JANGGAL :: 03

...Jantungnya berdebar kencang, bukan karena jatuh cinta. Tapi menyadari bahwa orang itu telah melakukan pembunuhan terhadap seekor hewan...

...-...

Haah....

Rasanya tubuh Ana seperti terbelah menjadi dua. Dia merasa sesuatu akan meninggalkan porosnya, atau sistem syaraf yang terganggu.

Sial, dia bahkan hanya membaca buku non-fiksi kemarin. Bagaimana dia bisa kelelahan, sementara Ana bukan orang yang suka melakukan olahraga berat?

Jam menunjukan pukul 06.00. Tidak biasanya dia bangun jam segini. Terlalu pagi, bahkan jika Ana tidak niat bangun, dia akan bangun jam 11 menjelang siang.

Matanya berkedip-kedip. Dia terduduk, rambut berantakan khas bangun tidurnya ada di sana. Ikut mendukung penampilan raut wajah kusut yang Ana miliki.

Ana menyipitkan matanya. Terdapat coretan abstrak di dinding yang dihiasi warna merah, sementara Ana yakin bahwa kamarnya berlatar belakang biru pucat.

Dia langsung mengambil kacamatanya, berusaha menjernihkan pandangan sampai dia menyadari bahwa tembok kamarnya dicorat-coret oleh seseorang.

Gila, ngeri banget!

Mereka jahat, ya?

Kalimat itu ditulis menggunakan huruf semi-sambung yang masih bisa dimengerti oleh Ana.

Masa bodoh dengan rasa panik ini. Dia masih mengantuk, tapi perlu memasak untuk keluarga Lenkov yang sangat dia benci.

Ana berjalan ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Matanya menerawang ke seluruh penjuru, sampai tak sadar menginjak sesuatu.

Licin, berbulu, menjijikan. Rasanya seperti menginjak keset yang terbuat dari ratusan ulat bulu.

"Mimo?"

Ana merunduk.

Ana memeriksa seluruh bagian dari kucing keluarganya itu. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena jatuh cinta. Tapi menyadari bahwa orang itu telah melakukan pembunuhan terhadap seekor hewan.

Apalagi organnya berceceran. Darah di mana-mana, bahkan menciptakan sebuah cipratan di dinding kamar mandi. Untung saja Ana menggunakan keramik, jadi akan mudah dibersihkan.

Dia keluar dari sana, pergi mengambil sobekan buku bekas dan menjadikan buku tersebut sebagai alas untuk memindahkan Mimo ke bagian rumah di dekat kamarnya.

Pagi buta, dia menggali lubang di samping jendela kamar dengan giat dan sedalam mungkin, memastikan bahwa tidak ada yang menemukan Mimo dalam kondisi mengerikan.

Matahari mulai naik, keringat bercucuran karena cangkul tersebut berat.

Namun, usaha tidak mengkhianati hasil. Lubang berhasil tergali sepanjang dua meter. Itu artinya, mayat Mimo tidak akan naik ke permukaan jika nanti hujan.

Dengan cepat Ana meletakkan Mimo ke dalamnya dan kembali menguburnya. Sekaligus dia berdoa agar Mimo dapat diterima di dunia yang lain.

Melalui jendela kamarnya, dia masuk dan pergi ke dapur. Berjalan berjinjit agar tidak seorangpun mendengar tindakan non-kriminalnya untuk menuju ke dapur dan mencuri jeruk nipis dari sana.

Ana meneteskan jeruk nipis itu setelah membersihkan rumah pembunuhan Mimo agar tidak menyisakan bau amis dan anyir. Dia yakin bahwa Fitasha tidak akan masuk kamarnya. Ini sekadar mengantisipasi saja.

***

Hari-hari biasa. Dia memanggang roti dan mencampurkan potongan-potongan salad agar dapat diaduk dengan sausnya.

Fitasha duduk di sofa, dia memainkan ponsel untuk membunuh waktunya. Ana begitu lama memasak, perutnya sudah keroncongan dan anak itu belum selesai melakukannya.

Iriana pun sama, hanya saja lebih berusaha. Dia memeras jeruk nipis untuk ditambahkan ke dalam minuman ion-nya.

Pagi hari itu harus semakin berasa!

"Hei, kak, kemarin tidak menggunakan jeruk, kan?" Iriana mendelik dibalik rambut panjangnya.

"Tidak."

Tidak kemarin, tapi hari ini.

"Ku rasa kau perlu membelinya lagi. Aku perlu mendetoks racun dalam tubuhku dengan benda ini."

Tak.

Iriana meletakkan minuman dengan minim kecut di atas meja makan, tidak seperti wajahnya yang sudah sangat kecut.

"Sarapan siap. Berangkatlah."

Ana menyajikan tiga piring dengan isi yang menggugah selera makan. Dapat dibilang, bahwa seminggu yang lalu keluarga Lenkov memborong hampir satu perempat supermarket untuk kebutuhan satu bulan.

Mereka bukan orang yang sangat bergelimang harta, tetapi biaya belanja perbulan tidak mencapai 10% dari gaji Radislav.

Selain itu, Fitasha yang hobi menghambur-hamburkan uang tanpa takut ditegur Radislav membuat kesan rumah tangga mereka terlihat mewah.

"Pastikan kau membeli jeruk nipis. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya." Iriana menunjuk wajah datar Ana menggunakan garpu.

Iriana dan Fitasha duduk berhadapan di meja makan, sementara Ana akan pergi ke kamar.

"Tunggu!"

Ana berbalik, alisnya terangkat sebelah; menandakan bahwa dia bertanya lewat gerak fisik

"Apa kau sudah menyiapkan bekalku?"

"Cerewet, setiap hari aku menyiapkannya."

Beli saja di kantin sekolahmu, aku malas.

***

TRING!

Bel sekolah berbunyi kencang, menandakan bahwa waktu istirahat telah tiba dan ini masa untuk melahap makanan.

Iriana duduk di kursi yang sama dengan seorang lelaki. Perawakannya tampak seperti lelaki yang lembut dan suka tantangan. Bahkan rautnya terlalu halus sampai sulit dicap seorang iblis.

"Duduklah jika tidak ada kursi lain." Sanggahnya, tidak ingin dianggap aneh-aneh oleh orang yang baru saja dia temui.

"Namamu?"

Iriana tidak ingin salah panggil, bahkan salah sebut. Wajah orang itu memang tidak pasaran, tapi sebagian laki-laki di sekolah ini memiliki bentuk punggung yang sama dengannya.

"Erick Frederic. Jika kamu keberatan, panggil saja nama keluargaku."

Tidak, Nak, Erick irit bicara karena dia seorang introvert yang belum mengenal Iriana secara keseluruhan. Bukan karena dia orang dingin yang mencoba bersikap angkuh di depan seorang perempuan.

"Kau? Sepertinya aku pernah melihatmu bermain piano, entah kapan." Erick kembali menyendokkan salad buah tersebut untuk masuk ke dalam mulutnya dengan kepala yang ditekuk.

"Itu kakakku," Iriana mengulurkan tangannya sebagai sebuah tanda perkenalan. "Iriana Lenkov, keluarga Lenkov."

Erick membentuk tangannya seperti sebuah salam jarak jauh, yang menandakan bahwa dia bukan orang yang suka sentuhan fisik seperti ini.

"Ayahmu adalah teman akrab Ayahku. Ayahku senang bercerita tentangnya."

"Benarkah? Bagus kalau begitu! Kita bisa saling ketemuan ketika Ayahmu dan Ayahku pergi bekerja!" Iriana menunjukkan rasa antusiasnya yang berulangkali dibalas deheman saja.

"Tidak makan?"

"Aku membawa bekal!" Iriana menunjukkan tas bekalnya yang berwarna serba kuning.

Anehnya, tas itu terasa enteng sekali.

Kenapa? Iriana bertanya dengan perasaan yang janggal dalam benaknya.

Melihat gerak-gerik Iriana yang tampak mengocok-ngocok tas itu, Erick mempertanyakan alasannya dan ikut melihat kearah kotak bekal itu.

"Buka saja." Pinta Erick penasaran.

Iriana mengendus sedikit aroma dari dalam kotak bekal tersebut. Jeruk nipis dan sedikit bau makanan kucing di rumahnya. Apakah anak Mimo ada di dalamnya?

Membukanya dan terkejut. Iriana cukup tercengang. Ada sebuah kertas di dalamnya. Tidak banyak, hanya satu sobekan kecil yang ditulis menggunakan darah. Atau bahkan pena merah? Konsistensi tintanya sangat stabil, coretannya saja mirip tinta pulpen.

Akan ku balas kejahatanmu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!