Bab 15 Pusaka Pertama

Reina menapakkan kaki di suatu tata ruang yang berupa pemandangan alam indah dengan pegunungan yang kehijauan, tebing-tebing terjal dan bebatuan. Di tengah pengunungan itu terdapat sebuah ngarai yang curam, terselubung kabut tipis tapi cukup membuat penglihatan ke depan terhalangi. Dimensi itu begitu sepi, senyap seolah hanya Reina sendiri yang berada di tempat aneh nan misterius itu.

Gadis itu menggenggam pedang dengan kuat. Langkahnya penuh kewaspadaan. Punggungnya begitu tegak, netra merahnya memancarkan kecurigaan, serta ketajaman intuisi yang menegaskan aura seorang agresor handal.

Reina tiba-tiba melompat, menjauhkan dirinya dari serangan mendadak seekor makhluk melata yang super besar. Makhluk astral berbentuk ular dengan tubuh sangat panjang berdiameter seukuran drum dan berkepala seperti lembu itu ia kenal sebagai Ular Lembu . Seekor makhluk mitologi yang berasal dari tanah Kalimantan Timur dengan panjang sekitar empat ratus hingga lima ratus meter telah berwujud nyata, berdiri di depan Reina dengan hembusan napas beracunnya.

"Jangan gegabah!" Bhinendra menarik tubuh Reina dengan cepat saat monster tersebut kembali menyerang, "darah dan napasnya bisa mematikan."

Reina menoleh dan mendapati Bhinendra telah berdiri tegap di sisinya, "aku tahu. Kau mengikutiku?"

"Sebagai seorang Bhayangkara, aku tahu tugas dan tanggung jawabku." Bhinendra membawa Reina melompat, menghindari semburan napas makhluk ganas itu yang berbentuk lava panas.

"Aku mengagumi loyalitasmu. Seandainya aku tidak tahu tujuanmu, mungkin aku akan terbawa perasaan karena perlakuan manismu ini." Kekeh Reina sedikit menggoda.

Alis Bhinendra berkerut. Keterusterangan yang di kemukakan Reina dengan begitu lugas. Sangat berbeda dengan sifat perempuan itu sebelumnya. Pria bernetra hijau itu sedikit kebingungan namun hanya per sekian detik. Fokusnya kembali mengunci sasaran. Ia mengamati dan mencari kelemahan musuh mereka.

Bhinendra mengeluarkan kemampuannya dengan sihir penyerang, bersamaan dengan tebasan pedang Reina dari arah yang berlawanan. Kedua orang itu bekerjasama melumpuhkan sang ular besar. Berkali-kali kepala raksasa dari makhluk mitologi itu terpisah dari tubuhnya. Akan tetapi selalu muncul lagi dengan bentuk yang sama. Seolah tidak pernah terdapat tebasan di sana.

"Puncak kepalanya!" raung Bhinendra dengan napas tersengal-sengal. Bagaimanapun, mahkluk besar tersebut tidak akan pernah mati jika mereka tidak menyerang titik lemahnya yang berada di puncak kepala. Pemuda itu mundur beberapa langkah dan berusaha menstabilkan tubuhnya yang semakin lelah. Menggunakan sihir dan kekuatan fisik bersamaan sungguh menguras energinya. Jika dalam peperangan antar manusia, ia hanya memerlukan tenaga eksternal akan tetapi kondisi saat ini sungguh berbeda. Bertarung dengan makhluk-makhluk mitologi sangat menguras energi eksternal dan internalnya sekaligus.

"Beristirahatlah dulu! Biar aku yang mengurus sisanya." Saran Reina dengan kedipan nakal. Tanpa menunggu respon Bhinendra, ia langsung berlari dan mengucapkan sesuatu hingga membuat pedang yang di pegangnya bercahaya. Ia melompati beberapa tebing dan bergelantungan seperti primata yang berpegang pada batuan besar. Monster raksasa itu mengikuti Reina dengan cepat. Berusaha membelit dan menelan perempuan itu hidup-hidup.

Reina mengucapkan sebuah mantra yang membuat mata merahnya bercahaya terang. Tubuhnya mengeluarkan kekuatan besar disertai gelombang angin yang bertiup semakin kencang. Reina kembali melompat dan melawan arah. Dengan perhitungan matang, ia akan mengambil resiko yang cukup besar. Menyerang sang monster dari jarak dekat, tepat di depan mata. Beberapa kali ia melancarkan serangan. Hunusan pedang yang memiliki kekuatan spiritual itu berhasil memberikan luka yang cukup dalam pada tubuh makhluk astral tersebut.

Reina berlari secepat kilat. Mengerahkan sisa tenaganya pada hantaman terakhir dari senjata berbilah panjang nan tajam di tangannya. Dengan beberapa kali serangan, ular besar tersebut pun tumbang. Tubuh hewan raksasa tersebut saling terpisah, menjadi potongan-potongan kecil dan tentu saja kepalanya pun hancur dalam serpihan berwarna hijau pekat berbau amis yang kuat. Reina terjatuh, terpental jauh dengan dentuman keras layaknya hempasan mortar. Ia meringis kesakitan dan memuntahkan darah segar. Sang Bhayangkara, pelindung bersurai hitam pendek yang menjaganya dengan sigap berlari menghampiri.

"Reina, kau terluka?" tanya Bhinendra dengan wajah serius. Namun malah di tanggapi dengan godaan oleh perempuan itu, "apakah kau mengkhawatirkanku?"

Bhinendra mendadak kesal dan mengernyitkan alis, "di saat seperti ini pun kau, ah, sudahlah!"

Dasar perempuan tidak waras! Umpat Bhinendra dalam hati. Reina terkekeh pelan menanggapi kekesalan Bhinendra kepadanya, "aku baik-baik saja. Biarkan aku berbaring sebentar. Tenagaku benar-benar terkuras. Pertarungan pertama ini seharusnya dengan lawan yang biasa, bukan langsung berhadapan dengan monster raksasa semacam ini. Aaah.... Benar-benar melelahkan!" Reina memejamkan mata sejenak. Menetralkan semua elemen di tubuhnya dan kembali bangkit mendekati sisa-sisa tubuh Ular Lembu yang hancur berantakan.

"Apa yang akan kau lakukan?" Bhinendra bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Reina sekarang, semenjak ia merubah diri dengan netra merah dan warna kulitnya, semua hal yang biasa ada padanya jadi berbeda. Bahkan sifat perempuan itu pun tidak lagi sama. Sekarang, Reina tampak memiliki keberanian dan kemampuan yang setara dengan ahli pedang. Seperti halnya Bhinendra dan Radeeva, kedua pelindungnya. Meskipun demikian, perempuan itu juga terlihat membuat sekat yang tak kasat mata sehingga memberikan kesan misterius dalam setiap gerak langkahnya.

"Mengumpulkan potongan-potongan makhluk ini dan menjadikannya media untuk menarik pusaka yang kita cari." Reina menjawab tanpa memalingkan wajah sedikitpun. Perempuan itu mengunci seluruh bagian tubuh Ular lembu dalam gelembung sihir dan mengubahnya menjadi mustika berbentuk Sluding (alat musik klentengan) unik yang berwarna kuning mengkilap, terbuat dari emas murni dengan kemampuan magis yang kuat.

Sesosok perempuan dengan Bhusana (pakaian) putri kayangan muncul dari gumpalan asap putih yang berasal dari mustika tersebut. Perempuan cantik yang berpakaian serba hijau dengan atribut perhiasan emas dibeberapa bagian tubuh itu melayang sambil tersenyum ramah. Ia tampak begitu anggun dan berwibawa dengan selendang kuning transparan serta mahkota emas yang bertahtakan berlian di atas kepalanya.

"Wahai sang terpilih, aku adalah penunggu yang menjaga pusaka ini. Jika engkau berniat memiliki benda sakral ini, maka engkau harus memenuhi persyaratan yang ku berikan." Ucap sang putri pada Reina dengan penuh kelembutan.

Reina menganggukkan kepala dan disambut sang putri dengan senyum yang menghanyutkan, "baik. Apa yang ingin engkau tukar dengan pusaka ini?" putri penunggu pusaka itu kembali melanjutkan, "jika aku menginginkan indra perasamu, apakah engkau bersedia menyerahkannya padaku?"

Reina tertegun mendengar permintaan sang putri yang diluar ekspektasi. Ia terlihat bingung dan sedikit ragu. Perempuan dengan surai hitam panjang terikat itu berusaha melakukan negosiasi, akan tetapi berakhir dengan penolakan sang putri. Berkali-kali Reina memberikan penawaran yang menggiurkan, dari benda berharga hingga tempat tinggal yang layak. Namun penunggu pusaka tersebut hanya tersenyum dengan penolakan yang sama. Akhirnya, dengan menghela napas dalam dan panjang, Reina pun angkat tangan. Ia menyerah dan mengikuti kemauan dari sang putri.

"Aku akan memberikan timbal balik yang sesuai dengan kebutuhanmu saat ini. Sekarang pejamkan matamu agar aku bisa masuk dalam dirimu." Tutur wanita rupawan itu dengan suara yang sehalus Beludru.

Reina mengikuti instruksi sang putri. Ia melepaskan semua pikiran dan memfokuskan semua panca indranya pada sebuah ketenangan. Perlahan tapi pasti, sosok wanita bak dewi kahyangan itu pun masuk ke dalam raga sang terpilih.

Melihat sosok Reina yang limbung, Bhinendra pun dengan tangkas menangkap gadis itu. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Meski melihat Reina dan sang putri di depannya, nyatanya Bhinendra tidak mendengar apapun yang mereka bicarakan. Dalam penglihatan Bhinendra saat itu, dua sosok di depannya hanya saling menatap dalam keheningan. Mereka terdiam dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya Reina kembali tumbang.

"Reina!" panggil Bhinendra dengan raut wajah yang penuh kebingungan. Pria itu berpikir, mengapa pusaka tersebut justru masuk ke dalam tubuh gadis asing itu. Apakah raga perempuan yang terbaring di lengannya saat ini merupakan tempat penyimpanan sementara dari tiga pusaka yang mereka cari? Jika memang demikian, bukankah kekuatan dari ketiga pusaka akan merusak tubuhnya secara perlahan.

Bhinendra menyibak anak rambut yang menutupi wajah pucat gadis itu. Tidak hanya dirinya, Reina pun tampak sangat kelelahan. Meski tidak menyukai kedekatannya dengan sang gadis, mau tidak mau Bhinendra tetap harus profesional. Ia tidak mungkin membiarkan Reina terkapar begitu saja sementara dia ada di samping gadis itu. Pun, ia sudah terikat sumpah. Ia harus menjaga dan melindungi Reina. Tidak peduli bagaimana tidak sukanya dia dengan keribetan seorang perempuan, ia tetap harus mengikuti semua instruksi yang diberikan sang terpilih untuknya.

Bhinendra menghela napas panjang dan lelah. Pria kikuk itu membiarkan Reina tidur dengan nyaman dan tenang dalam rengkuhannya. Ia tidak memiliki pilihan selain menunggu gadis itu terbangun dengan sendirinya, karena portal dimensi yang berada di atas mereka masih tertutup serta mengunci mereka di dalamnya.

Entah berapa lama Bhinendra terlelap. Begitu terbangun, netra zamrud yang berkilau itu mendapati Reina sedang duduk dengan ekspresi yang rumit. Wajahnya tertunduk dengan tatapan yang dalam. Tak ada satu katapun keluar dari bibir penuh gadis itu saat Bhinendra menanyakan keadaannya. Ia hanya tersenyum dan menyerahkan pedang yang masih di pegangnya kepada Bhinendra.

Bhayangkara bersurai sehitam tinta itu menerima pedangnya. Menyentak gagang pedang dengan sihir untuk menyimpan kembali senjata itu dalam kekuatan magisnya. Ia kembali kebingungan ketika siluet Reina sudah berada di belakangnya. Perempuan itu menahan tubuh Bhinendra yang hendak berpaling dan bangkit dari posisi awalnya.

"Diamlah!" pinta Reina yang sudah meletakkan kedua tangannya tepat di punggung pemuda itu. Bhirendra tak lagi bisa memberikan penolakan. Reina telah memindahkan sebagian tenaga internalnya kepada Bhinendra. Proses transmisi itu memberikan efek segar pada tubuhnya dan mengobati beberapa luka dalam yang di deritanya.

"Bagaimana? Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Reina dengan sudut bibir yang terangkat. Bhinendra tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menganggukkan kepala dan membuang muka ke sembarang arah. Alih-alih tersinggung, Reina justru mengulum senyum. Ia memiringkan kepala dan bertumpu pada tangan kanannya. Walau pria kaku di depannya tak mengucapkan apa-apa, Reina faham bahwa saat ini Bhinendra sedang tersipu. Tanpa berniat membuat pelindung itu semakin malu, Reina kembali membuka pembicaraan. Ia mengalihkan perhatian sang Bhayangkara dengan memperlihatkan kemampuannya mengeluarkan sihir.

"Lihatlah, aku sudah cukup mampu melindungi diri, bukan?" ujar Reina dengan nada yang riang. Bhinendra kembali menganggukkan kepala dan membalas, "kemampuanmu sudah hampir setara dengan para ahli di kerajaan Swastamita. Hanya saja aku tak mengerti, bagaimana bisa kamu mengusai keahlian beladiri dan berpedang dalam waktu sesingkat itu?"

"Entahlah. Kemampuan itu datang begitu saja. Ketika merasa terancam, tanpa kusadari tubuh ini bergerak dengan sendirinya. Sebelumnya pun, aku memang sudah mengamati setiap gerakanmu dan Radeeva. Anggaplah aku meniru cara bertarung kalian. Mungkin saja ini merupakan salah satu kemampuan khusus yang dimiliki sang terpilih." Jawab Reina dengan asumsi personalnya.

Bhinendra tak lagi bertanya. Penjelasan yang Reina berikan ternyata cukup masuk akal. Tentu saja demikian, bukankah Reina adalah manusia dengan status yang spesial. Tentu saja kemampuan yang dimiliki gadis itu pun berbeda dengan manusia pada umumnya.

Kedua rekan seperjuangan itu kembali dalam keheningan. Mereka beristirahat sejenak sembari menstabilkan diri. Begitu seluruh energi terkumpul, Reina yang hendak bangkit tiba-tiba terhuyung. Bhinendra refleks mengulurkan tangan, berusaha menangkap tubuh kecil perempuan itu. Namun nahas, keduanya terjerembab dan lagi-lagi terjatuh dengan posisi yang tidak mengenakkan. Manik ruby dan zamrud itu bertemu pandang. Iris mereka membesar dengan gerak tubuh yang membeku dalam ketidakberdayaan. Kedua labium yang tengah menempel itu memberikan syok terapi yang hebat pada Reina dan Bhinendra. Mereka terbius dengan kejadian singkat yang di luar nalar itu. Bisa-bisanya insiden tabu kembali terulang.

Keduanya dengan cepat memisahkan diri. Reina bahkan hampir melompat dan tanpa sadar menutup mulut dengan tangan kirinya. Sedangkan Bhirendra tidak kalah aneh. Ia menelan saliva dan menjilat bibir berkali-kali, seperti tengah membasahi mulutnya yang mendadak kering. Jantung keduanya sama-sama bergemuruh dan seketika membuat mereka gugup.

Ini gila! Sudah dua kali perkara amoral ini terjadi. Apakah ini merupakan tanda bahwa aku harus bertanggungjawab secara sungguh-sungguh padanya? Bhinendra menyibak rambut hitamnya yang terlihat acak. Pikirannya menjadi kalut layaknya pintalan benang yang terlihat kusut. Ia tidak pernah membayangkan jika suatu saat akan mengucap janji suci sebagai pasangan dari seorang perempuan berstatus Janaloka (dari dunia manusia). Pemuda itu menghela napas dalam-dalam. Menelan seluruh asumsinya dalam kepasrahan. Mau bagaimana lagi, sebagai pria yang memiliki prinsip, mau tidak mau ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menikahi perempuan fana tersebut tanpa perasaan cinta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!