Erick mendelik lagi ketika mengetahui bahwa isinya hanyalah tinta.
"Kau yakin pembantumu memberi makanan kertas? Hanya satu sobekan pula." kritik Erick. Dia bahkan belum mengetahui isi dari kertas tersebut.
"Aku harus membelikanmu makanan lagi. Lihatlah, miris sekali kamu karena mendapatkan makanan dari pohon yang mentah."
Erick melengos pergi dari sana dan meninggalkan Iriana yang penuh dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
Siapa? Kenapa?
Dia bahkan tidak merasa memiliki musuh yang mempunyai keberanian seperti ini kepada dirinya. Setahunya, Ana saja tidak seberani ini karena tahu bahwa Iriana adalah anak kesayangan Fitasha dan Fitasha adalah istri dari pemegang kekuasaan di rumahnya.
"Selama ini aku tidak merasa jahat kepada siapapun." Batin Iriana kebingungan.
Dia melirik kenanan dan kekiri, mencoba mencari gerak-gerik seseorang yang terlihat mencurigakan dan memiliki kemungkinan dalang dari rasa bingungnya.
Tatapannya jatuh kepada sosok wanita yang tidak memiliki keriput di wajahnya, tetapi sudah ia duga berusia sama seperti Fitasha ataupun Radislav.
Wanita itu tampak membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan oleh murid yang baru saja makan di situ.
Bingung untuk memanggilnya, Iriana memutuskan untuk bangkit dan bertanya langsung di hadapan wanita itu.
"Permisi, apakah Anda bisa menulis?"
Pertanyaan bodoh, tapi bermakna. Sudah pasti yang dia tanyakan, apakah orang itu bisa menulis.
Tulisan di kertasnya begitu stabil. Pasti ini orang yang pandai menulis.
"Saya bisa, walau IQ saya di bawah rata-rata." Ucapnya sopan.
Iriana melirik kearah tanda pengenal yang melekat di seragam pegawai miliknya. Karen Renkova. Dilihat dari namanya, diduga wanita itu sudah berusia diatas 30 tahun.
"Karen. Semua murid di sini memanggil saya nenek sihir." Karen tampak mengerti tentang apa yang sekarang Iriana lakukan, berpikir keras mengenai siapa dirinya.
Dia menunjuk tanda pengenalnya seakan bangga memiliki gelar seperti itu.
"Kenapa kamu dipanggil nenek sihir?" Jelas itulah yang Iriana tanyakan pertama kali. Wanita di depannya terlihat baik dan penyayang, dia tidak pantas mendapatkan gelar seaneh itu.
"Aku memiliki ilmu untuk melihat makhluk halus dan berinteraksi dengan roh jahat. Itulah kenapa orang-orang menyebutku penyihir."
"Kenapa kamu tidak bekerja sebagai dukun saja?"
"Dukun hanyalah pekerjaan sampinganku di musim panas. Tetapi, saya juga sering menerima tawaran di malam setiap hari Kamis, kok."
Mengerikan. Iriana tidak berbicara dengan sembarang orang.
Mendengar penjelasan Karin membuat Iriana lupa dengan pertanyaan sebelumnya.
"Apa kamu mendapat pesan misterius dari makhluk jahat? Kamu bisa menghubungiku." Karin menepuk dadanya sendiri, mengisyaratkan bahwa dia orang yang tepat.
Keningnya mengerut. "Baiklah....?"
"Nak, apakah kamu sangat lapar? Aku bisa membelikanmu makanan yang baru. Hari masih panjang, jangan sampai perutmu keroncongan karena belum diisi."
Karin menawarkan diri. Dari wajahnya, Iriana seperti mengenali, tetapi tak pernah bertemu dengan Karin. Sifatnya yang lembut dan memiliki selera humor yang baik turut memancing perhatian Iriana.
Sepertinya, Karin tidak memiliki keluarga di rumahnya. Maka dari itu dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri.
"Terimakasih atas bantuannya. Namun, maaf, pacar saya akan segera kembali setelah membelikan saya makanan." Iriana menolak dengan sopan.
"Baiklah, nikmati makananmu, ya!"
"Kak! Buka pintunya!"
Gadis itu menggedor-gedor pintu kamar bernuansa biru tua dengan sedikit hiasan ombak di bawahnya. Plakat nama silver Anastasia terpampang di depan pintu.
Duk! Duk! Duk!
Kriet.
"Kak! Jangan bercanda, deh. Masa aku dikasih makanan kertas?" Iriana menyentak kakinya ke lantai, menahan amarah.
Pemilik kamar tersebut mengerutkan kening, pelipisnya terangkat sebelah, tangannya terulur untuk membuka pintu semakin lebar.
"Hah? Aku gak bikinin kamu bekal pagi ini."
Deg.
Jantung Iriana seakan berhenti. Ana tidak membuatkannya sarapan? Apakah itu Erick? Tidak! Erick seharusnya tidak tahu lokasi rumahnya.
"Yakin? Kalau aku memberitahu ke Mama tentang kamu yang tidak membuatkanku bekal, Mama marah besar, loh!" Iriana menaik-turunkan alisnya.
"Aku tidak membuatkannya karena di sekolahmu ada kantin," Ana menghela napas. "dan kertas lebih bagus digunakan untuk pembuatan buku."
Benarkah yang Karin katakan? Bahwasanya dia diikuti makhluk halus?
"Kak, aku akan menghubungimu malam ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments