Bab 18 Motif Kekesalan Candani

Candani tertegun mendengar permintaan Bhinendra. Bagaimanapun benda tersebut merupakan pusaka turun temurun keluarga Bayanaka. Benda dengan kekuatan magis yang dahsyat. Mampu melenyapkan banyak nyawa dalam sekali serangan. Tidak hanya siluman, bahkan manusia dan para ahli seperti tetua aula perbintangan pun akan lenyap jika terkena panah sihir dari Sadrah Sukma.

Radeeva tidak terkejut. Ia tahu bahwa Bhinendra memiliki pengetahuan yang luas. Tidak hanya pandai dalam aksi kemiliteran, ia pun terkenal cerdas dalam berbagai pelajaran. Semasa masih duduk dalam binaan guru besar kerajaan, mereka berdua merupakan kandidat yang digadang-gadangkan memiliki kemungkinan terbesar untuk menggantikan posisi putra mahkota yang ada.

Namun, seperti yang Radeeva ketahui, Bhinendra tidak begitu menyukai intrik politik dalam istana. Ia lebih memilih jalur kemiliteran. Memacu adrenalinnya dengan berperang dari tahun ke tahun. Sedangkan Radeeva, ia hanya mengambil sedikit andil dalam hiruk-pikuk pemerintahan. Selebihnya berpetualang ke banyak tempat hingga bisa menyandang gelar pangeran dengan seribu wanita.

"Panah dan busur Sadrah Sukma itu apa?" tanya Reina pada Bhinendra. Sang pelindung, dengan muka datarnya menjelaskan. Menurut Bhinendra, posisi Reina saat ini tidak lebih seperti mereka. Ia memerlukan senjata untuk bertarung. Pria itu telah mengamati gaya bertarung Reina saat menggunakan pedang miliknya. Tenaga gadis itu cepat terkuras karena bobot pedang Bhinendra yang tidak seimbang dengan tubuh kecilnya.

"Selain dari kemampuannya yang bisa membunuh dalam skala besar, Sadrah Sukma juga memiliki keefisienan. Panahnya tidak akan pernah habis selama busurnya tidak rusak," jelas Bhinendra dengan tatapan intens kepada Reina.

Candani melirik enggan ke arah Bhinendra, "Pengetahuanmu ternyata luas juga. Apakah kau adalah Bhayangkara terakhir yang mereka bicarakan itu?" Gadis muda tersebut masih sedikit ketakutan, akan tetapi rasa penasaran yang terus menyeruak dalam dirinya telah mengalahkan segalanya. Sedari tadi ia memperhatikan Bhinendra dengan seksama. Mulai dari surai hitamnya yang pekat dan langka. Gerak geriknya yang terorganisir. Kewaspadaan yang tinggi serta pengetahuan dan dinginnya sikap pria itu membuat Candani semakin yakin akan dugaannya.

Bhinendra menganggukkan kepala dan kembali menjaga jarak dari jangkauan afeksi yang Candani berikan. Alih-alih melanjutkan pembicaraan, Candani justru melancarkan serangan sihir ke arah Bhinendra. Pria dengan intuisi yang akurat itu refleks menghindar. Kedua alis pria itu pun berkerut. Tak mengerti akan perubahan sikap Candani yang begitu signifikan. Reina dan Radeeva pun tak ayal ikut terkesiap. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa gadis muda itu akan bertindak impulsif kepada Bhinendra.

"Kau ... Kaulah penyebab segala kerusakan sistem di kotaku. Jika kau tidak teledor menjaga batu keramat itu, pasti keadaan Swastamita tak akan sekacau ini. Apa kau tau, akibat dari hilangnya batu itu, para siluman dan makhluk astral kerap kali menjambangi pusat tambang batu mulia Abyudaya. Jika stok batu mulia itu habis, kami pun tak kan mampu lagi mempertahankan kota."

Candani merentet sambil terus menyerang Bhinendra. Namun, pelindung itu hanya menghindar. Melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Kedua orang itu bergerak bagai kilat. Jika Reina tidak memiliki kemampuan dari pusaka pertama, mungkin ia tak kan pernah bisa melihat sosok Bhinendra dan Candani yang saling bertikai itu di udara.

"Apa maksud Candani barusan?" tanya Reina pada Radeeva yang sudah berdiri tepat di sampingnya.

"Abyudaya tidak hanya terkenal dengan penghasil batu mulia terbesar di Swastamita. Akan tetapi, kota itu pun menjadi pusat penghasil bijih sihir dari dasar bumi yang menjadi sumber kekuatan kerajaan. Jadi, jika sampai para makhluk astral itu berhasil mengambil begitu banyak bijih sihir, bisa di pastikan pertahanan kota akan semakin melemah. Kemungkinan terburuknya, tempat itu akan lenyap dan di kuasai para siluman jahat tersebut. Selain itu, musuh-musuh dari kerajaan lain pun akan mudah menginvasi Swastamita," jelas Radeeva yang semakin waspada pada gerakan Candani di udara.

Tampaknya pengaruh dari hilangnya batu Somo semakin terasa di berbagai penjuru Swastamita, gumam Radeeva dalam hati.

Gadis muda dengan surai hijau olive itu semakin geram melihat Bhinendra yang terus menghindar. Ia meraung dan mengeluarkan sihir yang berhasil mengenai lengan kiri pria itu. Reina otomatis ingin maju, membantu Bhinendra yang jatuh bertumpu dengan satu kaki di tanah. Namun Radeeva mencegatnya. Menahan Reina agar tidak memperburuk keadaan.

"Kalian para Bhayangkara begitu tidak becus menjaga pusaka. Kau! Kau bahkan tidak mampu melindungi satu nyawa pun di tempat itu. Sungguh tidak tau malu! Kau hanya menyelamatkan dirimu sendiri. Jika aku menjadi dirimu, aku akan mengakhiri hidupku saat itu juga," ucap Candani yang sudah mulai terlihat tenang. Bhinendra yang berdiri perlahan, tampak tidak terpengaruh. Ia tetap tenang dengan ekspresi datarnya yang terlihat semakin menyebalkan.

"Aku tidak meminta pusaka Sadrah Sukma itu untukku," ujar Bhinendra dengan helaan napas panjang, "Itu akan digunakan Reina. Sebagai seorang terpilih yang mengemban tugas mulia, bukankah dia wajib memiliki senjatanya sendiri? Dengan bentuk pusaka keluarga Bayanaka, sudah pasti itu akan seimbang dengan proporsi tubuh Reina saat ini."

Radeeva spontanitas melirik Reina, "Masuk akal. Tampaknya kamu sedikit kewalahan mengangkat pedang Bhinendra waktu di rawa Renggana," imbuhnya dengan seringai mengejek.

Reina tidak menggubris. Ia dengan cepat menghampiri Bhinendra dan memastikan bahwa luka yang di peroleh pria itu tidaklah parah. Dengan embusan napas lega, Reina pun angkat bicara, "Aku tidak membela siapapun di sini, hanya saja, jika kalian ingin berkelahi sebaiknya tunggu misi ini selesai dengan baik. Aku tak ingin dendam diantara kalian justru menjadi kendala dalam pencarian batu Somo."

Baik Candani ataupun Bhinendra kini diam menutup mulut. Napas mereka masih terengah-engah, tetapi kewaspadaan mereka kini melonggar. Radeeva yang melihat Bhinendra tak berkutik atas rentetan omelan Reina pun kembali terkekeh. Ia senang mendapati seseorang yang bisa mengontrol emosi Bhinendra. Entah karena pengaruh status Reina sebagai sang terpilih, ataukah karena efek lain sehingga gadis fana itu bisa membungkam Bhinendra seperti itu.

Candani duduk lemas dan terlihat pasrah. Ia memeluk tubuhnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak memiliki pilihan. Meski masih menyalahkan Bhinendra atas rancunya sistem pertahanan Abyudaya, ia pun tak bisa melepaskan kesempatan untuk menyelamatkan saudaranya. Bagaimanapun hanya ketiga orang tersebutlah yang bisa menolongnya.

Dengan berat hati Candani menyanggupi permintaan Bhinendra. "Kalian bisa memiliki pusaka Sadrah Sukma jika berhasil membawa aku dan kakakku kembali ke Abyudaya," tegasnya dengan wajah yang mendongak ke atas.

"Tidak sulit. Kami pasti akan melakukannya. Asalkan kalian, kau dan keluargamu, tidak bersilat lidah," pungkas Radeeva tidak kalah angkuhnya, "Jika kau membohongi kami, kau pasti tau bagaimana konsekuensi yang mesti di tanggung, bukan?"

Candani menelan saliva. Walaupun belum pernah melihat langsung, nyatanya rumor mengenai pola hukuman yang diterapkan dua orang pria di depannya telah menyebar di mana-mana. Seorang Bhayangkara berstatus panglima beserta pangeran kedua Swastamita tersebut begitu terkenal sebagai si tangan besi Swastamita. Ia pun tahu, sebenarnya Bhinendra tadi sengaja mengalah. Mudah bagi pria itu melumpuhkannya. Kemampuan yang dimiliki Bhinendra jauh lebih hebat darinya, hanya saja karena Candani memiliki benda yang mereka inginkan makanya pria tersebut berlaku lunak padanya.

"Bagaimana cara kita mencari Kakak Candani?" tanya Reina kepada Bhinendra. Alih-alih menjawab, Bhinendra justru berjalan pelan ke arah Candani. Dengan tatapan khas seorang yang terlatih di kemiliteran, ia pun bertanya, "Apa kau memiliki barang peninggalan kakakmu?" Masih dengan wajah yang bertekuk masam, Candani mengeluarkan sebuah belati kecil yang biasa digunakan sang kakak. Benda kecil nan tajam itu terlempar dan kini berada tepat di tangan Bhinendra.

Pemuda minim ekspresi itu tidak menunda waktu. Ia memejamkan mata, mengerahkan seluruh elemen internalnya untuk mencari keberadaan putra Pembesar Abyudaya tersebut dengan mata batinnya. Peluhnya membanjir, menetes bergantian di wajahnya yang simetris. Kedua alisnya berkerut dan tampak beberapa kali mengeraskan rahangnya yang kaku. Setelah sekian menit berlalu, netra indah kehijauan itupun terbuka. Dengan singkat, padat dan jelas, Bhinendra mengatakan kalau mereka harus ke desa Varna.

***

Keesokkan harinya, ketika mereka telah seharian melakukan perjalanan, mereka pun kini telah sampai di desa Varna. Sebuah desa kecil yang berada di lereng gunung, memiliki lanskap hijau dengan panorama indah. Desa tersebut juga memiliki arsitektur unik, di mana seluruh bangunannya hampir memiliki kesamaan. Dari ujung ke ujung, setiap bangunan bertingkat dihias lapisan semak yang menjalar indah di dinding-dinding bangunan. Di sisi jalan bebatuan besar yang tertata rapi, terdapat kanal-kanal kecil yang dialiri sungai berwarna biru terang serta jembatan kayu yang cukup besar membentang dari berbagai sisi kota.

Jika di lihat sekilas, tempat tersebut tampak layaknya sebuah kota fantasi yang hanya ada dalam imajinasi. Berada di zona memukau itu bisa memberikan efek bius yang memikat hingga enggan untuk beranjak pergi.

Denting sendok dan garpu saling beradu, membuat irama senada dengan sentakan gelas yang diletakkan lelah di atas meja kayu jati. Reina merengut. Wajahnya tampak lesu dan jemu. Ia melempar pandang ke arah dua pria rupawan di depannya dengan tak senang hati. Ia ingin sekali melempar semua perlengkapan makan berbahan perak yang telah kosong itu ke muka Radeeva yang angkuh.

"Tidak bisakah kalian tidur dalam satu kamar? Konyol sekali jika aku dan Candani harus tidur di luar, sementara kalian, terlelap nyaman dalam ruangan hangat dengan fasilitas lengkap," komplain Reina dengan entakkan garpu di atas piring kosongnya. Jubah yang menudungi tubuhnya hampir tersingkap. Namun, untung saja Bhinendra dengan cepat memperbaiki ikatannya.

Baik Reina ataupun ketiga orang yang bersamanyanya terpaksa harus menggunakan jubah untuk menutup diri. Melindungi dari kecurigaan orang-orang yang melihat mereka. Sosok mereka yang tidak biasa pasti akan membuat fokus orang lain teralih dengan otomatis. Tidak hanya orang biasa, bahkan para musuh pun akan dengan mudah menemukan mereka.

"Mau bagaimana lagi. Kamar yang tersisa hanya dua. Sedangkan kita berempat. Aku tidak mau menghabiskan malamku dengan kutu beku antartika. Bisa-bisa alergiku kambuh dan gatal-gatal," jawab Radeeva santai sambil mengibaskan anak rambut yang menjuntai panjang di depan wajahnya.

Gigi Reina gemeletuk menahan marah. Rasa kesal terpaksa ia tekan sekuat tenaga . Ia tak ingin gadis remaja yang sejak tadi diam memperhatikan, terpengaruhi sikap buruk mereka. "Jadi, kau menyuruh kami tidur dalam satu kamar? Bertiga? Ini amoral, Radeeva!" Reina menolak tegas. Memijat kepalanya yang mendadak nyeri dengan helaan napas.

Bulir mata Candani beralih, bergantian dari ketiga orang dewasa di depannya. Ia mengulum senyum, berpikir bahwa adu mulut yang ia saksikan merupakan bentuk keakraban yang tak biasa. Mirip dengan dirinya dan sang kakak, dulu.

"Apanya yang amoral? Kalian berdua bisa tidur di kamar itu dan biarkan Bhinendra tidur di luar. Bukankah dia Bhayangkara yang harus selalu siaga untukmu. Kalian tidak boleh terpisah. Sedangkan aku, seorang pangeran dengan identitas mulia. Tidak layak menempati kamar bersama orang dengan status lebih rendah. Lain halnya kalau kau berniat menghangatkan ranjangku, mungkin aku bisa mengesampingkan norma-norma yang berlaku." Radeeva merentet dengan keahliannya berkata-kata. Membuat Reina semakin berang dan mengentak gelas yang dipegangnya.

"Jangan bermimpi!" seru Reina hampir meludah. Ia tak sudi menjadi selimut hidup si pemain andal kerajaan. Tak hanya Reina yang di buat sebal, Bhinendra pun tampak ambil bagian. Pemuda itu duduk bersedekap, menyorot Radeeva dengan tatapan setajam bilah pisau yang siap mengorek segala sisi tubuhnya. "Mesum!" ujarnya sinis.

"Benar! Aku setuju dengan Bhinendra. Kau benar-benar mesum. Bisa-bisanya kau berkata hal-hal yang saru dengan santai seperti itu," Reina menimpali, bersungut-sungut. Menjauhi Radeeva dengan menggeser kursinya ke sisi Bhinendra tanpa sadar.

Belum sempat Radeeva membela diri, Bhinendra lebih dulu menginstruksikan mereka untuk diam. Mereka mengikuti isyarat jari Bhinendra yang menuju pada percakapan dari beberapa pengunjung yang baru datang. Orang-orang tersebut duduk dengan wajah yang serius sambil membahas tentang sekelompok orang berpakaian serba hitam, yang akhir-akhir ini menjadi sumber malapetaka di sekitar. Para gerombolan jahat itu sering melakukan banyak penjarahan, tidak segan untuk membunuh siapapun yang melawan. Bahkan anak kecil pun tidak lepas dari bantaian mereka.

"Tampaknya para penyamun itu memiliki pemimpin yang berilmu tinggi. Apa kalian tidak lihat bagaimana para siluman membantu mereka? Aku yakin, pasti para siluman itu telah di taklukan dan sekarang berkerja sama dengan mereka," ucap salah satu pengunjung tersebut sambil menyantap makanan yang sudah terhidang di atas meja.

Namun, pembicaraan itu tiba-tiba terhenti. Sebuah portal hitam dengan kilatan petir muncul di tengah-tengah mereka. Bersamaan dengan sekelompok orang pakaian serba hitam. Wajah yang tertutup topeng serta dua ekor siluman kera bertubuh besar, bermata merah menyala serta taring dan kuku-kuku yang runcing juga tajam.

Keadaaan sekitar seketika menjadi ricuh. Para pengunjung berhamburan, menyelamatkan diri masing-masing. Situasi yang diliputi rasa takut itu beriringan dengan teriakan ketika salah satu siluman besar itu mendesis, menggebrak meja hingga hancur berantakan di tengah penginapan.

"Apa mereka tidak pernah mandi?" Reina menutup hidung, bersamaan dengan ketiga rekannya, mencium aroma busuk, mirip kaus kaki yang bertahun-tahun yang di rendam dalam air comberan dari kedua siluman tersebut.

Candani bereaksi, "Merekalah komplotan yang menculik Kakakku." Baik Reina maupun ketiga orang bersamanya otomatis berdiri dengan kewaspadaan tinggi ketika fokus para penjarah berbaju hitam itu beralih ke mereka. Bhirendra memasang kuda-kuda, tegak membelakangi Reina dengan pedang yang sudah tergenggam erat di tangannya. Sedangkan Radeeva, secara sigap menarik Candani dalam ruang lingkup perlindungannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!