...Kenapa? Kenapa dia akan masuk penjara anak ini?...
...-...
Deru mobil bersatu dengan suasana gaduh dari sekolah terbesar di kota Nositisen itu. Bangunan klasik dengan interior khas kerajaan berdiri megah, menandakan bahwa sekolah ini merupakan sekolah idaman seluruh anak.
Meskipun Nositisen adalah kota kecil, fasilitasnya sangat memadai untuk ukurannya. Tak heran jika Radislav dipindahkan ke sini.
Fitasha memakirkan mobil. Iriana terkesima karena ini bangunan termegah yang pernah ia kunjungi. Berbeda dengan Ana, gadis itu hampir setiap hari melihatnya; tentu saja di buku bacaan yang sudah menjadi makanannya setiap hari.
Namun, satu hal yang ia takuti adalah pergaulannya. Sebenarnya, mereka juga dari keluarga kelas atas, tetapi pergaulan di sana pasti akan menyimpang, mengingat bahwa dia adalah anak yang aneh dan anti sosial walaupun berasal dari keluarga Lenkov.
Tenang saja, Ana sudah mengemban bela diri sejak berumur 8 tahun, belajar dari teman Ayahnya. Jadi jika ada yang melecehkannya, dia sangat senang bila mendapat kesempatan untuk mematahkan leher orang yang berani mengganggunya.
Fitasha membawa mereka menyusuri lorong-lorong kelas, menyaksikan bagaimana keributan sangat terasa di sini. Mendengarnya saja membuat perut Ana serasa diaduk-aduk.
Klenting!
Lonceng di atas pintu berbunyi.
Membuka pintu ruangan kepala sekolah, mereka langsung disambut hangat olehnya. Kepala sekolah tersebut terlihat muda, bahkan baru berusia 36 tahun. Dia tampak menyusun laporan perkembangan murid.
"Oh, selamat pagi, Nyonya Lenkov. Apakah dua orang di belakangmu adalah cikal bakal Ayahnya?" Katie Abas tersenyum hangat.
"Silakan duduk."
Fitasha masuk sembari memberikan gestur hormat. Dia duduk di depan kepala sekolah, diikuti oleh Iriana dan Ana di samping kanan dan kirinya.
"Sebelum itu, izinkan saya memberikan soal ujian singkat untuk mereka. Hanya berisi 10 soal dalam 10 menit."
Ibu Abas menyerahkan dua lembar kertas yang penuh dengan tinta hitam dengan pulpen berdesain klasik, tetapi mewah.
Sementara Fitasha berbincang dengan kepala sekolah, mereka mengerjakan tesnya. Mudah sekali, hanya soal Aljabar dan sedikit Sains untuk permulaan.
Iriana mengakui bahwa dirinya tidak cukup pintar. Selain sibuk dengan acara sosial, dia juga kurang suka membaca buku. Hari-harinya penuh dengan berinteraksi bersama relasi sosialita yang hanya mengerti sesuatu seperti fashion.
"Apakah sudah selesai? Bisa berikan kepada saya?"
Ana mengangguk, bahkan dia sudah selesai 4 menit yang lalu. Ingatan tajam adalah ciri khas berpikirnya. Mengaitkan teori dengan dunia nyata adalah hal yang menurutnya wajar, itu membuat Ana terlihat unggul dalam berpikir logis.
Berbeda dengan Iriana. Iriana baru mengerjakan 4 soal, dia berpikir keras dan tidak dapat mengingat satupun rumus Aljabar yang pernah di pelajari di sekolahnya dulu. Sungguh, dia benar-benar gugup.
Ibu Abas membaca kertas mereka satu persatu dan menandai bagian mana yang salah sebagai acuan pembelajaran. Sayangnya, salah satu dari mereka tidak lolos seleksi. Itulah yang Ibu Abas katakan dan membuat dunia Iriana segera hancur, tak sanggup menerima amarah Fitasha.
"Baik. Jika dilihat dari ketepatan mengerjakan, sepertinya Anastasia sudah menguasai materinya, ya? Hebat sekali." Ia bertepuk tangan untuk Ana yang bahkan tidak mengharapkan hal itu sedikitpun.
Kenapa? Kenapa dia akan masuk penjara anak ini?
Fitasha tersentak. Rasanya tidak dapat menerima fakta bila Iriana tidak lolos seleksi tersebut. "Bagaimana dengan Iriana? Bukankah dia sama-sama cerdas? Bisa saja dia menyaingi Anastasia."
"Maaf, Nyonya Lenkov. Saya yakin, Iriana sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, dilihat dari kemampuannya dalam berhitung dasar sulit dibuktikan sekarang," Ibu Abas tersenyum sembari menunjukkan kertas Iriana yang penuh dengan coretan merah, menandakan bahwa dia gagal mengerjakannya.
"Kita bisa melakukan tes kesenian. Mau mengerjakannya?" Kepala sekolah begitu bijak, Kate Abas bahkan menawarkan opsi tes yang lain untuk membuktikan kelayakan saudari Lenkov untuk memasuki sekolah bergengsi tersebut.
Mereka berempat berjalan kearah keruang kesenian, dibantu oleh penjaga ruang kesenian yang turut membukakan pintu ruang kesenian untuk mereka.
"Wah!" kata itu spontan keluar dari mulut Iriana.
Interior di dalamnya begitu mewah, bahkan alat musiknya lengkap. Tidak bisa membayangkan bila semuanya dimainkan dalam waktu bersamaan.
"Iriana, saya ingin kamu memainkan lagu dasar."
"Misalnya?"
"Lagu dari Mozart, kamu bisa memainkannya?"
Teng!
Baru saja kepala sekolah memberitahunya, tuts Piano sudah dibunyikan oleh Ana di piano yang lain. Dia memainkan lagu dengan tempo nada yang cepat, yaitu Rush E.
Jari lentik dengan polesan kuku biru tua itu menari-nari di atasnya, menciptakan melodi presisi bagai seorang musisi dengan karya terindah yang pernah orang dengarkan.
Dua kosong untukmu, Iriana.
Tanpa sadar, seseorang di balik piano besar itu membunyikan melodi lembut yang sebenarnya tidak dapat berpadu dengan Rush E yang terkesan cepat tetapi menggelegar.
Jreng!
"Erick? Oh, Nak, pergilah ke kelasmu. Bukankah kelasmu tidak punya jadwal kesenian hari ini?" Ibu Abas menekan tuts Piano yang membuat benda itu mengeluarkan suara memekik.
"Maaf, saya perlu ketenangan."
"Saya tidak akan mengambil sekolah ini. Jika Ibu berkenan, tolong masukkan saudari saya. Dia sangat berharap dapat bergabung dengan sekolah Thronakht." Ana menepuk bahu Iriana. Itu membuat Ibu Abas berpikir sejenak, takut salah mengambil langkah dalam memasukkan seseorang ke sekolah bergengsi ini.
"Baiklah."
Ana sudah mabuk bicara, dia perlu pulang segera.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments