Malam yang telah mendepak senja, menghapus jingga dengan pekatnya hitam di atas cakrawala yang semakin kelam. Sepanjang jalan di semenanjung alam Swastamita tak tampak sedikitpun tempat peristirahatan yang layak. Dari pagi hari sejak mereka keluar penginapan hingga terbenamnya cahaya hanya terlihat hijaunya dedaunan, merdunya nyanyian serangga serta derap langkah kaki kuda.
Reina tidak bermuluk-muluk. Ia tahu bahwa ekspedisi mereka tidaklah mudah. Ia pun tak berpikir bahwa akan menghabiskan malam di tempat yang layak, akan tetapi perempuan itu benar-benar kehilangan kata-kata ketika Bhinendra memberhentikan mereka tepat di tengah hutan yang berbatasan langsung dengan Rawa Renggana yang luas. Rawa itu berwarna bening, memantulkan sinar bulan yang hampir menyerupai bentuk aslinya di atas cakrawala hitam. Permukaan air di wilayah rawa itu tampak sangat tenang, tidak terlihat ada aliran air dan memunculkan gelembung-gelembung udara yang bergerak ke sana ke mari.
Bhinendra dan Radeeva yang semula saling bermusuhan, tampak selaras melakukan tugas sesuai dengan tupoksi masing-masing meski tak pernah saling berkomunikasi. Bhinendra membuat perapian dan mencari buah-buahan liar untuk mengganjal Ventrikulus mereka sedangkan Radeeva sibuk melafalkan mantra, membuat kubah sihir demi keamanan mereka malam ini.
"Setelah selesai makan, kau harus segera tidur! Apa kau mengerti?" Bhinendra memberikan beberapa buah liar kepada Reina dengan peringatan. Perempuan itu mengangguk pelan dan memakan makanannya tanpa banyak bantahan. "Jangan sekali-kali kamu mendekati rawa itu!" tambahnya dengan penuh penekanan dan rasa curiga terhadap sikap Reina yang terlihat bersahabat.
"Kenapa? Bukankah rawa itu begitu indah?" Reina membantah dengan santainya tanpa menyadari bahwa muka Bhinendra telah mengalami alterasi. Pria itu nampak tidak suka dengan sikap Reina yang selalu memberikan perlawanan di setiap instruksi yang ia berikan.
Alih-alih mendebat, Bhinendra justru mematahkan beberapa potongan kayu yang cukup besar dengan sekali pukulan dan berhasil membuat Reina terkesiap. Perempuan itu menelan saliva dan terdiam beberapa saat ketika beradu pandang dengan netra emerald Bhinendra yang tajam. Mau tak mau Reina membungkam kecerewetannya. Atraksi Bhinendra barusan telah mengirim sinyal permusuhan terhadapnya. Dengan senyum palsu, Reina pun tunduk dan menuruti apa yang di perintahkan pelindung tersebut.
"Jika aku jadi dirimu, aku tak akan banyak bertanya," timpal Radeeva yang sudah berbaring nyaman di bawah pohon dengan mata terpejam, "apakah kau tahu bahwa binatang yang memiliki warna yang indah justru lebih berbahaya dan mematikan? Rawa itu pun sama. Dia mempunyai 'racun' di balik keindahannya. Kamu harus berhati-hati dan waspada karena munculnya gelembung udara di permukaan rawa itu bukan pertanda banyaknya ikan di sana. Tetapi di bawah permukaan air yang tenang itu ada predator mengerikan yang bergerak dan siap menyambar apa pun di atasnya."
Dan benar saja, hanya beberapa detik setelah Radeeva menjelaskan, muncul puluhan mahluk hitam besar sejenis kriptid terbang, kelelawar raksasa dari dalam rawa. Primata super besar bersayap yang mencapai panjang tiga meter itu memiliki warna bulu yang kelabu, gigi yang tajam, runcing dan cakar di bagian lengan. Matanya bulat menonjol dengan warna hitam keseluruhan.
"Lindungi Reina!" teriak Bhinendra ke arah Radeeva sambil menarik pedang dan menghindari serangan para kelelawar raksasa itu.
"Aku tahu! Kau tidak perlu memerintahku!" Radeeva berlari dan menarik Reina ke belakang tubuhnya. Pria berkulit pucat kemerahan itu memasang kuda-kuda dengan kedua tangan terulur ke depan. Entah apa yang dilakukannya namun sedetik kemudian tangannya memunculkan rangkaian sinar yang membentuk struktur heksagonal layaknya sarang lebah. Sihir itu menutupi tubuh mereka berdua dari serangan predator buas di sana.
"Makhluk apa itu?" seru Reina pada Radeeva saat tatapan matanya tertuju pada sekelompok monster terbang yang datang bersamaan menyerang mereka.
"Ahool, siluman kelelawar raksasa yang sangat berbahaya. Frekuensi suara ultrasoniknya bisa membuat tubuh manusia biasa sepertimu hancur seketika." Radeeva menggertakkan gigi dan menguatkan sihirnya ketika beberapa primata besar itu berusaha membobol benteng pertahanan mereka.
"Ahool? Bukankah binatang itu hanya sebuah cerita mitologi yang berkembang di masyarakat saja?"
Alis pria bersurai merah panjang itu semakin berkerut menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang Reina ajukan, "di duniamu memang demikian, tapi tidak di dunia kami! Semua mahluk mitologi berwujud nyata di alam ini! Mereka menyebar di seluruh penjuru dengan bentuk-bentuk yang tidak akan pernah bisa kau lihat sebelumnya."
"Berarti tidak hanya siluman Cekibar atau pun Ahool, akan ada makhluk-makhluk aneh dan besar lainnya yang bakal kita hadapi di kemudian hari!" seru Reina dengan tatapan tidak percaya kepada Radeeva. "Jika tahu bakal semengerikan ini, aku lebih baik mundur sejak awal saja!" tambah gadis itu dengan penuh penyesalan.
"Sebaiknya tutup mulutmu! Aku tidak fokus membaca mantra sihir karena pernyataan bodohmu itu! Jika sihir pelindung ini rusak, jangankan untuk mencari batu sialan itu, kau pun tak mungkin bisa bernapas lagi!" hardik Radeeva dengan rasa kesal yang semakin menumpuk.
Suara Mencicit dari raungan suara ultrasonik para Ahool terdengar membahana. Memecah malam dengan denging yang hampir membuat tuli pendengaran. Untung saja Reina dan Radeeva terlindung dengan tabir sihir sehingga tidak begitu mendapatkan efek samping dari cicitan mahkluk berbulu lebat itu.
Reina menatap Bhinendra di balik tubuh Radeeva yang besar. Perempuan itu mencengkeram ujung pakaiannya ketika melihat gerak gesit sang kesatria di antara kepungan puluhan Ahool di depannya. Bhinendra melompat dan menyerang para Ahool dengan tebasan pedang. Iris hijau itu bersinar, memantulkan bilah tajam benda lurus dengan ujung runcing yang tengah mengoyak daging berbulu disekitarnya. Ahool terjatuh ke tanah dengan tubuh yang saling terpisah. Darah binatang itu berceceran, menciptakan bau amis yang pekat selaras dengan keberingasan pria bernetra hijau di sana. Meski sudah ada beberapa yang mati, namun jumlah siluman primata itu tetap saja masih mendominasi.
"Ck, kau tidak perlu khawatir! Dia tidak akan kalah," tegur Radeeva saat sudut matanya menangkap air muka Reina yang penuh kecemasan.
"Tapi tadi kau bilang, Ahool itu sangat berbahaya?" balas Reina dengan alis yang saling bertekuk. Menanggapi ketidakmengertian gadis fana di belakangnya, Radeeva kembali berujar, "Siluman Ahool memang sangat berbahaya, tapi tidak seberbahayanya di banding iblis pemusnah Swastamita."
"Apa maksudmu?" Reina menyambut perkataan Radeeva dengan pertanyaan baru yang seketika di balas oleh pria bernetra safir tersebut, "Bhinendra itu lebih berbahaya di bandingkan entitas apapun di seluruh alam ini. Dia adalah monster pembunuh yang berkedok pelindung. Dia adalah perwujudan iblis penghancur yang bisa membantai siapapun tanpa pandang bulu. Dia mampu melenyapkan satu kota tanpa memberikan ekspresi apapun. Dia bahkan bisa membunuh wanita yang membesarkannya dengan senyum yang lebar dan tanpa rasa bersalah sedikitpun."
Reina tertegun mendengar penuturan Radeeva yang begitu panjang. Kebencian Radeeva yang begitu pekat sedikit mengganggu perasaan gadis itu. Akan tetapi perkataan Radeeva tidak sepenuhnya salah. Bahkan mata awam Reina pun menangkap sinyal predator yang sangat menikmati pertarungan. Tak ada ketakutan di wajah tampan yang menggelap itu. Bhinendra justru nampak senang dan menghayati perannya. Pria itu nampak bengis sekaligus keji dengan cipratan sel-sel merah yang melumuri hampir keseluruhan tubuhnya.
"Sebaiknya kamu tidak terlalu dekat dengannya. Dia tidak memiliki perasaan seperti manusia biasa." Tambah Radeeva tanpa mengurangi kewaspadaanya. Dengan sedikit memberanikan diri, Reina pun menyeletuk, "apakah itu akibat racun yang pernah kau berikan padanya?"
Radeeva tertegun sesaat dan menggeram, "dari mana kau mengetahui hal itu?"
"Aku orang terpilih. Aku memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki sembarang orang." Kilah Reina dengan alasan asal. Tidak mungkin ia berterus terang mengatakan bahwa ia melihat aksi pria itu di dalam mimpinya.
"Sialan!" maki Radeeva kasar. Ia nampak frustasi dan menelan kebohongan Reina dengan bulat-bulat. Tentu saja demikian, selain dirinya dan sang korban, hanya beberapa tetua aula perbintangan yang di komando oleh Datok serta kedua orang tuanyalah yang tahu permasalahan tersebut. Bahkan orang-orang yang terkait seperti Catra pun telah di hapus ingatannya oleh pihak aula perbintangan."Tampaknya aku terlalu meremehkanmu. Persetan kau tahu atau bahkan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru negeri, yang jelas sebelum aku memberikan racun itu, dia memang sudah menjadi pembunuh berdarah dingin yang keji!"
"Aku hanya ingin menghukumnya! Membuat manusia itu semakin tidak bisa merasakan belas kasih bahkan rasa cinta sedikitpun! Aku akan puas jika dia berakhir dengan kehampaan seumur hidupnya!" rahang Radeeva mengeras. Tangan kirinya telah mendarat mulus di leher Reina sementara tangan kanannya masih menahan pertahanan sihir yang telah ia buat.
Reina meringis tapi tidak mempedulikan Radeeva yang mencekiknya. Ia tetap mengunci Bhinendra dalam irisnya. Memastikan pria itu tetap hidup dengan matanya. Meski samar, dari kejauhan, Reina melihat gerakan maskulin pria itu yang menggores telapak tangannya dan melumuri sisi tajam pedang itu dengan darahnya. Seperti sebuah ritual, alat pencabut nyawa itu bersinar bersamaan dengan seringai kejam pemiliknya. Menebas para Ahool dengan mudah selayaknya mengiris seonggok daging ayam tanpa tulang. Lancar tanpa hambatan.
Pertarungan itu berakhir dengan kemenangan mutlak. Tentu saja singa Swastamitalah pemenangnya. Sayangnya perasaan euforia itu tidak bisa Radeeva dan Reina rasakan. Kedua orang itu sibuk dengan rahasia mereka berdua.
"Lepas...." Reina meringis. Napasnya mendadak sesak dengan degup jantung yang semakin meningkat pesat. Ia merasakan bahwa tubuhnya mengalami peningkatan suhu secara drastis. Reina tidak bisa berpikir jernih karena mulai kekurangan asupan oksigen di paru-parunya.
"Kau terlalu banyak tahu, Reina." Desis Radeeva, "sebaiknya mulai sekarang kau lebih berhati-hati. Aku bisa melenyapkan nyawamu saat ini juga!" Radeeva terdiam saat ujung pedang terhunus di samping lehernya. Wajah Bhinendra tak menampakkan keramahan.
Pria bersurai merah panjang itu tertawa lebar kemudian melepas cengkeraman tangannya dari leher sang terpilih, "perubahan besar, tak kusangka eksekutor berdarah dingin memberikan respons peduli seperti ini."
"Kau semakin kelewatan, Radeeva. Kau tidak perlu melampiaskan rasa marahmu padanya. Jika sekali lagi aku melihatmu memperlakukannya dengan kasar, aku tidak akan memandang lagi hubungan kita di masa lalu. Aku akan melubangi jantungmu tanpa ragu!" Bhinendra menarik pedangnya kemudian memasukkan benda berdarah itu dalam sarungnya. Ia mengait lengan Reina dan membawa perempuan itu di sisinya. Gadis itu terhuyung mengikuti tarikan Bhinendra yang sedikit kasar. Meski demikian, Reina tetap diam dan tertunduk sambil menekan dadanya dengan kuat.
Bhinendra berdiri dengan wajah datar. Tatapan buas berhiaskan emerald mulia itu mengintimidasi Radeeva tanpa banyak kata. Membuat keduanya saling beradu hantam dalam diam. "Kau terlalu percaya diri! Aku bahkan sudah tidak menganggap keberadaan mu di masa lalu! Kau bukan siapa-siapa! Kau hanya seorang pembunuh! Pendosa yang diliputi nasib buruk seumur hidupnya!"
Bhinendra maju untuk menanggapi, namun tindakannya terhenti ketika tangan Reina mencegat tubuhnya secara tiba-tiba. Pria berhidung lurus itu tertegun dan membalikkan badan. Kedua pria rupawan itu terperangah mendapati Reina memucat dan terjerembab ke tanah.
Bhirendra segera menangkap tubuh Reina yang limbung dan Radeeva pun dengan sigap memeriksa kesadaran spiritual gadis itu. Dengan ekspresi yang penuh keterkejutan, Radeeva berkata, "kenapa kau tidak memberitahuku kalau kesadaran spiritualnya belum terbuka?" pemuda itu kini tampak khawatir. Tentu saja ia sangat mengetahui bahwa tubuh fana dari dunia nyata tak kan pernah mampu menerima serangan kekuatan dari berbagai entitas di alam Swastamita. Perlahan tapi pasti suatu saat Reina akan lenyap jika masih dengan kesadaran spiritual yang tertutup.
"Dengan emosi labilmu itu, apa kau pikir aku punya kesempatan untuk mengatakan satu patah katapun padamu?" desis Bhinendra tidak mau kalah. "Lakukan apapun untuk mempertahankannya, selagi kita mencari jalan keluar untuk membuka kesadaran spiritualnya."
Tanpa memberi bantahan, Radeeva mengikuti gerakan Bhinendra untuk menyalurkan tenaga internal yang mereka punya. Namun semua usaha mereka sia-sia. Kekuatan itu tertolak dan membuat kedua pelindung itu terluka dengan darah yang keluar dari bibir mereka. Radeeva menatap Bhinendra dengan pelik. Ia tidak menyangka bahwa kesadaran spiritual gadis di depannya tersegel dengan kuat.
Melihat kekuatan Radeeva yang juga tertolak, Bhinendra semakin menatap Reina dengan penuh keseriusan. Dengan pertimbangan yang matang, ia menyerahkan tubuh yang tengah tak sadarkan diri itu kepada Radeeva. Tanpa mempedulikan pertanyaan Radeeva, Bhinendra duduk bersimpuh sembari memejamkan mata dan mengerahkan sisa tenaga internalnya untuk menembus pembatas aula perbintangan.
Bhayangkara Danadyaksa, berani-beraninya anda menembus dinding pembatas tempat suci! Bentak suara salah satu tetua yang sedang berjaga di menara saat sinar spiritual Bhinendra muncul di tengah-tengah ruangan.
Maafkan saya tetua. Kami dalam keadaan terdesak. Saya harap tetua bisa menghubungkan saya dengan Datok sekarang juga karena ini menyangkut keselamatan sang terpilih! jelas Bhinendra tanpa bertele-tele.
Begitu mendengar penjelasan Bhinendra, sang tetua pun segera menghubungi Datok dan beberapa saat kemudian sesepuh Swastamita yang di agungkan itu akhirnya memberi tanggapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 18 Episodes
Comments