badan, tubuhnya hampir menabrak seorang pria.
Ah, orang ini lagi....
"Pagi, Anastasia. Iriana gimana di rumah?" Erick. Bosan, sekali. Bosan sekali melihat pria ini.
Dengan cengiran pecicilannya, Erick berusaha percaya diri untuk menyunggingkan senyuman bergigi untuk Ana yang hanya dibalas dengan gedikkan bahu.
Menyebalkan sekali, pikir Ana. Dalam hal seperti ini saja ada yang mengganggunya.
Hal tersebut benar-benar membuat Ana lelah dalam tersosialisasi, dan berkomunikasi dengan orang lain. Ana pergi meninggalkan Erick; yang berpura-pura sedang membeli pisau juga.
Semakin dalam dia berjalan ke pasar, semakin mengherankan juga yang dia lihat. Bahkan, di sana dia melihat kerumunan yang bersorak-sorai akan sesuatu.
Ana tidak penasaran.
Ana? Tidak penasaran?
Mustahil. Dengan tinggi badan 158 centimeters, Ana berjinjit, mencoba untuk melihat apa yang terjadi di sana.
Rambut hitam legam sepinggang, iris mata hijau terang, kulit sehangat musim semi dan polos bagaikan pantat bayi.
Iriana.
Iriana dipertontonkan dengan sesuatu yang tidak layak. Pelecehan harga diri, dia ditendang tanpa ampun oleh preman pasar yang kini menyorakinya (orang aneh, mereka menganggap itu hiburan).
"HEY!" teriakan Ana tidak dapat mengimbangi suara-suara di sana. Jurus terakhir yang dapat dia lakukan adalah menendang bokong seorang pria bertubuh tegap, tinggi, dan maskulin.
Pria tersebut refleks melihat ke belakang, mendapati Ana yang kini menatapnya dengan penuh amarah. Pria tersebut terkekeh, kemudian bertepuk tangan; memancing kawanannya untuk melihat ke arah gadis (dianggap pahlawan kesiangan) yang saat itu berusaha menjadi penyelamat.
"Hey? Kau yakin?" Pria tersebut menatap remeh Ana. Bahkan, dia membawa sebuah kayu yang tidak dipernis atau diperhalus sama sekali. Sepertinya mereka mengambil kayu tersebut saat tawuran.
Dada Ana kembang kempis, matanya memancarkan sorot benci yang begitu mendalam. Barang belanjaannya dia lempar ke sudut lain.
"Yakin untuk apa, bedebah?" kemudian, dia melanjutkan perkataannya dengan nada yang tinggi, keras, menggelegar, bahkan berpotensi membuat pita suaranya putus.
"JANGAN, GANGGU, ADIK, SAYA, BAJINGAN!"
Sebagai ancang-ancang, dia mengambil kuda-kuda dalam bela diri sebagai bentuk aplikasi ke dunia nyata. Sudah lama dia tidak melakukan pertengkaran menggunakan kontak fisik.
"Gadis ini berani sekali, seperti pelacur kecil."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments