...Hidup hanya tentang berjuang. Ambil hasilnya, nikmati, dan mati....
...---...
Tangan itu melukis sebuah kata-kata di bukunya. Bait demi bait, sebuah perjalanan monolog yang berkecamuk dalam benak Iriana terus berjalan sempurna.
Menurutnya, dia bagus dalam pelajaran bahasa. Kecerdasan Linguistik Iriana dapat diandalkan.
Jika siang hari adalah waktu yang tepat untuk beristirahat dan bersantai layaknya seorang bangsawan, maka hal itu tidak berlaku bagi Ana.
Dia dipinta Fitasha untuk menjaga Iriana yang sedang mengerjakan Pekerjaan Rumah di ruang tamu. Padahal, kamar Iriana leluasa, bahkan bisa digunakan untuk lima anak tidur di sana.
Fitasha tahu bahwa Ana memiliki kemampuan bela diri yang baik. Sejak dini, dia sering diajak Radislav untuk mengunjungi kantornya.
Dia banyak belajar gerakan bertahan dari Narapidana. Tak heran, dia mendapatkan julukan 'kriminal kecil' dari tetangganya dahulu.
Iriana mengerjakannya dengan duduk di lantai, dan bertumpu ke meja rendah yang biasanya digunakan untuk menyimpan kopi atau rokok milik Radislav.
Ana duduk di sofa putih. Dibantu dengan kacamata, dia menerawang seluruh materi bahasa yang Iriana tulis di atas kertas tersebut. Sesekali mengoreksinya jika terdapat kesalahan penulisan.
Merasa bosan, Iriana mengambil buku catatan kecil berwarna biru miliknya. Di sana, dia menuliskan beberapa kalimat-kalimat yang sekiranya mengusir kebosanan—dan membuat Ana sedikit terharu.
Hidup hanya tentang berjuang, ambil hasilnya, nikmati, dan mati.
Kematian itu menjemput, bukan dijemput.
Selama kamu menangis, kamu masih manusia.
Hanya tiga kalimat yang berhasil Ana baca, karena sisanya tertutupi oleh rambut ikal panjang milik Iriana yang lembut. Berbeda dengannya yang lurus, tipis serta jarang dirawat.
Maklum, shampoo di rumah hanya untuk Iriana.
Suara kaki memijak datang menghampiri mereka. Fitasha datang dengan kaus putih dan rambut dikuncir kuda, bersedekap dada di tembok.
"Apakah kakakmu melakukan sesuatu yang buruk?" Tanyanya sambil melirik ke Ana dan kembali menabrakan pandangan kearah Iriana.
Iriana terkekeh. "Tidak, kok."
Haish! Syukurlah! Batin Ana. Walaupun dia memang tidak macam-macam sedari tadi, bisa saja adik ceriwis itu mengatakan hal tidak senonoh tentang dirinya.
"Baguslah. Kalian berdua pergi tidur!" Perintahnya.
Fitasha berlalu, Ana bangkit dari sofa, disusul oleh Iriana yang kesulitan berdiri akibat terjepit antara meja dan sofa.
"Duh, gimana sih, ini?!"
Sret.
Lembar perlembar dibukanya. Mata itu sudah lelah untuk terbuka, seharusnya Ana pergi tidur. Namun, dia memanfaatkan sedikit waktunya untuk menyerap ilmu.
Dia menguap, kemudian meletakan bukunya di samping bantal dan menjelajahi alam mimpi.
Waktu berlalu, jam bergulir cepat sampai menunjukan pukul 15.10 sore. Sudah waktunya Ana bangun dan dia benar-benar melakukannya. Tangannya terulur untuk menghalangi benda apapun yang memaksanya untuk menutup mata.
Dia melihat kearah jam. Mata dengan Silinder 3 itu kurang dapat menangkap angka. Dia langsung meraba nakas, mencoba menemukan benda keramat yang disebut kacamata.
Ana memakainya. Dia melihat ke sekeliling, mencoba memindahkan buku di sampingnya ke nakas dan bersiap mandi.
Tunggu, apa?
Mau bermain?
Tulisan dengan ... tinta darah?
Darah siapa? Dan kenapa? Kenapa orang ini menggunakan darah untuk menulis?
Ana mendekatkan indra penciumannya kearah sampul buku tersebut. Bau amis, anyir dan besi berkarat bersatu. Jika ini dijadikan parfum, maka Ana adalah orang pertama yang membelinya.
Darah ini segar, orang yang melakukannya baru saja melakukan pembunuhan. Atau mungkin ... ini darahnya?
Sontak Ana bangun dan pergi ke cermin. Dia memutar-mutar tubuhnya dan berusaha merasakan rasa sakit. Jika tidak ada, maka artinya itu bukan darahnya.
Pertanyaannya, itu darah siapa?
Dia langsung teringat Iriana yang menulis hal semacam ini. Dia datang ke pintu dan membukanya dengan amarah.
Sayangnya, pintu itu masih dalam keadaan terkunci. Berarti bukan Iriana, karena Iriana tidak dapat mengakses kamarnya.
Lantas ... pembunuh itu masih ... di dalam?
BRAK!
Kamar Ana langsung terhubung dengan ruang tamu, tempat di mana sekarang Fitasha sedang bersantai sambil menggulir layar ponsel.
Itu membuat Fitasha terkejut, jantungnya berdetak cepat dan tangannya lemas. Beberapa detik, dia baru dapat merespon gertakan maut itu.
"APA YANG KAU LAKUKAN?! Kau tahu, kan, kalau Iriana sedang istirahat?!" Bentaknya. Sungguh, Ana dalam keadaan panik dan tidak dapat merespon kalimat itu.
Fitasha melangkah meninggalkan ruang tamu. "Masaklah! Sebentar lagi Radi pulang. Jangan sampai kurang garam."
Baiklah.
Suara dentingan piring beradu dengan sendok adalah suara merdu yang wajib dijadikan konten ASMR keluarga Lenkov.
Radislav tampak mengunyah kentang, sembari menegak minuman bersoda. Dua asupan makanan itu adalah asupan kesukaan Radislav.
Sebagai pencuci mulut, Radislav meminum air putih biasa. Tujuannya agar dia tidak merasakan hal-hal aneh di lidah saat selesai makan di mulutnya.
"Iriana, bagaimana sekolahmu?" Tanya Radislav. Iriana tersipu, tak mungkin dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta dengan seorang pria di hari pertamanya!
"Baik, Ayah."
Mereka bercakap-cakap, terkadang mereka bertiga tertawa bersama. Wajar bila Ana membandingkan kehidupan suramnya dengan aura bahagia yang dimiliki Iriana.
"Aku perlu ke kamar, ada sesuatu yang harus ku kerjakan."
Tanpa menunggu persetujuan mereka, Ana melengos pergi dari tempat itu.
Dia benci melihat keluarganya tertawa, bahkan tanpa dirinya.
Buku lagi. Kali ini, dia merasa pusing yang hebat ketika membacanya. Memutuskan untuk meletakkan buku dan pergi tidur, Ana merasa tangannya bukanlah tangannya,
Ada hal aneh,
Dan Ana tidak tahu itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments