Kapal motor yang cukup besar dengan dua tingkatan telah berada di atas sungai Mahakam yang luas. Sungai dengan panjang 920 km itu akan menemani perjalanan lima orang anggota LSM yang berangkat dari pelabuhan Taruna ke Desa Muara hingga dua belas jam ke depan.
Nathan, Dio, Edel , Ria dan Karin yang sudah berada di dalam kapal motor itu tidak membuang kesempatan. Mereka berusaha menikmati tugas mereka kali ini. Petikan gitar yang Nathan bawa seolah membuat suasana semakin meriah. Edel tidak tinggal diam. Dia selalu mengabadikan momen dan membagikannya di akun media sosial miliknya. Sedangkan Dio, pria itu tengah sibuk mempersiapkan beberapa materi penelitian bersama Ria. Seolah cuek dengan sekitar. Fokus pada kertas dan benda-benda tulisnya, namun diam-diam ekor matanya selalu menangkap siluet perempuan dengan pakaian oversized sweatshirt di belakangnya.
Karin, perempuan kurus dengan gayanya yang santai, sengaja melarikan diri ke buritan kapal. Ia tak ingin ikut dalam kesibukan para rekan sejawatnya. Ia lebih suka menikmati keindahan sungai Mahakam dengan kesendirian. Sesekali ia memotret, sekedar menambah koleksi foto album landscape di laptop miliknya.
“Nggak tidur siang, Rin?” tanya Dio yang sudah berdiri di samping Karin. Ia membawa sebotol kopi instan dan menyodorkannya pada gadis bermanik coklat terang di depannya. Gadis itu hanya menghela napas kemudian kembali memotret pemandangan dengan kamera DSLR miliknya.
Dio menyentak tangannya kemudian bergumam lembut, “Rin, perjalanan kita masih panjang dan lama. Apa nggak sebaiknya kamu istirahat bareng Edel di atas?”
“Nggak perlu. Aku tau kapan tubuhku perlu istirahat.” Jawaban dingin Karin membuat Dio kehilangan kata-kata. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian pergi meninggalkan Karin sendirian.
Nathan yang tidak sengaja berpapasan dengan Dio menyeringai tajam, “gagal pedekate?”
“Bacot! Minggir sana!” jawab Dio dengan rasa jengkel sambil berlalu.
“Karin itu tipe cewek introvert. Salah treatment nggak bakalan dapet!”
Dio menghentikan langkah kemudian berbalik memandang ketua tim mereka, “urus aja masalah awak sorang!” (urus saja masalahmu sendiri!)
Nathan kembali terkekeh mendengar sindiran Dio dalam bahasa Kutai. Ia sangat tau tipikal anggota LSMnya masing-masing. Meski terkenal tenang, Dio ini cenderung akan bersikap arogan jika terus-terusan di provokasi dan Nathan tidak mau mengambil resiko merasakan bogem mentah Dio hanya karena gurauannya itu.
Dua belas jam berlalu, Karin dan rombongannya yang sudah berada di pelabuhan desa Muara telah disambut oleh Kepala Camat dan aparatur desa setempat. Orang-orang penting itu tampak ramah dan bersahaja, mereka tidak membuat batas layaknya orang yang baru saling mengenal.
Pak Camat yang bernama Mahmud itu menceritakan seluk beluk desa secara garis besar sembari sesekali tertawa untuk mencairkan suasana. Sambil terus bercerita, pria berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu membawa mereka menuju penginapan terdekat dan satu-satunya di daerah tersebut. Penginapan tersebut tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai tempat beristirahat para tamu dan pendatang. Lebih tepatnya, bisa dikatakan sebagai rumah kayu biasa. Hanya saja, rumah tua itu nampak elegan karena di bangun dengan kayu ulin yang terkenal mahal.
Pak Camat mengajak tamunya itu ke dalam penginapan. Di sana terdapat dua kamar tidur dengan fasilitas yang cukup lengkap. Ada dua sofa yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan meja di tengah-tengah ruangan. Serta sebuah televisi dan kipas angin di salah satu ruangan yang mereka yakini sebagai ruang keluarga. Pak camat berdeham. Dengan sedikit malu-malu, pria tua itu berkata, “mohon maaf atas semua fasilitas yang tidak memadai ini. Mas dan mbak pasti paham kondisi desa kami yang serba penuh keterbatasan.”
“Tidak masalah, Pak. Kami sudah terbiasa. Kami bahkan sudah pernah tidur beralaskan koran disalah satu desa di pelosok Taruna.” Jawab Nathan sembari menghibur hati orang tua di depannya itu.
“Benarkah? Wah kalau begitu saya jadi tenang. Silakan mas dan mbaknya beristirahat malam ini. Besok akan saya antar berkeliling sambil berkenalan dengan para petinggi dan kepala adat desa kami.”
“Oya, mas dan mbaknya cuman berlima di sini ya. Ini rumah pribadi Camat terdahulu yang sudah dihibahkan beliau untuk dijadikan tempat serbaguna masyarakat. Jadi tidak ada yang mengurus tempat ini sebelumnya, jadi mohon maaf jika masih ada banyak debu di beberapa tempat. Konsumsi sehari-hari untuk mas dan mbak akan kami antarkan setiap pagi, siang dan sore hari. Kalau malam hari semua toko disini sudah tutup jadi jika mas dan mbaknya ingin makan cemilan bisa langsung ke dapur belakang, ya.” Jelas pak Camat dengan sopan.
Nathan pun menjawab dengan sedikit menundukkan kepala, “baik, Pak. Terima kasih banyak atas sambutan dan fasilitasnya.”
“Kalau begitu kami permisi dulu. Kalau ada apa-apa, langsung saja cari saya. Rumah saya ada di ujung sana.” Pak Camat pun melangkah keluar penginapan dan menunjukkan rumahnya dengan jari jempol beliau. Nathan dan yang lainnya menganggukkan kepala tanda memahami maksud dari isyarat tangan yang pak tua itu berikan. Pak Camat itu pun meninggalkan lima orang asing di dalam penginapan tersebut.
“Kita bagi kamar!” celetuk Edeli, “kamar depan untuk kalian para pria dan kamar itu untuk kami, para wanita.” Karin melirik ke arah belakang yang barusan di tunjuk Edel dengan lantang. Cukup besar untuk menampung tiga orang perempuan macam kami. Pikir Karin dengan wajah yang santai.
“Terserah kalianlah. Yang penting besok jangan ada yang telat. Kita harus secepatnya menyelesaikan tugas ini.” Ujar Nathan masa bodoh.
“Oke deh. Aku duluan ya, bebs. Capek banget tubuhku. Kapalnya lama betul. Kalau tau, mending naik mobil aja tadi.” Keluh Edel sambil memberikan pijatan kecil di pundaknya.
“Tukang ngeluh tidur sana!” usir Ria yang memutar bola matanya.
“Aku juga duluan, ya.” Ucap Karin yang mengikuti langkah Edel dan Ria ke dalam kamar paling belakang. Sebelum Karin sempat melangkah, Dio lebih dulu menarik tangannya. “Rin, jika ada yang gak beres. Teriak aja, ya.”
Alis Karin saling bertaut. Ada sedikit perasaan risi jika rekannya itu memberikan perhatian lebih padanya. Ia tidak suka jika kelak dijadikan bahan gosip seantero kampus jika sampai ada yang melihat keuletan Dio mendekatinya. Alih-alih marah, Karin hanya mengangguk dan melepaskan belenggu pria itu di lengan kanannya. Ia berlalu tanpa kata. Membuat Dio kembali menelan senyum dengan muka masamnya.
Dio dan Nathan itu ibarat pinang dibelah dua. Meski berbeda sikap, namun satu kampus sudah mengenal bakat alami kedua buaya darat fakultas ilmu hukum itu. Mereka berdua terkenal dengan julukan arjuna penakluk wanita. Tak ada yang tidak kenal seorang Nathan dan Dio. Dua pemuda yang dikatakan tampan dan mapan oleh banyak perempuan itu tak pernah bertahan dengan satu orang perempuan.
Mengingat begitu banyaknya mantan pacar dan perempuan yang mengantri dalam daftar petualangan cinta mereka, Karin pun enggan menjadi salah satunya. Bukan apa-apa, tipikal rekan prianya itu bukan termasuk kriteria yang bisa diterima Karin dan prinsip hidupnya. Hanya mengandalkan tampang dan modal, takkan pernah bisa membobol benteng hati Karin yang sudah sekeras tembok besar China.
Di tengah malam, Karin kembali memimpikan sosok pria dengan jubah hitam itu lagi. Kali ini dengan inti cerita yang berbeda meski tetap dalam ruang lingkup yang sama. Serba gelap dan hanya memiliki setitik cahaya dari kejauhan.
"Jarak kita semakin dekat. Aku menyukainya!" pria misterius itu tersenyum lebar hingga memberikan efek tegang di sekujur tubuh Karin. Meski pria itu merasa senang, anggaplah demikian, namun Karin menyelami bahwasanya ada kekejian serta kekejaman yang tersimpan dalam tawa kecilnya itu. Karin bergidik. Ia mendekap tubuhnya dengan kedua tangan dan berusaha untuk memundurkan langkah. Tapi sia-sia! kedua kakinya seakan-akan telah di paku di tempat itu.
"Aku semakin tidak sabar untuk merayakan pertemuan kita!" gelak sosok itu dengan angkuhnya, "meski nanti kau tidak menyadari kehadiranku, namun kau perlu tau bahwa diriku yang lain akan selalu berada di sekitarmu."
Lagi-lagi sikap pria dengan aura kegelapan pekat itu bertindak seenaknya pada tubuh Karin yang terlanjur kaku dan tak bisa digerakkan. Dia dengan berani memeluk pinggang gadis itu dan berbisik pelan, "bersama denganku, kita bisa membalas mereka. Kita bisa menciptakan dunia yang adil untuk kita berdua."
Karin berkeringat dingin. Tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya ketika jemari yang sedingin es itu berada tepat di lehernya. "Patuhlah! Aku tidak mentolerir sebuah pengkhianatan meski dari perempuan yang kucintai sekalipun." Jemari pria itu memberi tekanan beberapa saat pada leher Karin hingga meninggalkan bekas merah yang samar di kulit gadis itu.
Begitu tangan itu terlepas, Karin kembali membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Ia refleks meraba lehernya dan menelan saliva beberapa kali agar tenggorokannya tidak lagi terasa kering. Karin melirik ke arah dua temannya yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Ia mendadak merasa lega begitu menyadari bahwa Edel dan Ria tidak bergeming walaupun gadis itu terbangun dengan gerakan yang cukup berisik.
Keesokan paginya, Karin sudah duduk dengan segelas kopi di tangannya. Nathan dan Dio yang baru bangun sempat terperanjat melihat perempuan itu memakai daster berwarna putih dengan lingkaran mata yang sedikit menghitam.
“Astaga, Karina! Ngapain subuh-subuh duduk di situ pake baju begituan? Bikin kaget aja. Jantungan aku!” tegur Nathan dengan memberikan elusan di dadanya.
Karin acuh tak acuh. Ia malah menyeruput kopinya tanpa rasa bersalah sedikitpun, “ini daster pemberian Ria dan aku sangat menyukainya. Daster ini nyaman. Oh ya, sekedar informasi aja kalau aku emang terbiasa bangun jam segini jadi selanjutnya kalian nggak perlu kaget lagi, okey?”
Ya, Karin memang terbiasa. Gara-gara makhluk aneh nan misterius itu yang selalu muncul dalam mimpinya, membuatnya tidak bisa lagi memejamkan mata. Rasa kantuknya seketika hilang begitu teringat bagaimana mengerikannya ancaman pria tersebut. Meski telah berada di alam nyata, tetap saja rasa sakit dari cengkraman tangan yang dingin itu masih terasa jelas di dirinya dan itu membuat Karin semakin merasa ketakutan.
Begitu keluar dari penginapan, mata Karin langsung dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah. Suasana desa identik dengan aktivitas sungainya. Aroma segar yang diciptakan oleh pohon-pohon Kuweni telah mendominasi rongga pernapasan gadis itu. Tak hanya itu, sepanjang jalan di jembatan ulin terdapat rumah kayu yang berjejer rapi. Beberapa penduduk tampak bersiap pergi ke ladang sedangkan beberapa lainnya tampak sibuk dengan pukat, jala serta alat-alat khusus lainnya untuk menangkap ikan.
Selain aktivitas orang tua, rutinitas anak-anak serta remaja pun mulai terlihat. Mereka tampak riang berangkat ke sekolah sembari bersenda gurau dengan teman sebaya. Ada yang bersepeda, ada pula yang masih berjalan kaki. Semua terlihat seperti desa pada umumnya, begitu asri dan penuh toleransi.
“Kamu nggak takut apa, Rin?” tanya Edel ketika mereka semua sudah berada di atas jalan menuju kantor kepala desa. Karin yang sejak tadi menikmati pemandangan kini menoleh dengan ekspresi bingung, “takut apaan?”
“Bangun subuh-subuh. Sendirian. Di tempat asing begini. Ditambah suasananya agak creepy. Sumpah! Ini ngingetin aku dengan filmnya Bunda Suzanna.”
Alis Karin mendadak naik disertai senyum jahil yang tersungging, “sundel bolong?”
“Jangan disebutin napa!” seru Edel sedikit ketakutan. Karin pun terkekeh, “Imajinasimu jauh banget Del, ini udah siang. Matahari udah terik. Nggak perlu ketakutan gitu!”
Edel mengulum senyum namun masih bergelayutan di lengan Karin, “Tapi aku masih merasa nggak nyaman loh, Rin.”
“Aku kok ada feeling yang nggak enak tentang tempat ini.” Imbuh perempuan cantik bermata abu itu.
Karin menelan saliva. Ia tidak bisa membantah bahwa apa yang Edel rasakan sudah lebih dulu ia rasakan. Sejak menginjakkan kaki ke desa itu, perasaan Karin sudah tidak nyaman. Entahlah, perasaan itu tidak memberikannya spesifikasi yang jelas. Terlebih melihat pandangan masyarakat yang terlihat aneh kepada mereka. Karin menyadari, sedari kelima anggota LSM itu memutuskan mulai mengitari lingkungan sekitar, beberapa kali Karin memergoki beberapa orang penduduk lokal mencuri lihat ke arah mereka kemudian berbisik-bisik dengan tatapan tajam.
“Perkenalkan Petinggi dan Kepala Adat Desa kami.” Ucap pak Mahmud, kepala camat, pada Karin dan teman-temannya ketika mereka sudah berada di dalam kantor petinggi desa. Dua orang pria berumur tersenyum dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Saya Tatang, petinggi desa.” Tutur pria yang seumuran dengan pak Camat dengan kacamata tanpa framenya.
“Saya adalah kepala adat desa, panggil saja saja Kakek Upa.” Ujar pria tua yang rambutnya hampir putih keseluruhan.
“Salam kenal Bapak-bapak sekalian.” Balas Nathan dengan memberikan jabatan tangan kepada kedua pria tadi. “Kami dari LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di Kota Tenggarong. Saya adalah Nathan, ketua LSM dan dari ujung kanan itu adalah Ria, Dio, Edel dan terakhir Karin. Mereka semua anggota LSM terbaik yang saya bawa untuk membantu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Muara saat ini.” Jelas Nathan sesopan mungkin.
Pak Tatang tersenyum, “baik, sebelum kita mulai silakan duduk dengan santai sambil menikmati teh yang ada.” Petinggi desa tersebut mempersilakan para tamunya untuk duduk di sofa yang sudah tersedia. Belum sempat mereka beranjak, suara teriakan memanggil nama Kakek Upa terdengar nyaring dari ujung jalan. Semua orang dengan sigap keluar dan melihat seorang perempuan sedang berlari dengan wajah pucat serta keringat yang mengucur deras. “Kesurupan massal! Kesurupan massal!” raungnya panik.
“Tenang! Atur napas dulu!” saran pak Camat dengan wajah yang bingung.
“Tidak ada waktu, Pak! Cepat ikut saya!” balas perempuan itu sambil berusaha menenangkan dirinya. Tatapan matanya pun beralih pada Kakek Upa, “Ayok Kek! Cepat! Jika semakin lama takutnya semakin banyak korban!”
“Sebaiknya kita tunda dulu rapat kita hari ini. Mas dan mbak LSM silakan kembali. Jangan ada yang berkeliaran sampai salah satu dari kami mengunjungi kalian di penginapan nanti." Walaupun tidak memahami makna tersirat dari perintah pak Tatang, Nathan dan rombongannya tetap menganggukkan kepala dan berusaha tidak melayangkan pertanyaan.
Begitu mereka berpamitan, Kakek Upa menepuk pundak Nathan dan memandang Karin dengan sorot mata yang kompleks, “Apapun informasi yang kalian dapat, jangan pernah berjalan melewati daerah itu!” Kakek Upa menunjuk dengan tegas ke arah kebun karet di ujung barat desa.
“Kenapa, Kek?” tanya Edel penasaran. Ketiga orang tua itu saling bertukar pandang kemudian saling memberikan isyarat. Pak Tatang dan Kakek Upa berjalan mengikuti langkah kaki perempuan tadi dan menghilang dalam hitungan menit.
“Um, jika boleh tau ada apa di kebun karet itu ya, pak?” celetuk Edel yang lagi-lagi masih tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ria menyikut lengan Edel dengan mata yang melotot tajam. Ia berdesis kesal, “bisa nggak sih nurut aja!”
“Aku kan Cuma pengen tau! Nggak ada salahnya jika kita tau alasan pelarangan itu.” Jawab Edel membela diri. Pak Mahmud tertawa santai, “tidak apa-apa mba Ria. Saya juga ingin bercerita. Di sana, di dalam kebun karet itu ada sebuah hutan terlarang. Kami menyebutnya hutan Sri Molo. Konon kata orang tua jaman dulu, di sana terdapat portal yang menghubungkan dunia lain dengan dunia kita saat ini. Jika sampai terjebak dalam dimensi itu, maka tidak akan ada kesempatan untuk kembali ke dunia nyata.”
Pak Mahmud kembali tertawa, “yaaaah, namanya juga cerita dari mulut ke mulut. Tentu ada yang pro dan kontra. Meski ada yang skeptis dan menganggap itu Cuma cerita yang dikarang untuk menakuti anak muda yang suka jahil, namun sampai saat ini tidak pernah ada yang berani memasuki kawasan terlarang itu.”
“Apakah pernah ada kejadian aneh di kawasan terlarang itu yang pernah Bapak saksikan langsung selama tinggal di desa ini?” ucap Dio yang memberikan umpan balik pada penuturan pak Mahmud barusan.
“Sejauh ini belum pernah ada. Hanya saja dulu ada salah satu pendatang dari luar negeri yang melakukan ekspedisi dan menghilang tanpa jejak. Itupun terjadi sebelum saya dipindah tugaskan di sini sebagai Camat.” Jawab pak Mahmud.
Ia kemudian menambahkan, “tapi keakuratan informasi itu tidak valid, mas. Tak ada catatan tertulis yang bisa memvalidasi cerita itu. Saya saja menganggap itu hanya rumor dari mulut ke mulut yang diciptakan oleh masyarakat desa untuk menambah kesan horor kawasan terlarang itu.” Rombongan tersebut terdiam. Tak lagi ingin melanjutkan pembahasan tentang cerita aneh desa itu. Mereka hanya saling bertukar pandang dan menarik diri dari situasi yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 18 Episodes
Comments